Menuju konten utama

Karut-marut Penyelenggaraan PPDB yang Tak Kunjung Tuntas

Kemendikbudristek akan melakukan perbaikan dengan memperjelas regulasi yang ada hingga bantu pemda menyusun juknis.

Karut-marut Penyelenggaraan PPDB yang Tak Kunjung Tuntas
Wali murid bersama calon siswa mengecek daftar nama siswa yang diterima di SMA N 1 Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (7/7/2022). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/rwa.

tirto.id - Kecurangan dan penyelewengan masih ditemukan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2023/2024. Tahun ini, juga menandai usia ketujuh PPDB dengan sistem zonasi diberlakukan. Pertama kali dilakukan pada 2017, PPDB sistem zonasi awalnya menjadi salah satu upaya percepatan dan pemerataan pendidikan yang berkualitas di negeri ini.

Apa daya, dalam penerapannya, PPDB zonasi terkesan jauh panggang dari api. Bukannya menghasilkan pendidikan yang merata, praktik kecurangan justru ditemukan di tiap tahun ajaran baru berlangsung. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) baru saja merilis laporan hasil pengawasan terhadap penyelenggaraan PPDB 2023.

Laporan itu diserahkan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Kementerian Agama (Kemenag). Sejumlah catatan tidak asing masih mewarnai laporan ORI.

Anggota Ombudsman, Indraza Marzuki Rais mengatakan, permasalahan PPDB 2023/2024 sudah terjadi pada saat pra-pelaksanaan, bahkan setelah pelaksanaan. Proses pengawasan PPDB dilakukan ORI di 28 provinsi dan 58 kabupaten/kota, dengan rincian 158 sekolah, serta 126 madrasah.

“Kami menemukan bahwa belum adanya mekanisme validasi dokumen persyaratan pendaftaran PPDB sehingga memberikan peluang terjadinya kecurangan terkait pemenuhan berkas pendaftaran PPDB,” kata Indraza di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (5/9/2023).

Indraza menyampaikan, kecurangan ini ditemukan di keempat jalur seleksi PPDB, yang meliputi jalur zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan orang tua.

Pada jalur afirmasi, satuan pendidikan masih ada yang belum memahami bahwa jalur ini bisa untuk penyandang disabilitas, bukan cuma kelompok masyarakat miskin. Sementara itu, di jalur prestasi ditemukan praktik sertifikat palsu yang masih lolos dalam penyelenggaraan PPDB. Adapun sistem zonasi, mendapatkan catatan cukup panjang dari ORI.

Setidaknya ada empat masalah dalam sistem zonasi PPDB 2023, meliputi: rentan blankspot dan ketidaksesuaian titik koordinat; adanya manipulasi dan pemalsuan dokumen kependudukan; tidak semua penyelenggara melakukan pembagian zonasi; dan belum ada mekanisme validasi dalam seleksi zonasi.

Indraza menambahkan, tidak optimalnya pengawasan menjadi salah satu pemicu permasalahan berulang. Selain itu, minimnya jumlah satuan pendidikan juga menjadi masalah tersendiri.

Dari sisi pengawasan internal, ORI menemukan belum optimalnya penanganan pelanggaran. Ketiadaan pengaturan dan pembagian wewenang dalam pengawasan baik ditingkat pusat maupun daerah menyebabkan pengawasan internal tidak berjalan secara optimal.

Ia bahkan menyampaikan, manipulasi dan pemalsuan dokumen kependudukan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga bekerja sama dengan petugas di institusi pendidikan serta dinas kependudukan setempat.

“Dilakukan oleh masyarakat sendiri dan juga kerja sama dengan orang-orang yang punya akses terhadap ini,” ungkap Indraza.

Masih Terjadi Pungli dan Titip Siswa

Mirisnya, praktik pungli (pungutan liar) masih ditemukan dalam penyelenggaraan PPDB 2023/2024. Nominal pungutan liar di madrasah mencapai Rp1 juta hingga Rp5 juta dengan modus uang seragam dan sumbangan pembangunan. Temuan lainnya, bahkan ada peserta yang diminta membayar Rp35 juta di sebuah SMA.

“Selain itu, meski sudah jelas diatur tidak adanya permintaan uang dalam proses PPDB, namun praktik pungutan liar masih terjadi dengan modus uang seragam atau sumbangan pembangunan,” ujar Indraza.

Praktik titip siswa dalam penyelenggaraan PPDB 2023/2024 juga masih ditemukan. Di Jabodetabek, ada temuan siswa yang tiba-tiba bertambah setelah pengumuman PPDB telah dilakukan. Ia menyatakan, temuan itu mengindikasikan siswa titipan. Siswa titipan itu bisa berasal dari kerabat pejabat pusat, partai politik, TNI dan Polri.

“Kami minta keberanian pimpinan daerah untuk mencoba mengurangi jalur itu, syukur-syukur kalau dia bisa menghapusnya,” tambahnya.

Temuan ini laiknya pinang dibelah dua dengan temuan Ombudsman tahun-tahun sebelumnya. Penyelewengan atau malaadministrasi PPDB yang terjadi masih seputaran penyalahgunaan jalur masuk, pemalsuan syarat penerimaan, dan pungutan liar. Evaluasi penyelenggara PPDB baik di tingkat pemerintah pusat atau daerah, menjadi sorotan karena pelanggaran yang masih berulang.

Unjuk rasa pendaftaran sistem zonasi dan PPDB

Sejumlah siswa dan orang tua wali murid berunjuk rasa di depan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi, Jakarta, Jumat (11/8/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/hp.

Pembenahan PPDB Dinilai Stagnan

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menilai, pembenahan sistem PPDB dinilai stagnan dan belum memberikan perubahan. Permasalahan serupa tiap tahun yang berulang, menjadi buktinya.

“Nah, masalah-masalah tersebut selalu terjadi tiap tahunnya sejak 2017 pertama kali PPDB ditelurkan. Dan setiap tahun pula Ombudsman melakukan pengawasan, menerima pengaduan masyarakat, dan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada pemerintah. Tapi persoalan PPDB-nya masih sama, itu-itu juga,” kata Satriwan dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/9/2023).

P2G mencatat sejumlah evaluasi pelaksanaan PPDB, seperti sekolah yang kekurangan calon siswa karena jumlah pendaftar sedikit; sekolah kelebihan calon peserta didik karena daya tampung kelas yang terbatas; terjadinya praktik jalur ilegal PPDB melalui jalur intervensi dan pungli; serta manipulasi Kartu Keluarga demi masuk sekolah negeri.

“Anak-anak yang rumah berjarak dekat dengan sekolah justru tak diterima di sekolah negeri dekat rumahnya dan anak-anak miskin jalur afirmasi justru tak diterima di sekolah negeri,” tambah Satriwan.

Ia menilai berulangnya permasalahan ini, artinya tidak ada perbaikan serius yang signifikan dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan khususnya pemda.

“Bisa dimaknai juga tumpukan rekomendasi Ombudsman tiap tahun itu tidak ditindaklanjuti oleh pemda dan Kemendikbudristek,” terang Satriwan.

Satriwan menilai pihaknya belum melihat harmonisasi dan koordinasi yang holistik antara pemerintah pusat dengan pemda untuk memperbaiki PPDB. “Akar masalah PPDB yang ada di level hulu adalah tidak meratanya distribusi sekolah negeri di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan fisik sekolah tidak didasari pada analisis demografis, akses infrastruktur, sarana transportasi, dan sebaran guru,” jelasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR, Agustina Wilujeng Pramestuti mengingatkan, evaluasi PPDB bersifat urgen agar isu sekaligus kekecewaan yang sama tidak terulang kembali di tahun ajaran mendatang.

Ia menekankan bahwa memperoleh pendidikan yang layak adalah hak dari generasi muda bangsa. Kesuksesan penyelenggaraan pendidikan, sebutnya, harus tercermin dari kebijakan yang afirmatif dari sisi pemerintah Indonesia.

“Di mana, kebijakan tersebut mendukung kesejahteraan dan kompetensi guru, menyiapkan dukungan infrastruktur, dan sistem belajar yang inklusif,” kata Agustina dalam keterangannya, Selasa (5/9/2023).

Masih Berharap dengan PPDB Sistem Zonasi

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menilai, akar masalah kecurangan PPDB adalah minimnya jumlah sekolah negeri terutama di jenjang SMP dan SMA/SMK.

“Selain minim, penyebarannya pun tidak merata. Selama penambahan tidak terjadi, maka kecurangan akan selulu muncul, karena mayoritas orangtua ingin menyekolahkan anaknya di sekolah negeri,” kata Retno dihubungi reporter Tirto, Senin (6/9/2023).

Kendati demikian, Retno masih menyimpan harap pada sistem PPDB saat ini yang sudah berlangsung selama tujuh tahun. Ia juga menyatakan, PPDB sistem zonasi perlu dipertahankan karena peluang pemerataan pendidikan dari sistem ini masih bisa digalakkan.

“Apalagi PPDB sistem zonasi baru diterapkan selama 7 tahun, tentu saja belum bisa menghapus pola lama yang sudah berlangsung selama 50 tahun. PPDB sistem zonasi pastilah ada kekurangannya, namun kekurangan tersebut masih berpeluang diperbaiki bersama,” ungkap Retno.

Sebelum sistem PPDB zonasi, kata Retno, Indonesia menggunakan sistem seleksi PPDB dengan nilai Ujian Nasional atau ujian negeri yaitu prinsip seleksi menggunakaan nilai. Selain itu, sistem PPDB sebelumnya juga dinilai Retno menguntungkan kelompok tertentu yang mampu secara ekonomi, kondisinya lebih beruntung dan memiliki banyak pilihan.

“Sistem tersebut kemudian memuncul sekolah unggul atau sekolah favorit. Semakin favorit sebuah sekolah negeri maka peserta didik dari segala penjuru akan mendaftarkan diri dan berharap diterima,” terang Retno.

Di sisi lain, ikut hadir dalam acara pemaparan laporan ORI terhadap PPDB 2023/2024, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang menambahkan, kebijakan PPDB saat ini memang mengalami berbagai tantangan. Kebijakan yang baru berumur tujuh tahun ini, tidak bisa langsung berjalan lancar dan memperlihatkan hasil cepat.

“Kemendikbudristek akan melakukan perbaikan dengan memperjelas regulasi yang ada, membantu pemda menyusun juknis (petunjuk teknis), membantu pemda membuat sistem PPDB online, membantu pemda menetapkan zonasi, dan memenuhi kebutuhan jumlah sekolah,” ungkap Chatarina.

Ia mendorong pemerintah daerah memetakan kebutuhan pendidikan sehingga bisa segera membangun sekolah yang dibutuhkan. Lebih lanjut, Chatarina menilai, permasalahan sistem PPDB zonasi bukan pada kebijakan yang diterapkan, akan tetapi pada proses implementasi.

“Oleh karena itu, tugas kami untuk memastikan kalau dalam implementasi kita bisa meminimalisir atau sama sekali menghapus (permasalahan) ini,” tutup Chatarina.

Baca juga artikel terkait PPDB atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz