tirto.id - Pada 2024, penjualan motor listrik di Indonesia mengalami lonjakan signifikan hingga 447 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini mencerminkan peningkatan minat masyarakat terhadap kendaraan listrik.
Menurut data Sisapira (Sistem Informasi Bantuan Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Roda Dua), pada 2024, motor listrik bersubsidi yang terjual mencapai 63.146 unit, naik jauh sekali dibanding penjualan 2023 yang hanya berada di angka 11.532 unit.
Targetnya, jumlah motor listrik di Indonesia pada 2030 mencapai 13 juta unit. Jumlah tersebut harapannya bisa diiringi dengan kebutuhan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang mencukupi, yakni sebanyak 32.000 unit.
Iming-Iming Kemudahan Transisi Kendaraan Listrik
Salah satu faktor yang memengaruhi peningkatan penjualan motor listrik di Indonesia adalah insentif dari pemerintah. Program subsidi yang diberikan untuk pembelian motor listrik membuat harganya lebih terjangkau bagi masyarakat.
Saat ini, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp7 juta per unit untuk motor listrik tertentu yang memenuhi persyaratan, misalnya memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen. Pemerintah juga memberikan keringanan pajak dan kebijakan lainnya guna mendorong penggunaan kendaraan listrik sebagai bagian dari upaya menekan emisi karbon.
Contoh konkretnya, pada tahun pertama, pemilik motor listrik dibebaskan dari segala biaya, kecuali Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) sebesar Rp83 ribu, penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) sebesar Rp100.000, dan penerbitan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) sebesar Rp60.000. Apabila ditotal, pemilik motor listrik cukup membayar Rp243 ribu.
Faktor berikutnya adalah fluktuasi harga bahan bakar minyak. Dalam dua tahun terakhir, harga BBM naik signifikan. Pada September 2022, pemerintah menaikkan harga Pertalite dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, Solar subsidi dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, dan Pertamax dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500. Setelah itu, harga Pertamax pun terus mengikuti harga minyak global karena termasuk kategori non-subsidi.
Fluktuasi harga BBM utamanya disebabkan oleh ketidakpastian pasokan energi global yang erat dengan faktor geopolitik, konflik di negara-negara produsen minyak, kebijakan transisi energi di berbagai negara, serta perubahan permintaan global akibat pemulihan ekonomi pascapandemi. Hingga kini, situasi global pun bisa dibilang belum kondusif dan, kemungkinan besar, fluktuasi bakal terus terjadi.
Kenaikan harga BBM membuat biaya operasional kendaraan berbahan bakar fosil makin tinggi. Masyarakat pun terdorong untuk mencari alternatif yang lebih ekonomis, yakni motor listrik. Sebagai perbandingan, untuk mengisi daya motor listrik di rumah, biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp2 ribu. Dengan biaya operasional yang lebih rendah, masyarakat mulai mempertimbangkan motor listrik sebagai alternatif yang lebih ekonomis dalam jangka panjang.
Peralihan preferensi konsumen juga dipengaruhi oleh makin banyaknya infrastruktur pendukung, khususnya stasiun pengisian daya. Saat ini, terdapat lebih dari 2.000 SPKLU yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, terutama terpusat di Jawa. Ada rencana ekspansi lebih lanjut oleh pemerintah (lewat BUMN) dan pihak swasta.
Beberapa pengembang properti juga mulai menambahkan fasilitas pengisian daya di kompleks perumahan dan apartemen. Sinar Mas Land dan Agung Podomoro Group, misalnya, telah mengintegrasikan stasiun pengisian daya di beberapa proyek perumahan dan apartemen mereka untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik.
Klaim bahwa kendaraan listrik lebih ramah lingkungan dibanding kendaraan berbahan bakar minyak juga berperan membentuk preferensi konsumen. Di jalan raya, motor listrik hampir tidak menghasilkan emisi gas buang karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Namun, dalam produksi awal dan pengisian dayanya, motor listrik tetap menguras sumber daya alam dan mengeluarkan setumpuk masalah lingkungan, tak hanya polusi.
Sementara itu, motor konvensional menghasilkan polusi sejak turun ke jalan, seperti karbon dioksida (CO₂), nitrogen oksida (NOₓ), serta partikel lain yang berkontribusi terhadap polusi udara dan perubahan iklim.
Tantangan dan Masa Depan Transisi
Kendati pertumbuhannya bisa dikatakan sangat baik, sejatinya transisi ke motor listrik masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah. Pertama, soal harga beli yang cenderung lebih tinggi dibanding motor konvensional dengan spesifikasi setara.
Sebagai contoh, sebuah motor listrik kelas menengah dibanderol Rp30-50 juta. Di sisi lain, motor konvensional dengan spesifikasi serupa biasanya dijual dengan harga Rp17-30 juta. Meskipun ada subsidi, perbedaan harga ini masih menjadi pertimbangan bagi sebagian calon pembeli.
Untuk mengatasi hal itu, beberapa produsen mulai menawarkan skema pembayaran yang lebih fleksibel, seperti cicilan ringan dan paket sewa baterai yang ditawarkan oleh perusahaan. Tujuannya tak lain mengurangi beban biaya awal bagi konsumen.
Selain itu, daya tahan baterai motor listrik juga menjadi pertimbangan. Dengan kapasitas baterai yang terbatas, motor listrik umumnya memiliki jarak tempuh lebih pendek dibandingkan motor berbahan bakar bensin. Rata-rata motor listrik yang tersedia di Indonesia saat ini memiliki jarak tempuh sekitar 60-120 km per pengisian penuh, bergantung pada kapasitas baterai dan efisiensi motor.
Ketika daya baterai habis, pengendara juga mesti menunggu cukup lama untuk mengisi ulang. Durasi rata-ratanya sekitar 4-8 jam menggunakan pengisian daya reguler dan 1-2 jam dengan teknologi fast-charging.
Namun, pemilik kendaraan listrik tentu boleh berharap dalam jangka panjang ke depan teknologi baterai akan lebih baik. Beberapa produsen sudah mulai mengembangkan teknologi fast-charging yang memungkinkan pengisian daya dalam waktu lebih singkat, juga kapasitas lebih besar untuk meningkatkan jarak tempuh. Beberapa contoh motor listrik yang telah dibekali teknologi fast charging adalah Gesits G1, Viar Q1, United T-1800, dan Yamaha E01.
Sayangnya, peningkatan kualitas baterai saja tak cukup. Ekosistem kendaraan listrik masih terkendala jaringan servis serta ketersediaan suku cadang. Sebagai barang baru, wajar memang apabila layanan after sales motor listrik belum sehebat motor konvensional. Namun, ini tetap menjadi faktor lain yang membuat konsumen berpikir dua kali untuk segera beralih ke motor listrik. Kabar baiknya, selain di bengkel resmi, pemilik motor listrik kini bisa mengakses jasa servis keliling seperti yang disediakan oleh Petrikbike.
Dengan lonjakan penjualan yang signifikan, tampaknya Indonesia makin siap untuk beralih ke motor listrik. Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masih ada sejumlah kendala yang mesti diatasi.
Tidak hanya pihak industri swasta, pemerintah juga bertanggung jawab menciptakan ekosistem yang sehat, sebagaimana yang digembar-gemborkan sejak awal. Ini tentu bukan hanya peningkatan penjualan, tetapi juga proses produksi yang ramah lingkungan dan taat aturan.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin