tirto.id - “Jangan bunuh anak saya, saya cariin duit, jangan pukul lagi anakku,” keluh Fauziah, ibunda dari Imam Masykur (25) dari ujung telepon kepada salah satu pelaku penculikan sang anak.
Jawaban Fauziah itu dengan getir bercampur takut di tengah desakan pelaku meminta uang tebusan Rp50 juta. Ia menjawab permintaan pelaku yang bilang “Ibu, kalau sayang sama anak ibu kirim duit, kalau tidak kubunuh, kubuang ke sungai.” Cerita ini diungkap Said Sulaiman, kerabat korban Imam menirukan ucapan pelaku.
Imam merupakan korban penculikan, penganiayaan, dan pemerasan hingga tewas oleh tiga anggota TNI. Mereka antara lain: Praka Riswandi Manik berdinas di kesatuan Batalyon Pengawal Protokoler Kenegaraan Paspampres, Praka HS merupakan anggota Direktorat Topografi TNI AD, dan Praka Jasmuri merupakan personil Kodam Iskandar Muda. Ketiga pelaku resmi jadi tersangka dan ditahan di Pomdam Jaya.
Insiden penculikan pria asal Desa Mon Kelayu, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh itu terjadi pada Sabtu (12/8)2023) di Rempoa, Ciputat Timur, Tangerang Selatan.
Sebelum penjual kosmetik itu tewas di tangan tiga anggota TNI, Imam sempat menelepon Said bahwa dirinya telah dipukul oleh tiga tersangka. Imam dengan lekas meminta kerabatnya itu segera mengirimkan uang tebusan kepada pelaku.
“Ada sempat [Imam telepon], dengan ponselnya sendiri, yang ngomong Imam sendiri. ‘Kirim duit Rp50 juta, aku ini udah dipukul,’” kata Said menirukan permohonan almarhum Imam.
Said bercerita insiden yang dialami Imam menjelang magrib. Imam yang sedang menjaga toko kosmetiknya didatangi seorang pria berbadan gempal. Tanpa permisi masuk ke dalam toko, Imam lantas berontak, bahkan refleks menolak untuk dibawa.
“Kalau saya tahu setelah kejadian. Saya tahu dari cerita saksi. Saya sebagai abang sepupunya. Jadi, kejadiannya Sabtu sore mau magrib, 12 Agustus,” kata Said.
Kondisi toko itu cukup ramai. Sejumlah orang sempat membantu Imam agar tidak dibawa oleh pria berbadan gempal itu. Imam tak rela begitu saja dibawa oleh pria itu. Ia lantas berteriak 'perampok'.
Dua pria lainnya pun turun dari mobil yang terparkir di pinggir jalan, sekira 300 meter dari toko Imam. Warga lantas membiarkan ketiga tersangka itu membawa Imam dengan bebas lantaran mengaku polisi.
“Imam mikirnya perampok, kan. Enggak berapa lama turunlah yang dua lagi dari mobil, mobil ditaruh di samping jalan. Tukang sate itu. Turun orang badan agak besar, pakai atribut polisi. Turun bilang, kami ini anggota. Yang bantuin mundur orang ini karena [tiga anggota ngaku] polisi. Imam enggak sempat lari, terus dibawa ke mobil itu, enggak tahu lagi,” ucap Said.
Sempat Lapor ke Polda Metro Jaya
Tak ada firasat apa pun ihwal penculikan Imam di benak Said kala itu. Ia kaget ketika sejumlah orang mendatangi rumahnya dan mengatakan Imam dibawa orang tak dikenal. Sebelum lapor polisi, Said terlebih dahulu mendatangi lokasi kejadian. Toko berkelir cokelat itu tampak tertutup rapat. Di tengah kekhawatirannya, Said mencoba menghubungi Imam. Namun, telepon itu sia-sia. Ponsel Imam tak aktif.
“Setelah kejadian orang datang ke tempat saya melapor bahwa Imam di toko sudah dibawa ke mobil. Langsung saya ke tempat, tokonya sudah tutup. Saya telepon Imam-nya enggak aktif," kenang Said.
Setelah dua hari kejadian, Said pun memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut ke Polda Metro Jaya. Laporan Said teregister dengan Nomor: LP/B/4776/2023/SPKT/Polda Metro Jaya, tertanggal 14 Agustus 2023.
Menurut cerita Said, Imam sempat juga menghubungi sang ibunda hingga adiknya di kampung bahwa dirinya diculik, dipukul oleh para tersangka.
“Ada nelepon mamanya, adiknya sampai beredar video dia dipukul, ada punggungnya merah itu, berdarah itu. Itulah, namanya kita saudara enggak mungkin diam gitu. Apalagi sudah hilang jejak, jadi langsung saya ke Polda. Bikin surat LP, orang ini yang bantu cariin,” kata Said.
Hari pertama pencarian, Said sempat ikut rombongan polisi. Namun, di hari kedua, polisi meminta kepada Said agar menyerahkan sepenuhnya kepada mereka untuk mencari. Hingga akhirnya, Said ditelepon oleh polisi bahwa telah ditemukan mayat tanpa identitas. Polisi menyuruh Said agar mendatangi salah satu rumah sakit di Karawang. Benar saja, mayat itu adalah Imam.
“Tanggal 23 [Agustus] itu karena polisi pun ngomong ini di rumah sakit Karawang, di sana ada perumahan mayat. Jadi, tanpa identitas bilang begitu, siapa tahu keluarga kata dia. Kami ngecek ke sana, siap, saya bilang. Berangkatlah, pas di sana, memang korban,” tutur Said.
Saya mendatangi lokasi kejadian pada Rabu (30/8/2023). Setiba di lokasi, toko berukuran sekitar 3×4 meter itu tampak tertutup rapat, persis sama dengan yang diceritakan Said.
Di lokasi tampak ramai, bahkan sejumlah orang masih duduk sembari merokok di depan toko itu.
Salah satu saksi yang enggan disebut namanya mengaku melihat detik-detik Imam diculik oleh tiga tersangka. Semula, satu orang masuk ke dalam toko. Namun, Imam berontak. Warga sekitar pun mencoba membantu melerai. Menurut saksi itu, karena toko itu ramai, dua orang berbadan gempal pun turut turun dari mobil.
“Kan, satu orang enggak berhasil, lalu masuk dua orang. Satu orang dulu, dilerai sama orang situ, mungkin gagal, dua orang maju,” kata saksi itu. Saat kejadian, saksi persis 50 meter dari lokasi menyaksikan kerumunan orang membantu Imam agar tak dibawa.
Ia menduga adegan itu berlangsung sekitar 10 menitan. Selain tiga tersangka, ada dua orang lainnya hanya berada di dalam mobil jenis Avanza. Ketiga tersangka semula menggunakan jaket, lalu menanggalkan rompi dan mengaku polisi.
“Baju biasa, sempat pakai jaket, terus kayak ngeluarin rompi. Dia bilang polisi, saya polisi, saya lagi bertugas," ucap saksi itu.
Kesaksian Keluarga soal Imam Pernah Diculik Sebelumnya
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, Imam sempat dua kali diculik. Kejadian pertama seminggu sebelum penculikan kedua. Namun, saksi itu tak mengetahui persis apakah pelaku penculikan pertama sama dengan yang kedua. Beruntung, kata dia, Imam tak dibawa setelah memberi tebusan Rp13 juta.
Imam sendiri telah lima bulan berjualan di tempat itu. “Sekali ditebus. Dia [Imam] tetap jualan. Enggak tahu orang yang sama apa bukan. Ini kedua kalinya,” katanya.
Namun, Said membantah Imam sempat diculik sebelumnya di lokasi sama. Ia bercerita saat Imam baru dua bulan di Jakarta memang sempat dirampok. Konon, Imam masih bekerja di tempat orang lain. Saat itu, Imam masih tinggal bersama Said. Kala itu, jelas Said, Imam memberi uang tebusan Rp15 juta.
“Itu kejadian begini, Imam di Jakarta baru satu tahun lebih, 1 tahun setengah. Awalnya datang ke sana, dua bulan. Dia sempat dirampok kayak gitu, waktu dia kerja di tempat orang. Yang beredar isu sekarang, kan, dua minggu lalu dia sempat diculik, bukan begitu maksudnya. Sebenarnya Imam waktu ke Jakarta ke tempat saya, sempat juga dirampok. Cuma tebus Rp15 juta," tutur Said.
Menurut saksi, Imam cukup ramah dengan warga sekitar. Di sela kegiatan jualan, Imam masih sempat ngopi hingga merokok dengan orang yang duduk di depan tokonya.
“Anak baik,” tutur saksi yang enggan disebut namanya.
Saksi lain, yang juga enggan disebut namanya, mengaku Imam sempat berteriak rampok. Mereka pun refleks membantu Imam. “Kita refleks. Kita kayak nongkrong gini nih istilahnya teman abang, otomatis kita tolongin,” kata saksi itu.
Dia mengatakan saat dibawa, tangan Imam tidak diborgol.
Sementara itu, Ketua RT 02/06, Kelurahan Rempoa, Sarip Marjaya mengaku, mengetahui kejadian itu dari saksi di lokasi. Semula, Sarip mendapatkan informasi bahwa insiden itu penangkapan bukan penculikan.
“Besoknya saya dikasih tahu sama warga. Ada kejadian penangkapan, waktu saya terima infonya penangkapan bukan penculikan. Mengaku polisi. Setelah itu baru tanggal 28 [Agustus], Senin itu viralnnya di situ," kata Sarip saat ditemui reporter Tirto di rumahnya, Rabu siang.
Sarip lantas kaget, saat sejumlah awak media mendatangi rumahnya untuk mengonfirmasi kejadian itu. Sebab, dirinya mengaku tak tahu menahu saat kejadian.
“Makanya saya kaget wartawan pada datang ke sini, saya pikir ada apa? karena saya gak ada informasi sebelumnya," tutur Sarip.
Hingga kini, Sarip belum mengetahui persis alasan Imam diculik. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pihak berwenang untuk mengusut kasus itu. Ia juga tak tahu menahu apakah Imam memang benar menjual obat terlarang atau tidak.
“Inti permasalahan saya belum tahu, kenapa sampai dia ditangkap. [Jualan obat] saya belum bisa membuktikan,” kata Sarip.
Menurut Sarip, sebelum Imam menjual obat sempat meminta izin terlebih dahulu. Kala itu, Sarip mempersilakan Imam berjualan.
“Sekitar Februari, lima bulan. Jadi, dia [Imam] minta izin membuka usaha. Usahanya menjual kosmetik. Ya sudah, silakan kalau mau, di situ. Kan, emang tempat usaha. Izinnya lisan saja," tutur Sarip.
Kasus yang dialami Imam saat ini tengah ditangani Puspom TNI AD dan Polda Metro Jaya. Sebab, selain tiga anggota TNI itu, tiga warga sipil turut terlibat dalam kasus ini. Ketiga tersangka yang dari sipil itu kini sudah ditahan di Markas Polda Metro Jaya.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi mengatakan, salah satu yang ditangkap ialah kakak ipar Praka Riswandi Manik, Zulhadi Satria Saputra. Ia berperan sebagai sopir kendaraan pada saat perbuatan pidana terjadi.
“Terkait kasus penculikan, Polda Metro Jaya telah menangkap dan menahan tersangka sipil atas nama Zulhadi Satria Saputra,” kata Hengki saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Selain itu, Polda Metro Jaya juga menahan dua orang penadah hasil kejahatan dari kelompok ini, yakni AM dan Heri. “Total tiga orang sipil di tahan Polda Metro Jaya terkait kasus ini. Tim Polda Metro Jaya berkolaborasi bersama Pomdam Jaya,” tutur Hengki.
Sedangkan tiga tersangka lainnya, yakni anggota TNI ditahan di Puspom TNI AD.
Danpomdam Jaya, Kolonel CPM Irsyad Hamdie Bey menyatakan, ketiga anggota yang terlibat dalam kasus penculikan dan penganiayaan hingga Imam tewas diketahui satu angkatan dan sama-sama berasal dari Aceh.
“Semua satu angkatan yang mereka juga latar belakangnya juga orang dari Aceh yang sama-sama berada di Jakarta, sehingga mereka melakukan secara bersamaan, perencanaan untuk penculikan dan pemerasan itu memang dari kelompok orang yang sama,” kata Irsyad saat jumpa pers di Pomdam Jaya, Jakarta, Selasa lalu.
Lebih lanjut, Irsyad mengatakan, ketiga anggota ini tidak mengenal secara detail korban. Namun, ketiganya mengetahui korban menjual obat-obat terlarang jenis G. Penyidik belum mengetahui obat terlarang yang dijual korban. Hingga kini, penyidik masih melakukan penyidikan.
Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigadir Jenderal TNI Hamim Tohari mengatakan, pihaknya tidak akan memberikan hak impunitas bagi tiga prajurit yang terlibat kasus penculikan, pemerasan, dan penganiyaan hingga menewaskan Imam Masykur.
“Yakinlah akan dilakukan secara tuntas dan kami jamin sebagaimana penekanan, penegasan Panglima TNI tidak akan ada impunitas terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana baik umum maupun militer," kata Hamim saat jumpa pers di Pomdam Jaya, Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Didesak agar Kasus Diselesaikan di Peradilan Umum
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian mendesak, agar kasus ini diselesaikan lewat mekanisme peradilan umum, bukan militer. Menurut Rozy, selama ini terbukti peradilan militer tidak memberikan efek jera terhadap anggota yang melakukan pelanggaran yang memiliki dimensi tindak pidana.
“Banyak sekali itu kita melihat bahwa anggota-anggota militer melakukan penganiayaan bahkan sampai pembunuhan. Banyaklah pelanggaran-pelanggaran lain yang akhirnya diselesaikan lewat mekanisme peradilan militer," kata Rozy saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (30/8/2023).
Rozy mengatakan, mekanisme peradilan militer itu tidak diselenggarakan secara terbuka, transparan, dan akuntabel. Alhasil, mayoritas putusannya pun hitungan bulan.
“Maksimal yang kita temukan rata-rata dua tahun paling berat. Itu yang kita tuntut ketika itu, misalnya melalui peradilan militer, tidak ada juga mekanisme pemulihan yang berkeadilan bagi para korban dan keluarganya. Jadi, enggak ada akses bagi keluarga korban mengakses pemulihan baik restitusi, rehabilitasi. Nah, itu yang kita persoalkan, kasus ini diselesaikan melalui mekanisme militer,” ucap Rozy.
Di sisi lain, lanjut dia, kasus ini menandakan kultur kekerasan di tubuh institusi TNI. Oleh karena itu, kata dia, seharusnya kasus ini menjadi sorotan bagi Panglima TNI Laksamana Yudo Margono untuk membenahi sistem kultur anggota.
“Panglima TNI sudah kasih pernyataan hukuman mati, tapi kan sifatnya kasuistik, tidak menyentuh yang namanya sistem, dia harus analisis secara mendalam. Kenapa kekerasan dilakukan oleh prajurit di lapangan itu sering kali terus berulang menimbulkan korban sipil dan lain sebaginya,” tutur Rozy.
Berdasarkan data KontraS yang diterima reporter Tirto, periode Oktober 2021 hingga September 2022, ditemukan sebanyak 61 peristiwa kekerasan melibatkan anggota TNI.
Kasus penganiayaan masih menjadi tindakan dominan kekerasan yang dilakukan oleh prajurit militer dengan 32 kasus, diikuti dengan intimidasi (9 kasus), okupasi lahan (7 kasus), penembakan (6 kasus), dan penyiksaan (5 kasus), intimidasi dan tindakan tidak manusiawi masing-masing 4 kasus, kejahatan seksual (3 kasus) serta penculikan, bisnis keamanan dan pembiaran masing-masing 1 kasus.
Berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM ini, utamanya menyasar warga sipil yang memiliki interaksi dengan anggota di lapangan. KontraS juga menemukan anggota Polisi Pamong Praja, lurah, jurnalis hingga anggota kepolisian tak luput menjadi korban dari arogansi serta unjuk kekuatan anggota TNI di lapangan. Banyaknya peristiwa kekerasan yang terjadi telah menimbulkan sebanyak 59 korban luka-luka dan 24 lainnya tewas.
Menurut catatan KontraS, kentalnya kekerasan dalam tubuh institusi militer salah satunya disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa antara anggota di lapangan dengan entitas lainnya. Selain itu, TNI yang notabene merupakan alat pertahanan terlalu mudah untuk berelasi dengan masyarakat dan terlibat dalam urusan yang tidak perlu, utamanya bisnis.
Hasilnya, anggota TNI yang diberikan kewenangan senjata api tak jarang menyalahgunakan otoritasnya demi kepentingan pribadi. Hal tersebut didukung dari motif tindakan kekerasan yang ditemukan.
Dari 61 total keseluruhan, KontraS mengklasifikasikan 41 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI di lapangan bermotif penggunaan kekuatan. Anggota TNI yang merasa memiliki status sosial yang lebih tinggi begitu mudah menggunakan kekerasan sebagai opsi untuk menyelesaikan masalah.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz