tirto.id - Muhaimin Iskandar atau Cak Imin akhirnya dideklarasikan sebagai bakal cawapres pada Pemilu 2024. Ketua umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu akan berpasangan dengan Anies Baswedan yang diusung Partai Nasdem dan tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan.
Hal tersebut menjadi capaian terbesar Cak Imin dalam karier politiknya. Sebab, meski dalam dua pemilu terakhir selalu menyatakan siap maju pilpres, tapi selalu gagal. Pada Pemilu 2014 misal, PKB mencalonkan Jusuf Kalla sebagai wakil Jokowi, sementara di Pilpres 2019 mendukung Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi.
PKB tentu tak mau melewatkan pemilu serentak kali ini sama seperti dua pilpres sebelumnya. Karena itu, PKB telah memasang target tinggi untuk Cak Imin: capres 2024. Bahkan jauh-jauh hari, wajah Cak Imin kerap menghiasi baliho hingga media sosial. Namun, usaha promosi tersebut masih belum berdampak banyak untuk mendongkrak elektabilitasnya. Setidaknya hal ini tercermin dalam banyak survei yang dirilis sejumlah lembaga.
Meski demikian, Cak Imin dan PKB tidak berhenti bermanuver. Mulai dari wacana membentuk koalisi semut bersama PKS pada Juni 2022 hingga membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) bersama Partai Gerindra dengan mengusung Prabowo Subianto sebagai bakal capres.
Belakangan, nama KKIR berubah menjadi Koalisi Indonesia Maju setelah Partai Golkar dan PAN resmi bergabung. Masuknya partai baru membuat posisi kursi cawapres yang diincar Cak Imin di KKIR tak aman. Hal ini diduga yang membuat Cak Imin bermanuver dengan mendekati Nasdem.
Manuver Cak Imin kali ini membuat perpolitikan nasional semakin panas. Partai Demokrat sebagai bagian dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan bahkan menyatakan diri keluar dan menarik dukungan terhadap Anies Baswedan yang memilih menggandeng Cak Imin. Sebab, sedari awal Demokrat menginginkan sang Ketum Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY menjadi pendamping Anies.
Dari segi elektabilitas, AHY lebih unggul dibandingkan Cak Imin. Survei teranyar Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan, bakal cawapres yang paling pantas mendampingi Anies adalah AHY dengan angka 22,2 persen, sementara nama Cak Imin hanya bertengger di urutan keenam dengan angka 2,0 persen.
Survei ini dilakukan pada periode 3-9 Agustus 2023. Adapun populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilu, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Jumlah responden sebanyak 1.220 yang dipilih secara multistage random sampling dengan margin of error sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Akan tetapi, dari sisi elektabilitas partai, PKB lebih unggul dibandingkan Partai Demokrat dengan angka 7,6 persen. Sementara tingkat keterpilihan Demokrat hanya bertengger di angka 6,6 persen.
Sementara survei teranyar Indikator Politik Indonesia (IPI) menyebut, dari lima nama yang dimunculkan, Erick Thohir unggul dengan elektabilitas sebesar 22,9%. Nama AHY bertengger di urutan ketiga dengan angka 12,5 persen, di bawah Ridwan Kamil (20,1%) dan Sandiaga Uno (17, 5%).
Berdasarkan survei yang sama dalam 17 nama semi terbuka, nama Erick masih paling atas dengan angka 19,0 persen. Nama AHY berada di posisi keempat dengan angka 11, 6 persen. Sedangkan nama Cak Imin hanya berada di urutan ke-12 dengan elektabilitas 0,7 persen.
Kendati elektabilitas Cak Imin lebih kecil dari AHY, Nasdem tetap meminangnya menjadi pendamping Anies. Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Surya Paloh menilai, Cak Imin adalah sosok yang tepat untuk menjadi bakal cawapres Anies.
“Saya mengenal seorang Muhaimin Iskandar. Seorang yang amat piawai, seorang organisator ulung yang bergerak dalam dunia pergerakan cukup lama. Punya kepiawaian yang tidak kalah dengan Bung Anies,” kata Paloh dalam acara deklarasi Anies-Cak Imin di Surabaya, Sabtu (2/9/2023) sebagaimana disiarkan langsung Metro TV.
Paloh bahkan mengibaratkan sosok Anies dan Cak Imin seperti botol dan tutupnya. Sehingga akan menjadi pasangan pas dan menjadi modal utama yang dipersyaratkan oleh konstitusi.
Selain Cak Imin dan AHY, nama Airlangga Hartarto juga dijagokan Partai Golkar agar maju pada Pilpres 2024. Saat ini, Airlangga digadang-gadang sebagai salah satu calon potensial bagi Prabowo Subianto meskipun elektabilitasnya dalam sejumlah lembaga survei kecil.
Saingan Airlangga sebagai bakal cawapres Prabowo adalah Erick Thohir yang dijagokan PAN. Ketum Partai Golkar ini menjawab diplomatis ketika ditanya soal peluang dirinya sebagai bakal cawapres Prabowo usai Cak Imin dan PKB cabut.
“Ini kita akan ada pembicaraan lanjutan,” kata Airlangga di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Kamis (31/8/2023).
Dari sisi tingkat keterpilihan parpol di parlemen, Golkar memang lebih mentereng dibandingkan PAN. Tingkat keterpilihan Golkar berdasar survei LSI berada di angka 9,3 persen, sedangkan PAN hanya di angka 4,2 persen.
Elektabilitas Tokoh yang Santer Maju Pilpres Relatif Kecil
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah menilai, elektabilitas sejumlah nama yang santer akan maju sebagai capres dan cawapres dinilai relatif kurang tinggi. Menurutnya, elektabilitas para tokoh itu lebih rendah jika dibandingkan Jokowi pada 2014 dan 2019.
“Jadi, artinya kalau dari sisi elektabilitas sebenarnya kondisinya relatif sama. Misalnya antara kandidat tiga capres yang sekarang ada ini, termasuk cawapres. Kan, kalau kita lihat secara umum sebenarnya elektabilitasnya relatif rendah,” kata Hurriyah saat dihubungi reporter Tirto, Senin (4/9/2023).
Hurriyah juga menyinggung banyaknya tokoh politik yang akan maju sebagai capres maupun cawapres, tapi terkendala aturan presidential threshold. Hurriyah sebut, desain elektoral yang membatasi ambisi para politikus tersebut akibat dari ulah parpol itu sendiri.
“Akal-akalan partai politik kemudian menyepakati ada presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada hasil pemilu. Akhirnya kekunci,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno mengatakan, meskipun elektabilitas para tokoh yang santer maju menjadi capres dan cawapres relatif kecil, tetapi masih ada kans untuk menang.
“Masih bisa. Tinggal menguatkan dan menyinkronkan kerja struktur dan caleg saja,” kata Adi kepada reporter Tirto.
Menurut Adi, tugas terbesar tokoh yang elektabilitasnya rendah itu mengonversi suara partai menjadi suara dirinya. “Itu yang penting. Masih ada waktu 7 bulan lagi untuk melalukan itu semua,” kata Adi.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz