Menuju konten utama
Transportasi Publik

Tarif Ideal yang Harus Dirogoh Masyarakat demi Naik Kereta Cepat

Pada tahap awal, tarif perjalanan kereta cepat Jakarta-Bandung masih diusulkan sebesar Rp250.000 - Rp350.000.

Tarif Ideal yang Harus Dirogoh Masyarakat demi Naik Kereta Cepat
Rangkaian comprehensive inspection train (CIT) Kereta Cepat menjalani persiapan untuk uji coba dinamis di jalur Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/11/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/nz

tirto.id - Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) ditargetkan mulai beroperasi pada 1 Oktober 2023. Namun, hingga kini pemerintah maupun PT Kereta Api Indonesia atau KAI, selaku operator belum juga menentukan besaran tarif final untuk satu kali perjalanan dengan jarak tempuh 142,3 kilometer (km).

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Risal Wasal mengatakan, pada tahap awal tarif perjalanan kereta cepat Jakarta-Bandung masih diusulkan sebesar Rp250.000 - Rp350.000. Tarif tersebut dipastikan tidak mendapat suntikan dari pemerintah atau subsidi dan belum termasuk KA feeder menuju stasiun.

“Belum tahu [tarifnya], belum. Makanya itu yang belum [tarifnya], kewenangan dari operator," kata Risal kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip Rabu (6/9/2023).

Dalam satu rangkaian kereta, Risal menyebut, ada tiga kelas yakni: ekonomi, bisnis, dan VVIP. Untuk ekonomi disediakan sebanyak 550 seat, bisnis 28 seat, dan VVIP sebanyak 18 seat, dengan total keseluruhan penumpang mencapai 601 orang.

Direktur Utama Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan, besaran tarif kereta cepat Jakarta-Bandung sejauh ini memang masih bersifat usulan. Usulan tersebut nantinya masih bisa berubah tergantung ketetapan daripada Kemenhub dan operator.

“Itu yang kita usulkan salah satunya begitu, kan, nanti ada ketetapan dari Kemenhub lagi kita diskusikan,” kata dia.

Tarif rekomendasi sebesar Rp250.000 tersebut diberikan untuk tiga tahun pertama. Nantinya sistem tiketing tersebut akan di-bundling dengan tiket KAI dan LRT. “Sekarang kita pembuatan demand forecast, financial model pun sudah mengacu tiga tahun pertama Rp250 ribu. Tapi semuanya kan masih didiskusikan,” ujarnya.

Jika dibandingkan tarif yang dikenakan, menggunakan kereta cepat memang tergolong lebih mahal dari kereta biasa dan moda transportasi lainnya. Tirto mencoba membandingkan tarif dengan KA Argo Parahyangan dari Gambir menuju Bandung.

Dari daftar pencarian tiket lewat salah satu aplikasi platform travel, untuk Argo Parahyangan kelas ekonomi tarifnya hanya Rp150.000 dengan waktu tempuh 2,54 jam. Sementara tiket eksekutif Argo Parahyangan dibanderol Rp200.000.

Sementara jika menggunakan Argo Parahyangan Panoramic kelas eksekutif (A) harganya Rp450.000 dengan waktu jarak tempuh yang sama.

Kami juga membandingkan perjalanan dari Jakarta menuju Bandung menggunakan mobil travel diperkirakan memakan biaya Rp120.000. Apabila menggunakan bus, biaya yang dibutuhkan dari Jakarta ke Bandung sebesar Rp97.000.

Dengan menggunakan mobil pribadi, biaya yang dikeluarkan dari Jakarta ke Bandung sebesar Rp140.500 hingga Rp216.000. Biaya termurah dengan mobil pribadi dengan asumsi satu liter bensin Pertalite untuk perjalanan 20 km ditambah tarif tol Jakarta-Bandung sebesar Rp66.000.

Sementara, asumsi biaya Rp216.000 apabila satu liter bensin Pertalite untuk perjalanan 10 kilometer. Jumlah ini kemudian ditambah dengan tarif tol Jakarta-Bandung sebesar Rp66.000.

Berapa Tarif yang Kompetitif?

Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana menilai, tarif kereta cepat Jakarta-Bandung - Tegalluar untuk kelas ekonomi premium dengan asumsi sebesar Rp250 ribu cukup kompetitif. Terlebih kereta cepat ini akan memangkas waktu perjalanan hanya 40 menit.

“Untuk yang tinggal di seputaran Jakarta Timur dan Bandung Barat atau Timur, tarif Rp250 ribu KCJB menurut saya sangat kompetitif bahkan cenderung terjangkau bila dibandingkan dengan waktu tempuhnya," ujarnya kepada Tirto.

Dia mengatakan, bagi masyarakat yang membutuhkan keterhubungan antara pusat Kota Jakarta dengan pusat Kota Bandung, maka tarif ini masih cukup kompetitif. Dengan catatan pengguna tidak keberatan dengan upaya dan waktu untuk beralih moda menuju Stasiun Halim dan dari Stasiun Padalarang ke pusat kota Bandung.

Dia mengasumsikan, jika menggunakan LRT Sudirman - Halim, waktu tempuh 30 menit. Kemudian transit dan waktu tunggu di Stasiun Halim 40 menit. Perjalanan KCJB Halim-Bandung 30 menit, transit di Stasiun Padalarang 15 menit, perjalanan KA Feeder Padalarang - Bandung 20 menit, maka total waktu: 2 jam 15 menit.

“Jadi tarif Rp250 ribu masih kompetitif dan tidak terhitung mahal bila digunakan oleh pengguna di kawasan Jakarta Timur, Bandung Barat, Bandung Timur dan bahkan mungkin Jatinangor Sumedang karena aksesnya mudah dan waktu tempuh sangat singkat,” kata dia.

Namun sebaliknya, harga ini bisa berpotensi kurang kompetitif untuk masyarakat yang membutuhkan konektivitas dari pusat Kota Jakarta ke pusat Kota Bandung dan sebaliknya.

Ketua Institusi Studi Transportasi (Instran), Darmaningtyas berpandangan, tarif KCJB sebesar Rp250 ribu - Rp350 ribu itu cukup pas dikantong masyarakat. Karena perbandingannya KA biasa (Argo parahyangan) saja dipatok sebesar Rp150 ribu – Rp200 ribu dengan lama perjalanan 2 jam.

“Kasus KA luxury Jakarta – Bandung yang mencapai Rp500 ribu dan laris menunjukkan bahwa potensi penumpang yang mau membayar tinggi itu ada," kata dia kepada Tirto.

Dia memperkirakan potensi penumpang KCJB nanti adalah orang-orang daerah maupun warga Jabodetabek dan Bandung yang ingin mencoba kereta cepat. Mereka relatif tidak sensitif dengan masalah tarif.

“Yang sensitif terhadap tarif adalah mereka yang akan menggunakan KCJB secara rutin. Tapi kalau rutin mingguan pun relatif tidak terlalu sensitif terhadap tarif,” kata dia.

Dinikmati Kalangan Atas

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan, sejak awal KCJB memang ditujukan untuk kalangan menengah atau bahkan kalangan atas. Sementara kalangan menengah ke bawah justru memilih menggunakan moda transportasi lainnya yang jauh lebih murah, seperti travel, bus, atau kereta eksekutif.

“Kalangan menengah dan atas akan cenderung mementingkan waktu untuk sampai ke Bandung," katanya kepada Tirto.

Begitu juga jika nantinya dinikmati oleh kalangan atas, kereta feeder yang diperuntukkan untuk menyambung perjalanan menuju Bandung berpotensi sepi. Karena masyarakat akan lebih menggunakan transportasi seperti taksi baik konvensional maupun online.

“Maka, kereta feeder-nya juga saya rasa akan merugi. Jadi KCJB-nya sepi, kereta feeder-nya akan jauh lebih sepi. Ini disebabkan perencanaan KCJB yang sangat buruk," ujarnya.

Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno mengamini bahwa kereta cepat ini diperuntukkan bagi kelas menengah ke atas. Sehingga besaran tarif pun tidak menjadi persoalan.

“Kereta cepat untuk kelas menengah ke atas, jadi tidak ada masalah,” kata dia.

Progres pembangunan Stasiun Kereta Cepat Halim

Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Stasiun Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Halim di Makasar, Jakarta Timur, Rabu (17/5/2023). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

Tak Boleh Ada Gap Jauh

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira meminta kepada pemerintah dan operator untuk mengkaji ulang tarif KCJB. Sebab, tarif ideal dari KCJB harusnya tidak jauh berbeda dengan model alternatif lainnya terutama kereta eksekutif Jakarta-Bandung yang reguler.

“Jadi yang dilihat Rp150-250 ribu pada tanggal tertentu libur harganya bisa Rp300 ribu, nah ini tidak boleh jauh dari batas harga yang wajar dengan moda alternatif lainnya," ujarnya.

Karena bagaimanapun juga, kata Bhima, kereta cepat yang tidak tersambung langsung dengan Bandung, artinya ada pengeluaran tambahan. Sehingga ini khawatir akan saling kanibal dengan moda transportasi lainnya.

“Akhirnya orang tetap akan memilih kereta reguler misalnya 3 jam - 3,5 jam dari Jakarta, tapi langsung sampai ke stasiun akhir tanpa menunggu kereta feeder," ujarnya.

Bhima mengingatkan jika tarif diberikan terlalu tinggi, maka konsekuensinya jumlah keterisian penumpang akan lebih sedikit. Pada akhirnya ini akan mengganggu likuiditas pengembalian modal investasi proyek ini jadi lebih lama.

“Berarti kan proyeknya menjadi proyek mubazir. Sementara kalau dipaksakan orang memakai kereta cepat nanti ada moda transportasi lain yang harus dimatikan. Ini akan merugikan sektor usaha lainnya," ujarnya.

Menurutnya Bhima, saat ini KCJB terjebak pada dilema. Pertama, jika tidak menaikkan harga tingkat pencapaian penumpang bisa dijaga. Sementara sebaliknya, jika menaikkan harga tiket akan ada dampak keterisian penumpang.

“Menjaga harga tiket juga berarti punya konsekuensi APBN harus subsidi lebih banyak lagi kalau tidak beban akan masuk ke KAI. KAI ini akan berdarah likuiditasnya dan mengganggu operasional dari jalur kereta lainnya itu yang harus benar-benar dijaga sekarang,” kata dia.

Baca juga artikel terkait KERETA CEPAT atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz