Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Nelangsa Demokrat yang Kerap Dapat Harapan Palsu Jelang Pemilu

Harapan palsu yang dialami Partai Demokrat saat ini, seolah mengulang peristiwa pilpres sebelumnya.

Nelangsa Demokrat yang Kerap Dapat Harapan Palsu Jelang Pemilu
Sekretaris MTP Demokrat Andi Mallarangeng memberikan keterangan pers usai menggelar rapat di Kediaman SBY, di Cikeas, Bogor, Jumat (1/9/2023). (Tirto.id/Hanif Reyhan Ghifari)

tirto.id - “Memang kita ditikung dan ditinggal dan ditinggalkan seperti ini sekarang. Bayangkan kalau ditikungnya kita ini, ditinggalkannya kita ini, satu-dua hari sebelum batas pendaftaran ke KPU. Bayangkan seperti apa? Kita masih ditolong oleh Allah.”

Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (1/9/2023). Pria yang akrab disapa SBY itu menggelar rapat darurat setelah mendengar kabar Partai Nasdem menyepakati kerja sama dengan PKB untuk mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau Cak Imin pada Pilpres 2024.

Dalam paparan rapat, SBY merasa bersyukur. Ia menilai, Partai Demokrat telah diselamatkan oleh Tuhan lantaran tidak diizinkan untuk mendukung dan bermitra dengan orang yang ternyata tidak jujur, tidak amanah, dan mengingkari kesepakatan.

SBY juga mengungkit momen masa lalu ketika menjadi capres. Kala itu, SBY menilai koalisinya berbeda dengan koalisi yang dialami Demokrat dalam tiga hari terakhir. Ia pun mengajak semua kader untuk menenangkan diri. Ia meminta agar semua kader belajar agar tidak salah di depan.

“Anggaplah kita salah kali ini, tetapi kita belajar. Mudah-mudahan kita tidak salah lagi ke depan,” kata SBY.

Pernyataan SBY tidak lepas dari manuver Partai Nasdem soal pendamping Anies pada Pilpres 2024. Anies adalah bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang didukung Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat. Sementara Cak Imin adalah Ketua Umum DPP PKB yang membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) bersama Partai Gerindra dengan mengusung Prabowo Subianto sebagai bakal capres.

Namun belakangan, nama koalisi KKIR merubah menjadi Koalisi Indonesia Maju setelah Partai Golkar dan PAN resmi bergabung. Masuknya partai baru membuat posisi kursi cawapres yang diincar Cak Imin di KKIR tak aman. Hal ini diduga yang membuat Cak Imin bermanuver.

Di sisi lain, Anies diklaim Partai Demokrat telah menyetujui bila cawapresnya adalah Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Berdasarkan rilis Demokrat, Koalisi Perubahan untuk Persatuan akan melakukan deklarasi bakal capres-cawapres dalam waktu dekat. Namun, semua berubah setelah Surya Paloh mendeklarasikan kerja sama Nasdem-PKB dengan pasangan calon Anies-Cak Imin pada 30 Agustus 2023.

Sontak, dalam kurun waktu belum sampai 24 jam, sikap kader Partai Demokrat kepada Anies berubah. Sejumlah kader bahkan mulai menurunkan spandung Anies bersama AHY. Tak hanya itu, sejumlah elite Partai Demokrat pun menyebarkan surat yang ditulis tangan oleh Anies yang intinya memilih AHY sebagai bakal cawapresnya pada 25 Agustus 2023.

AHY dan Anies nonton Timnas voli Indonesia

Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhonono (kiri) bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Bacapres Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan (tengah) hadir menyaksikan pertandingan voli Indonesia melawan Vietnam pada SEA V League putaran pertama di Padepokan Voli Jendral Kunarto, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (22/7/2023). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/Spt.

Mengulang Peristiwa Pilpres 2019 dan 2014

Jika ditilik ke belakang, harapan palsu yang dialami Partai Demokrat saat ini, seolah mengulang peristiwa pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2014 misal atau ketika SBY masih berkuasa, Partai Demokrat gagal mengusung jagoannya. Saat itu, parpol berlambang mercy ini berusaha membangun koalisi dan menaikkan nilai partai yang sebelumnya hanya 10 persen lewat konvensi Capres Partai Demokrat.

Sebagai catatan, Demokrat adalah pemenang Pemilu 2009 dengan suara sangat besar, yakni 20,85%. Unggul jauh dibandingkan Partai Golkar dan PDI Perjuangan di urutan kedua dan ketika yang hanya dapat suara 14-an persen.

Akan tetapi, elektabilitas Partai Demokrat anjlok jelang Pemilu 2014 akibat sejumlah kasus korupsi yang dilakukan sejumlah elite partai. SBY bahkan sampai “turun gunung” mengurus partai dengan menjadi ketua umum lewat Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang digelar di Bali pada 30 Maret 2013. SBY menggantikan Anas Urbaningrum yang terjerat kasus korupsi.

Sayangnya, suara Partai Demokrat tetap tidak bisa diselamatkan. Parpol berlambang mercy ini hanya finis di urutan keempat dengan perolehan suara nasional 10,19%. Akibatnya, Demokrat tidak bisa mengusung capres sendiri karena syarat presidential threshold adalah 20%. Singkat kata, capres hasil konvensi Partai Demokrat gagal maju pilpres karena tidak ada mitra koalisi. Meski sempat menyatakan netral, tapi akhirnya memutuskan mendukung pasangan Prabowo-Hatta Radjasa.

Bagaimana dengan Pemilu 2019? Saat itu, Partai Demokrat sempat bergerilya untuk memenangkan Agus Harimurti Yudhoyono yang waktu itu masih menjadi Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma). Kala itu, Demokrat berupaya agar Prabowo Subianto bisa meminang AHY di Pilpres 2019. Hubungan Demokrat-Gerindra pun sempat intens.

Namun, Partai Gerindra dan mitra koalisinya, yaitu PAN dan PKS tidak memilih AHY sebagai cawapres bagi Prabowo. Koalisi Indonesia Adil Makmur –nama koalisi pendukung Prabowo—justru mengajukan calon pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.

Hal tersebut membuat sejumlah elite Partai Demokrat berang. Salah satunya Andi Arief yang melabeli Prabowo dengan istilah “Jenderal Kardus.” Demokrat saat itu menyinggung isu mahar Rp500 miliar untuk PKS dan PAN demi membolehkan Sandiaga yang waktu itu kader Gerindra maju sebagai cawapres, mendampingi Prabowo yang notabene adalah ketum Gerindra. Tudingan itu jelas langsung dibantah PKS dan PAN. Detail artikel soal ini bisa dibaca di link berikut.

Anies Baswedan dan AHY

Anies Baswedan dan AHY berfoto bersama sembari berjabat tangan di Bandara Soekarno Hatta pada Rabu (12/7/2023). Foto: Tirto.id/Ist

Mengapa Partai Demokrat Bernasib Malang?

Analis politik Arifki Chaniago menilai, nasib malang Demokrat dalam dua kali pemilu, yakni pada 2014 dan 2019 tidak lepas dari sikap mereka yang terkesan ingin memegang arah pemilu sehingga bernasib sulit mengajukan kandidat.

“Bagi saya membaca bahwa bukan siapa yang salah dalam kontra koalisi ini, tapi beberapa isu dari Demokrat sejak 2014, 2019 ini tidak memberikan arah yang jelas dalam konstelasi politik karena Demokrat ingin terus jadi penentu, ingin menjadi paling dominasi dalam penentuan koalisi,” kata Arifki, Jumat (1/9/2023).

Dalam konteks Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Arifki menilai, Demokrat mematok target terlalu tinggi dengan AHY cawapres harga mati. Sementara itu, peserta koalisi lainnya bukan sekadar kebutuhan pemenuhan syarat pencapresan, melainkan juga kemenangan.

“Kalau kita lihat dalam konteks Nasdem hari ini, Demokrat ingin merasa bahwa AHY harga mati, sedangkan kalau kita melihat dalam kontestasi pilpres kali ini, perhitungan koalisinya Anies ini bukan hanya soal lengkap koalisinya, tapi bagaimana cawapresnya Anies itu bisa melengkapi dukungannya di wilayah Jawa karena Anies memang kuat di luar Jawa dan dia butuh cawapres yang kuat di Jawa, terutama di Jawa Timur,” kata Arifki.

Arifki menambahkan, “Makanya figur untuk memutuskan itu ke Cak Imin, salah satunya memang, terutama PKB bisa melengkapi koalisi yang ada.”

Di sisi lain, Arifki melihat, Cak Imin lebih mewakili kelompok Jawa Timur dan NU. Faktor ngotot Demokrat dan situasi kebutuhan suara Anies di Jawa Timur membuat Demokrat dinomorduakan atau pilihan yang paling terakhir. Selain itu, suara Demokrat yang tidak terlalu tinggi membuat partai berpikir dua kali untuk mengambil AHY.

“Artinya Demokrat sebagai oposisi tidak mau mengalah dengan membuat narasi bahwa ada investasi politik yang ditanam ke orang lain, lalu dia akan panen sendiri, tapi Demokrat ingin mengharapkan langsung menjadi bagian penting dalam politik, dalam penentu arah politik. Makanya ini akan sulit ke depannya,” kata Arifki.

Karena itu, kata dia, dalam konteks ini, Cak Imin adalah salah satu yang dihitung. “Demokrat adalah salah satu pelengkap dari koalisi ini, tapi kan perhitungan-perhitungan yang dibuat oleh Nasdem maupun Anies dalam menghitung cawapres di Jatim ini berbeda,” kata Arifki.

Dalam kacamata Arifki, kejadian saat ini menandakan Demokrat bukan mendukung gerakan perubahan, melainkan ingin agar AHY menjadi capres/cawapres.

“Keinginan yang dimainkan oleh Demokrat adalah bukan keinginan perubahan sebagai oposisi, tapi keinginan bahwa Demokrat itu adalah ingin harga mati AHY cawapres,” kata Arifki.

AHY Anies Baswedan

Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Bacapres Anies Baswedan, dan Yenny Wahid pose di hadapan awak media di Djakarta Theater XXI, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2023). Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo justru melihat lebih jauh. Ia menilai, Demokrat kerap 'ditinggal' dalam berpolitik akibat sejumlah faktor. Pertama, ia melihat AHY masih belum dipercaya anggota partai sehingga enggan bekerja sama serius dengan Demokrat.

Faktor kedua adalah tidak ada jaminan suara yang kuat dari akar rumput Partai Demokrat untuk koalisi. Ia mengingatkan, suara Demokrat selama ini menurun signifikan. Pada 2004, suara Demokrat 8,46 juta atau 7,45 persen. Angka itu melejit pada 2009 menjadi 21,66 juta atau 20,81 persen. Namun, suara Demokrat anjlok ke 10,19 persen di Pemilu 2014. Pada 2019, suara Demokrat kembali menurun menjadi 7,77 persen.

“Yang salah itu bukan hanya AHY-nya, [tapi] manajemen Partai Demokrat yang tidak kunjung berubah setelah zaman kejayaannya dan masih pakai cara ketika Pak SBY berkuasa. Menurut saya juga akan berakibat fatal pada pola-pola kerja politik mereka hari ini yang sangat tergantung pada figur,” kata Kunto.

Menurut Kunto, opsi Demokrat agar tidak mengalami apes adalah dengan meningkatkan nilai AHY. Misalnya memasukkan AHY ke pemerintahan. Sebab, kata Kunto, masyarakat perlu melihat rekam jejak AHY agar bisa dipecaya publik.

“Yang kedua, Demokrat harus bisa meyakinkan partai lain atau bahkan pemilihnya sehingga bisa rebound dikit lah naik enggak hanya jadi partai menengah," kata Kunto.

Lantas, bagaimana di Pemilu 2024? Ia menilai, permasalahan Pemilu 2024 bagi Demokrat adalah soal melengkapi atau kecocokan (compability). Ia sebut, AHY dan Ganjar memiliki nilai compability rendah sehingga sulit meski tidak menutup kemungkinan. Ia pun tidak menutup peluang masih ada potensi Demokrat bangun poros baru.

“Kalau akhirnya Mas AHY sama Ganjar, menurut saya compatibility-nya kecil, tapi ya silakan saja dicoba karena compatibility kecil itu justru tidak akan menguntungkan dua belah pihak gitu, dan pilihannya memang bisa tetap di Koalisi Perubahan atau ya bikin koalisi sendiri kalau bisa bujuk PKS dan PPP,” kata Kunto.

Kunto menambahkan, “Ini bahasanya Demokrat sudah ‘dikhianati,’ sudah bahasa yang sangat berat. Tapi kita tunggu dinamika koalisis yang masih sangat cair sampai 1 bulan ke depan.”

Sementara itu, Arifki menilai, Demokrat bisa saja akan bernasib sama seperti 2014 maupun 2019. Ia beralasan, Demokrat sudah memberi sinyal keras untuk meninggalkan Anies. Di sisi lain, opsi yang ada adalah mendukung Ganjar atau Prabowo.

Dalam kacamata politik, kata dia, AHY harus lebih berhati-hati lagi dalam waktu krusial karena Demokrat sudah setengah pintu keluar dengan Koalisi Perubahan dengan 'marah-marah' soal Anies-Muhaimin sampai gerakan cabut baliho dan narasi politik lainnya.

Rapat MTP Demokrat

Sekretaris MTP Demokrat Andi Mallarangeng di Cikeas. (Tirto.id/Hanif Reyhan Ghifari)

Sikap Partai Demokrat

Partai Demokrat resmi mencabut dukungan untuk Anies Baswedan pada Pilpres 2024. “Mencabut dukungan kepada saudara Anies Baswedan sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024," ucap Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Andi Malarangeng kepada awak media di Cikeas, Jawa Barat, Jumat (1/9/2023).

“Yang kedua Partai Demokrat tidak lagi berada di dalam Koalisi Perubahan unutk Persatuan (KPP) karena telah terjadi pengingkaran terhadap kesepakatan yang dibangun selama ini. Demikian dua keputusan dari rapat majelis tinggi partai,” kata dia.

Selain itu, Andi memastikan, partai berlambang mercy akan berupaya memenuhi komitmen partai baik capres, cawapres maupun komitmen lain seperti platform dari koalisi. Mereka pun membuka sinyal tidak harus mendorong AHY.

“Kemudian nanti cawapresnya, capres-cawapres tapi juga tentang platform dari koalisi tersebut, oh kadang-kadang politik, kadang-kadang upaya itu belum berhasil, mungkin sukses yang tertunda ini penuh ke depan, Mas AHY masih muda jadi ke depan masih panjang,” kata Andi di Cikeas, Bogor pada Jumat malam.

Andi menilai, tidak sedikit anak muda masih bersemangat membangun bangsa. Oleh karena itu, mereka lebih fokus ingin agar Demokrat bersama partai lain membangun kemajuan bangsa.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz