tirto.id - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan adanya mekanisme kontrol terhadap penggunaan dan penyalahgunaan tempat ibadah. Usulan ini didasari masifnya penyebaran paham radikalisme di lingkungan tempat beribadah. Wacana ini lantas menuai kontroversi.
Kepala BNPT, Rycko Amelza Dahniel mengatakan, pihaknya sudah melakukan studi banding ke beberapa negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Hasilnya, seluruh tempat ibadah di dua negara tersebut terkontrol di bawah pengawasan pemerintah. Mulai dari siapa yang berbicara dan apa isi konten ceramah yang disampaikan.
Tak hanya itu, di negara-negara Timur Tengah seperti Oman, Qatar, Saudi Arabia, dan Maroko, semua masjid tempat ibadahnya juga di bawah kontrol pemerintahan. Sehingga petugas yang akan memberikan tausiah atau khutbah materinya akan di bawah pengawasan.
“Mungkin dalam kesempatan baik ini kita perlu memiliki mekanisme untuk melakukan kontrol tempat ibadah, bukan hanya masjid. Tapi semua tempat peribadatan kita,” kata dia dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Senin (4/9/2023) sebagaimana disiarkan Youtube Komisi III DPR RI Channel.
Nantinya, kata Rycko, siapa saja yang boleh memberikan atau menyampaikan konten di tempat peribadatan akan dikontrol pemerintah. Harapannya tentu tempat ibadah tidak dijadikan alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekerasan, kebencian, menghujat golongan, bahkan menghujat pemerintah.
“Kita perlu belajar dengan negara-negara tetangga kita Singapura Malaysia negara Timur Tengah di Afrika pun mereka sudah memiliki mekanisme kontrol tempat-tempat ibadah ini. Karena demikian masifnya penggunaan tempat ibadah untuk proses radikalisasi,” terang dia.
Usulan BNPT itu sebetulnya mengakomodir masukan dari anggota Komisi III DPR RI. Dalam rapat kerja tersebut, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Safaruddin geram lantaran ada salah satu masjid milik BUMN yang isi ceramahnya justru menyebarkan ujaran kebencian kepada pemerintah dan lainnya.
“Kalau kami di Kalimantan Timur itu ada masjid di Balikpapan. Itu masjid Pertamina tiap hari mengkritik pemerintah di situ. Di dekat Lapangan Merdeka itu pak ada masjid milik Pertamina, tiap hari, tiap lima waktu mengkririk pemerintah di situ, padahal itu milik Pertamina,” kata Safaruddin.
Pengamat terorisme, Al Chaidar menyambut baik wacana yang digaungkan BNPT. Menurutnya gagasan agar pemerintah mengontrol tempat-temapat ibadah merupakan sebuah ide bagus. Pemerintah dalam hal ini, kata dia, perlu menginvestasikan hubungan baik dengan lokus umat Islam yang sangat peting.
“Jika tidak, maka akan terjadi pembajakan rumah-rumah ibadah di bawah monopoli aliran tertentu," katanya kepada reporter Tirto, Selasa (5/9/2023).
Dinilai Berlebihan dan Bertentangan dengan UUD
Sebaliknya, pengamat terorisme, Stanislaus Riyanto berpandangan, usulan BNPT terlalu berlebihan bila melakukan kontrol terhadap tempat ibadah oleh pemerintah. Apalagi usulan ini sudah diumumkan secara terbuka saat rapat kerja bersama Komisi III DPR RI.
Dia mengatakan, seharusnya lembaga seperti BNPT jika memang ada aktor yang dicurigai terlibat dalam radikalisme di tempat ibadah, maka yang diawasi adalah aktornya bukan tempat ibadahnya. Sementara pengawasannya cukup dilakukan secara tertutup oleh intelijen. Bukan malah diumumkan terlebih dulu secara terbuka seperti ini dan yang dijadikan target pengawasan adalah tempat ibadah.
“Memang pemerintah, terutama BNPT mempunyai peran dalam deteksi dini, cegah dini ancaman radikalisme, tetapi bukan dengan cara-cara yang menimbulkan kontroversi," ujar dia kepada Tirto.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas mengatakan, usulan BNPT menghendaki semua tempat ibadah berada di bawah kontrol pemerintah jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 29 ayat 2 menegaskan, negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Wacana itu juga bertentangan jiwa dan semangatnya dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jadi kebebasan beribadah dan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi.
“Oleh karena itu jika kepala BNPT mengusulkan agar rumah ibadah diawasi dan dikontrol oleh pemerintah ini jelas sebuah langkah mundur dan mencerminkan cara berpikir serta bersikap yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah kita bangun dan kembangkan selama ini secara bersusah payah," kata dia dalam pernyataannya, Selasa (5/9/2023).
Anwar menyatakan, cara berpikir dan bersikap BNPT tersebut jelas tidak baik dan tidak benar. Ini karena mengarah kepada corak kepemimpinan yang tirani dan despotisme yang lebih mengedepankan pendekatan security approach dan mengabaikan pendekatan yang lebih bersifat dialogis, objektif dan rasional.
“Cara-cara kepemimpinan seperti ini biasanya dipergunakan orang dalam kepemimpinan yang bersifat otoritarianisme dan itu sudah jelas tidak sesuai jiwa dan semangatnya dengan falsafah dan hukum dasar negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945," terang dia.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Keagamaan, Ahmad Fahrurrozi atau Gus Fahrur, menyampaikan pada hakikatnya semua agama mengajarkan kebaikan dan mencegah kerusakan. Kontrol pemerintah dalam hal ini hanya diperlukan jika memang ada indikasi penyimpangan atau provokasi atas nama agama yang membahayakan keamanan negara saja.
Gus Fahrur menyebut, kebebasan beribadah merupakan salah satu elemen penting dari kebebasan beragama. Di mana kebebasan ini termasuk aspek yang paling sentral dibanding aspek-aspek lain. Karena ibadah merupakan pengejawantahan dari ajaran agama itu sendiri dan ibadah adalah manifestasi dari keyakinan.
“Jika memang ada indikasi penyelewengan ajaran agama untuk tujuan melawan hukum atau terorisme, pemerintah bisa melakukan antisipasi dan melakukan penindakan tegas sesuai kebutuhan, dengan memaksimalkan fungsi intelijen keamanan negara dan lembaga yang telah dibentuk seperti Densus 88 atau BNPT," kata dia kepada Tirto.
Masyarakat, lanjut dia, juga perlu kenyamanan dalam beribadah. Jangan sampai hal ini justru terulang kembali trauma era masa lalu yang represif dan membatasi kebebasan dan kenyamanan beribadah bagi pemeluknya.
Langkah Mundur
Usulan kepala BNPT ini juga ditentang oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Ketua Umum PGI, Gomar Gultom mengatakan, pengawasan kontrol di tempat-tempat ibadah menjadi langkah mundur dari proses demokratisasi yang sedang sudah diperjuangkan bersama pasca reformasi 1998.
“Dalam masyarakat yang semakin demokratis, negara harus mempercayai rakyatnya untuk bisa mengatur dirinya, termasuk dalam hal pengelolaan rumah ibadah,” kata dia dalam keterangan tertulisnya.
Dia menilai pemikiran Rycko yang menghendaki agar pemerintah mengawasi setiap agenda ibadah yang digelar di tempat ibadah serta mengawasi tokoh agama yang menyampaikan dakwah atau khotbah, hanya menunjukkan sikap frustrasi pemerintah yang tak mampu mengatasi masalah radikalisme. Hal ini merupakan arus balik dari cita-cita reformasi dan akan membawa kepada suasana etatisme pada masa orde baru.
Menurut dia, masalah yang dihadapi saat ini adalah kurang tegasnya pemerintah menghadapi berbagai ujaran kebencian yang mendorong budaya kekerasan di tengah masyarakat. Bahkan perilaku intoleran yang disertai dengan tindak kekerasan, apalagi atas nama agama, sering luput dari tindakan hukum oleh negara.
“Peradaban yang mengedepankan mereka yang bersuara keras, atau mengedepankan kebencian dan kekerasan, ini yang perlu mendapat perhatian kita bersama, untuk segera dihentikan," tegas dia.
Ketimbang memberlakukan usulan kepala BNPT, Gultom justru meminta keseriusan dan tindakan tegas pemerintah atas ujaran kebencian, aksi intoleran dan tindak kekerasan sesuai hukum yang berlaku. Selain itu, hal lain yang mendesak dilakukan bersama oleh seluruh elemen bangsa adalah pembudayaan cinta damai dan cinta kemanusiaan.
“Di sisi lain, pemerintah pun perlu lebih peka mendengar kritik masyarakat, termasuk dari para tokoh agama atau pendakwah, dan jangan cepat-cepat menghakiminya sebagai bagian dari radikalisme," tutupnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz