tirto.id - Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menolak platform media sosial asal Cina, TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia. Hal ini seiring dengan penolakan serupa yang dilakukan dua negara lain, yakni Amerika Serikat dan India.
“India dan Amerika Serikat berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Sementara, di Indonesia TikTok bisa menjalankan bisnis keduanya secara bersamaan,” kata Teten dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta sebagaimana keterangan tertulis, dikutip Kamis (7/9/2023).
Teten mempersilakan TikTok berjualan, tapi tidak disatukan dengan media sosial. Karena dari riset dan survei dilakulan pola orang belanja online itu ternavigasi dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran logistik mereka kendalikan semua. “Ini namanya monopoli,” kata Teten.
Keinginan Teten tentu bukan tanpa dasar. Kehadiran TikTok Shop memengaruhi pola pasar belanja online di Tanah Air. Merujuk survei Cube Asia, ada 85 persen konsumen TikTok Shop yang kini mulai mengurangi pengeluarannya terhadap marketplace lainnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 51 persen responden mulai mengurangi belanja mereka di Shopee.
Survei ini dilakukan terhadap 1.197 responden pada Maret 2023. Survei tersebut dilakukan di Thailand, Filipina, dan Indonesia.
Dari hasil survei ini juga ditemukan bahwa sebanyak 45 persen pelanggan TikTok Shop lebih sedikit membeli barang di Lazada dan e-commerce lainnya. Sementara, 38 persen pengguna TikTok Shop mengurangi pengeluarannya terhadap belanja langsung.
Menurut Cube Asia, jika bisa menjaga momentumnya, TikTok Shop bakal meraup pasar yang lebih luas dari e-commerce lainnya di Asia Tenggara. Terlebih, TikTok Shop menawarkan berbagai promo dan fitur yang inovatif.
Sementara survei digital dari Telkomsel, tSurvey.id, mengungkapkan sejumlah alasan konsumen di Indonesia memilih TikTok Shop untuk berbelanja ketimbang platform lainnya. Hasilnya, mayoritas karena produk yang dijual di TikTok Shop memiliki harga yang relatif lebih murah dan banyak diskon.
“Alasan responden memilih belanja di TikTok karena harganya relatif murah, sebanyak 76,75 persen,” demikian dikutip dari hasil survei tSurvei.id.
Terdapat promo dan voucer yang menarik di TikTok Shop menjadi alasan berikutnya konsumen memilih belanja online di fitur tersebut, yakni sebanyak 65 persen. Kemudian, sebanyak 52 persen responden mengatakan bahwa penjalasan dari host yang menarik menjadi alasan mereka berbelanja di TikTok Shop.
Ada pula responden yang tertarik berbelanja di TikTok Shop karena fiturnya mudah digunakan (41,25 persen). Alasan lainnya karena iklan produk terus muncul di beranda (38 persen), host menjelaskan produk dengan menarik saat live (34 persen), percaya TikTok Shop aman (31,5 persen), dan meyakini penjual TikTok Shop terpercaya (28,75 persen).
Selain perlunya mengatur tentang pemisahan bisnis media sosial dan e-commerce, Teten juga akan mengatur tentang cross border commerce agar UMKM dalam negeri bisa bersaing di pasar digital Indonesia. Dengan aturan ini, maka ritel dari luar negeri tidak boleh lagi menjual produknya langsung ke konsumen.
“Mereka harus masuk lewat mekanisme impor biasa terlebih dahulu, setelah itu baru boleh menjual barangnya di pasar digital Indonesia. Kalau mereka langsung menjual produknya ke konsumen, UMKM Indonesia pasti tidak bisa bersaing karena UMKM kita harus mengurus izin edar, SNI, sertifikasi halal, dan lain sebagainya," katanya.
Dalam hal ini, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan atau Zulhas juga tengah mengusulkan adanya aturan untuk platform media sosial yang merangkap jadi e-commerce melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020. Pengaturan ini didasari oleh kekhawatiran akan hadirnya social commerce yang dapat mengancam eksistensi dari produk lokal atau UMKM.
“Kita kasih kesempatan juga kepada e-commerce seperti Shopee dan lain-lain untuk memberikan masukan agar usahanya tidak terganggu, tetapi juga kita bisa tata yang baru datang misalnya tidak menjadi mengganggu UMKM kita yang sudah ada," ucap Zulhas saat ditemui di Gudang Shopee Kalideres, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu.
Diminta Buat Aplikasi Terpisah
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, jika memang TikTok tidak diperbolehkan layanan social commerce, maka solusinya tinggal bikin aplikasi terpisah seperti halnya Tokopedia, Lazada, Shopee.
"Sosial media tidak bisa digunakan untuk perdagangan barang misalnya. Itu mungkin juga jadi konsekuensinya kalau dipisah," katanya kepada Tirto, Kamis (7/9/2023).
Bhima mengatakan, jika keduanya nanti dipisahkan yang terjadi hanyalah pergeseran saja. Dari semula belanja di TikTok, masyarakat kembali lagi belanja ke marketplace lain atau di toko fisik.
Sementara itu, kata Bhima, jika dilihat dari porsi di commerce, social commerce ini hanya baru 5 persen dari total retail secara nasional. Para pedagang di TikTok Shop pun sebenarnya relatif sama dengan di e-commerce lain. Karena itu, yang terjadi bukan kehilangan potensi perdagangan, tetapi pergeseran kembali ke alternatif tempat berdagang lain.
Di sisi lain, Bhima juga menyoroti Projeckt S TikTok yang tengah ramai belakangan. Project S TikTok pertama kali muncul di Inggris dan sudah dilakukan di banyak negara. Hal ini sempat menjadi kekhawatiran di Inggris sehingga adanya pemisahan antara media sosial dengan platform komersial.
“Kita sebetulnya mengantisipasi aja Projek S belum berlaku, tapi melihat besarnya social commerce mungkin ada benarnya juga untuk dilakukan pemisahan," katanya.
Masalah pemisahan ini, kata Bhima, sebetulnya hanya masalah legalitas pemisahan sosial media saja. Sosial media izinnya di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kememkominfo) sedangkan e-commerce di bawah Kemendag. “Jadi pengawasannya lebih gampang," katanya.
“Kalau tidak nanti pengawasannya susah misal nanti kontennya social commerce iya, tapi ada yang mepet ke UU ITE. Nanti pengawasannya gimana gitu mau diawasi Kemendag atau Kominfo itu mungkin jadi masalah awalnya," tambah dia.
Apakah TikTok Melakukan Monopoli?
Pengamat Media Sosial, Enda Nasution berpandangan, apa yang dilakukan TikTok bukan sebuah monopoli. Dia mencontohkan seperti halnya Gojek, di mana dalam satu aplikasi yang sama memiliki bebrbagai layanan. Mulai dari transportasi, pengantaran makanan, pembayaran tiket dan memiliki layanan pembayaran secara umum.
“Itu penambahan fitur bukan berarti dia memonopoli seluruh layanan yang ada. Tentang isu monopoli saya rasa satu aplikasi atau layanan bisa bergabung dengan layanan lain dan itu bukan monopoli," kata dia kepada Tirto.
Menurut dia, yang bisa dikatakan monopoli ketika tidak ada layanan sama yang bisa dilayani oleh perusahaan lain. Misalnya sebagai contoh ketika membeli kacang, tapi kacang ini tidak tersedia di toko ataupun platform lain, hanya di sosial e-commerce TikTok, maka artinya dia melakukan monopoli.
“Dan monopoli ini dilarang karena dengan monopoli hanya ada satu pihak yang bisa mengendalikan harga dan bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya karena itu merugikan konsumen," kata dia.
Pada prinsipnya, kata Enda, setiap kebijakan baik masih wacana atau dilakukan, sebaiknya didasari atas data dan fakta yang benar serta dilihat secara menyeluruh. Bukan hanya sebagian-sebagian atau untuk memuaskan sebagian orang.
Kalau pun ada usaha UMKM yang tutup atau merugi atau ada korban-korban yang sudah jatuh karena adanya fitur social commerce di TikTok, maka sebaiknya ditampilkan datanya. Baik jumlah dan kerugian ekonominya. Sehingga argumentasinya jadi lebih kuat untuk dilakukan perlindungan atau permintaan pengelolaan jalur social commerce di TikTok.
“Saya justru menemukan ada beberapa UMKM yang sukses berjualan di platform TikTok, ada yang berupa racikan teh dari Jogja, ada yang berupa dendeng atau rendang paketan. Ada juga yang berupa minuman kesehatan madu dicampur dengan bawang putih dan ada banyak lagi," terang dia.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi juga memiliki pandangan berbeda soal fenomena social commerce (S-Commerce) yang digagas oleh TikTok. Ia bilang pemerintah tidak ingin menekan kreativitas masyarakat yang mulai berjualan lewat media sosial.
“Inikan interaksi antar masyarakat lewat platform digital, kenapa harus diresahin? Nanti kita lihat aturannya, ya apa, melanggar atau tidak, tapi menurut sejauh saya yang penting dalam digitalisasi ini apa sih inti dari digitalisasi, apa? Membuat masyarakat menjadi lebih produktif, jangan menggunakan sosial media untuk hal-hal yang tidak baik,” kata Budi Arie di Media Center KTT ASEAN, Jakarta.
Budi Arie menilai, pemerintah mendukung segala sesuatu yang membuat rakyat produktif. Ia mencontohkan ada pedagang di Tanah Abang mengalami kenaikan penjualan dari 100 menjadi 2000 item setelah melakukan social commerce.
Budi Arie pun belum berpikir ada perbedaan perlakuan. Ia hanya berpegangan semua yang baik demi rakyat bisa dilakukan.
Tirto sudah menghubungi manajemen TikTok Indonesia terkait dengan sikap penolakan pemerintah dalam menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Namun manajemen baru akan memberikan jawaban resmi besok.
“Kami akan mengeluarkan statement resmi besok. Rencananya akan membuat sesi singkat dengan media,” ujar Kepala Komunikasi TikTok Indonesia, Anggini Setiawan kepada Tirto pada Kamis (7/9/2023).
Sementara itu, TikTok Shop sendiri membantah adanya bisnis lintas batas (cross-border) di dalam platformnya. Manajemen TikTok Shop menyebut, selama ini perusahaan berkomitmen untuk memberdayakan penjual dan UMKM di Indonesia.
TikTok Shop menegaskan, akan terus berinvestasi di Indonesia. Salah satunya adalah inisiatif TikTok Jalin Nusantara yang telah diumumkan pada acara TikTok SEA Impact Forum. Dalam keterangannya, TikTok juga membantah Project S berpotensi ada di Indonesia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz