tirto.id - Juru Bicara Tim Anies Baswedan, Sudirman Said mengungkapkan alasan batalnya Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY sebagai bakal pendamping Anies. Hal ini merespons tudingan elite Partai Demokrat yang menyebut Anies “mengkhianati” ketum parpol berlambang mercy tersebut.
Sudirman mengatakan, Anies tidak punya kekuatan untuk memilih bakal cawapres yang akan mendampinginya lantaran bukan kader partai. Hal itu tidak lepas dari beredarnya surat yang ditulis tangan Anies yang isinya meminta AHY sebagai bakal cawapresnya.
“Keduanya memiliki keterbatasan dalam mewujudkannya, terlebih Mas Anies yang bukan pengurus atau kader partai tertentu, sehingga tidak punya daya paksa untuk memutuskan apa yang sudah menjadi pilihannya,” kata Sudirman dalam keterangan tertulis pada Selasa (5/9/2023).
Sudirman juga membantah tudingan sejumlah pihak bahwa Anies mengkhianati AHY. Ia menyebut batalnya AHY jadi bakal cawapres Anies adalah tidak ada kesamaan dalam perjalanan koalisi.
“Yang terjadi di antara keduanya bukanlah tindak pengkhianatan satu sama lain, melainkan niat baik dan komitmen bekerja sama yang belum bertemu momentum,” kata dia.
Pernyataan Sudirman sebagai respons atas kritik Partai Demokrat sebelum resmi meninggalkan koalisi. Demokrat merasa dikhianati dengan keputusan pasangan Anies-Cak Imin. Demokrat sebut pemilihan cawapres Anies dilakukan atas kehendak Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Surya Paloh tanpa berkomunikasi dengan anggota koalisi.
“Kemarin, 30 Agustus 2023, kami mendapat informasi dari Sudirman Said, mewakili capres Anies Baswedan bahwa Anies telah menyetujui kerja sama politik Partai Nasdem dan PKB untuk mengusung pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Persetujuan ini dilakukan secara sepihak atas inisiatif Ketum Nasdem Surya Paloh,” kata Sekjen Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya dalam keterangan tertulis, Kamis (31/8/2023).
Sebagai catatan, Koalisi Perubahan untuk Persatuan sempat membuat piagam bersama yang ditandatangani perwakilan Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat sebagai inisiator koalisi. Dalam salah satu poin, ketiga partai mengatakan bahwa mereka memberikan mandat penuh kepada Anies selaku bakal capres untuk menentukan calon wakilnya.
Akan tetapi, dalam perjalanannya penentuan tersebut tidak sepenuhnya diserahkan kepada Anies sebagai bakal capres. Para elite parpol tetap cawe-cawe dalam upaya mencari sosok yang tepat sebagai bakal cawapres Anies.
Mereka menyepakati ada 5 poin yang harus dipenuhi. Pertama, berkontribusi dalam pemenangan yang diwujudkan dengan elektabilitas tinggi; kedua, berkontribusi dan memperkuat serta menjaga stabilitas koalisi; ketiga, berkontribusi dalam pengelolaan pemerintahan efektif; keempat, memiliki kesamaan visi dengan calon presiden; dan kelima, berkomitmen membangun kebersamaan sebagai dwi-tunggal.
Singkat cerita, akibat deklarasi Anies-Cak Imin yang dinilai dilakukan sepihak, Partai Demokrat langsung menggelar rapat majelis tinggi dengan agenda menentukan arah koalisi. Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono pun menyinggung bagaimana Anies sempat bertemu dengannya bersama tim 8 Koalisi Perubahan.
Dalam pertemuan tersebut, kata SBY, Koalisi Perubahan akan mendeklarasikan bakal capres dan cawapres pada 1 September 2023.
“Yang kami dapatkan sesuatu yang mengejutkan itu; dan saya ini orang tua, beberapa kali Pak Anies datang ke sini dengan semangat yang luar biasa, dengan kata-kata yang luar biasa baiknya, di Cikeas dua kali, di Malang, di Pacitan. Dengan kejadian seperti itu, tidak ada kata-kata yang disampaikan kepada saya dan tentu kepada ketua umum kami,” tuturnya.
SBY menyesalkan sikap Anies yang tidak menyampaikan secara langsung keputusannya memilih Muhaimin sebagai bakal cawapres kepada dirinya dan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.
Oleh karena itu, dia memahami ekspresi kekecewaan para kader Partai Demokrat yang ditunjukkan dengan berbagai cara, termasuk melalui pesan-pesan yang dikirimkan ke SBY. Dia menyebut ada pesan yang mengatakan Partai Demokrat terkena lelucon praktik dari “musang berbulu domba.”
Di akhir cerita, Partai Demokrat memutuskan hengkang dari Koalisi Perubahan. Kini, mereka mencari koalisi baru karena sudah 'bercerai' dengan Anies.
Sebaliknya, Ketua DPP Partai Nasdem, Effendy Choirie atau Gus Choi menegaskan, pemilihan Cak Imin sebagai bakal cawapres atas pilihan Anies. Ia menekankan keputusan pemilihan Cak Imin sudah sesuai Piagam Koalisi Perubahan yang telah memberikan otoritas penuh kepada Anies untuk memilik cawapres.
“Loh, sejak awal sepakat, cawapres diserahkan Mas Anies," kata Gus Choi saat dikonfirmasi reporter Tirto, Kamis (31/8/2023).
Menurut dia, jika Anies telah memutuskan, harusnya semua anggota Koalisi Perubahan menerima keputusan itu. Ia meminta agar tidak memprotes keputusan tersebut.
Penentuan Calon Tetap di Tangan Elite Parpol
Kasus Anies yang tidak bisa memilih cawapres sendiri sebenarnya bukan hal baru di perpolitikan tanah air. Misal pada Pemilu 2014, Joko Widodo sebagai capres juga sempat mengalami tantangan serupa. Berdasarkan dinamika politik saat itu, Koalisi Indonesia Hebat memilih mantan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla sebagai cawapres, padahal Golkar merapat ke Prabowo-Hatta.
Selain itu, pada Pilpres 2019, baik Prabowo maupun Jokowi juga mengalami tantangan serupa dalam penentuan nama cawapres. Jokowi kala itu santer disebut akan berpasangan dengan Mahfud MD, tapi tiba-tiba elite parpol pendukungnya berubah sikap dengan mengajukan Ma’ruf Amin dengan alasan menghalau isu negatif soal agama.
Di saat yang sama, Prabowo juga mengalami tantangan tak kalah dramatis dalam pemilihan cawapresnya. Sejumlah parpol pengusung mengajukan nama seperti Sohibul Iman dan Salim Jufri (keduanya dari PKS), Partai Demokrat mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono yang kala itu menjabat Ketua Kogasma Partai Demokrat. Nama Anies Baswedan bahkan sempat muncul sebagai pendamping Prabowo, tetapi akhirnya Sandiaga Uno yang diputuskan oleh partai pengusung.
Analis politik dari SMRC, Saidiman Ahmad menilai, sulit bila capres bisa menentukan kandidat cawapresnya tanpa melibatkan parpol. Akan tetapi, capres umumnya ikut dalam penentuan meski tidak membawa pengaruh.
“Tentu capres akan terlibat menentukan. Namun kata putusnya ada pada partai politik,” kata Saidiman kepada reporter Tirto, Rabu (6/9/2023).
Ia pun menilai penentuan capres-cawapres umumnya dilakukan partai dengan sejumlah pertimbangan. “Harus diakui bahwa penentuan cawapres memang lebih banyak porsi parpolnya. Ini penting untuk keseimbangan. Dalam penentuan capres, misalnya, partai-partai lebih banyak melihat faktor popularitas dan elektabilitas calon," kata Saidiman.
Sementara dalam penentuan nama cawapres, kata Saidiman, faktornya bukan hanya popularitas dan elektabilitas, tapi juga faktor lain, termasuk soal soliditas dukungan parpol. “Pertimbangan kepentingan partai lebih kuat dalam hal ini,” kata Saidiman.
Saidiman mengatakan, ungkapan Koalisi Perubahan bahwa Anies berwenang penuh memilih cawapres lebih pada gimmick politik. Sebab, penentuan cawapres umumnya bergantung kesepakatan parpol.
“Narasi bahwa capres menentukan pasangannya, itu untuk menciptakan kesan sang capres punya otoritas. Kalau kita lihat posisi dukungan publik saat ini, nampaknya narasi itu kurang berpengaruh. Yang paling banyak bicara soal cawapres [merupakan] wewenang capres adalah Koalisi Perubahan. Namun itu tidak membuat dukungan pada Anies menguat, yang justru terjadi adalah stagnasi dukungan dalam beberapa bulan terakhir,” kata Saidiman.
Saidiman menekankan, partai tidak akan serta-merta memaksa capres berdampingan dengan cawapres. Partai akan mempertimbangkan penerimaan publik. Dalam kasus Pilpres 2024, pemilihan elite lebih kuat karena banyak tokoh memiliki tingkat penerimaan yang hampir sama. Ia mengingatkan partai mengedepankan kemenangan daripada mengakomodir keinginan capres.
“Muara utamanya adalah untuk menang pemilu atau setidaknya bisa mendongkrak suara partai. Semua, termasuk capres, harus berkompromi dengan tujuan utama itu,” kata Saidiman.
Hal senada diungkapkan analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah. Ia mengatakan, partai akan tetap memiliki kuasa dalam pilpres selama masih ada sistem ambang batas, bahkan kandidat kuat seperti Prabowo Subianto sekalipun.
“Artinya, bukan faktor capres yang menentukan situasi, tapi sistem politik kita. Jika ambang batas [syarat mengajukan calon] presiden hilang, maka capres dan cawapres akan muncul tanpa intervensi partai,” kata Dedi.
Dedi menilai, situasi koalisi PDIP lebih tragis karena semua harus mengikuti arahan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Menurut dia, Megawati akan menjadi kunci utama dalam koalisi.
“Sejak awal sudah deklarasi tunduk pada keputusan Megawati, bahkan Ganjar sejak [bakal] capres hingga misalnya jadi presiden, potensial tidak mandiri karena tunduk pada Megawati,” kata Dedi.
Ia menilai kasus AHY dan Anies bukan menandakan eks Mendikbud itu memilih AHY sebagai cawapres, tetapi lebih pada ajakan untuk membuat koalisi kuat. Ia menilai, Anies tetap memberikan ruang kepada koalisi sehingga tidak bisa memilih cawapres sendiri.
“Meskipun Anies diberi wewenang, tetap saja keputusan berlaku kolektif, dan pilihan Anies pada Muhaimin jelas bukan dalam rangka mengkhianati AHY, tetapi itu bentuk komitmen bersama," kata Dedi.
Dedi juga menilai, mandat penentuan cawapres tidak memiliki dampak pilihan publik signifikan, tetapi lebih sebagai kontra narasi dalam isu pemilihan capres-cawapres, yakni narasi capres petugas partai. Ia tidak memungkiri bahwa Anies menjadi berbeda akibat narasi tersebut, tapi tidak berdampak kepada suara. Ia mengacu pada hasil survei IPO bahwa Anies menempati peringkat kedua soal independesi atau berada di bawah Prabowo.
Dedi juga menilai tidak ada narasi Anies memilih AHY yang kemudian tidak sejalan dan memilih Muhaimin. Ia justru melihat ada propaganda politik dalam kegiatan tersebut. Hal itu, kata Dedi, wajar dalam politik.
“Narasi bahwa Anies seolah memilih AHY hanya propaganda Demokrat semata, dan itu biasa dalam iklim politik situasional saat ini,” kata dia.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz