Menuju konten utama

Cerita Warga Pulau Pari Mempertahankan Tempat Tinggal

Wina Sabenah, satu dari ratusan warga Pulau Pari yang berjuang mempertahankan tanahnya.

Cerita Warga Pulau Pari Mempertahankan Tempat Tinggal
Warga Pulau Pari melakukan barikade saat berunjuk rasa di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Senin (20/11/2017). ANTARA FOTO/R. Rekotomo

tirto.id - Senin pagi (20/11) Wina Sabenah, salah satu warga RT 04 Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta, meninggalkan rumah dan warungnya dengan tujuan yang sudah bulat: mencegah polisi memasang plang di tanah milik salah satu tetangganya.

Sekitar pukul 09.00 pagi, setelah membereskan rumah, perempuan berusia 53 tahun ini menuju bangunan milik Sulaiman. Ketika polisi datang, ia bersama kawan-kawannya berencana langsung bergandengan tangan. Rantai manusia itu, demikian katanya, diyakini tidak akan jebol tertembus barisan polisi.

Tak lama setelah itu Polisi Polres Kepulauan Seribu datang menaiki kapal predator. Bersama Satpol PP, jumlah mereka total mencapai sekitar 80 orang. Mereka berkoordinasi sebentar, dan kemudian barulah merangsek maju.

Barisan perempuan, terutama yang usianya seumuran Wina, berada di lingkar terdepan, sementara laki-laki persis ada di belakangnya. Mereka sudah tahu akan ada dorong-dorongan dengan aparat. Jika hal itu terjadi, dan barisan pertama sudah tidak kuat lagi, maka laki-lakilah yang akan maju.

Para perempuan berjaga di lapisan terluar bukan tanpa alasan. Mereka semua menyepakati pilihan itu. Mereka berharap polisi mengurungkan rencananya.

Sayang dugaan mereka salah. Polisi tidak gentar sedikit pun. Mereka tidak segan mendorong "pagar" ibu-ibu. Kericuhan terjadi. Polisi dan warga saling dorong.

Dalam video yang beredar, diketahui sebelum dorong-dorongan terjadi warga sudah menegur aparat untuk tenang. Begitu juga dengan polisi. Dengan mengenakan pengeras suara, polisi ingin warga mundur dan tidak menghalangi rencana aparat.

"Kalau tidak minggir, kami akan pakai kekerasan," kata Wina, menirukan imbauan polisi kala itu.

Akibat bentrok tersebut, 16 warga mengalami luka-luka. Ada yang terinjak, ada yang sesak nafas, ada yang memar karena jatuh dan dipukul polisi. Ada lagi yang dijambak, diseret, dan bahkan dicekik. Wina sendiri tersikut di bagian dada kanannya.

Ia segera diperiksa ke Puskesmas. Untung lukanya tidak parah.

Salah satu pendamping warga Pulau Pari dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ony Mahardika, menyayangkan tindakan polisi. Ia berharap kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat tidak lagi terjadi. Ony akan mengadukan kekerasan ini kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan sudah berkomunikasi dengan beberapa stafnya. Ia juga menyesalkan pemasangan papan yang menyebutkan bahwa bangunan milik Sulaiman berada dalam pengawasan polisi.

"Ini [lahan], kan, bukan barang [yang bisa] lari, kenapa harus dikasih plang? Kenapa disita? Logikanya, kan, gitu," katanya, di Gedung Komnas Perempuan, Rabu (22/11) kemarin.

Tinggal Puluhan Tahun

Wina lahir pada 1964. Ia bukan hanya lahir di Kepulauan Seribu, ia pun tumbuh menjadi manusia hingga dewasa di sana. Itulah alasan yang membuatnya merasa wajib membela tanah kelahirannya. Ia adalah generasi keempat dari keluarganya, mewarisi tanah dari kakek buyut. Untuk menyambung hidup, sehari-hari Wina berdagang di warung dan menjadikan rumahnya sebagai tempat singgah wisatawan.

Semenjak suaminya terserang stroke, Wina menjadi tulang punggung keluarga. Dari penghasilannya, ia bisa menyekolahkan anak pertamanya hingga kuliah dan anak kedua hingga bangku SMA.

Wina tak sempat mengurus sertifikat tanah untuk lahan yang ditempatinya selama bertahun-tahun. Ketika ditanya soal surat girik (Surat Kuasa Tanah), ia tidak punya.

"Namanya orang bodoh, Pak. Dulu gak ngurus-ngurusin itu. Saya lulusan SD, doang," katanya kepada Tirto.

Hingga 2010, Wina bersaksi perekonomian warga Pulau Pari tidak sebaik sekarang. Pantainya dulu belum jadi tempat wisata dan dikenal banyak orang. Malah malaria sempat menjangkiti warga. Baru ketika Pantai Pesisir Perawan jadi tempat wisata, kondisi mulai membaik.

"Tidak ada pengukuran tanah. Baru sekarang-sekarang ini kelurahan datang, polisi segala macam. Tadinya gak ada," katanya, menjelaskan perubahan lain yang dialami warga.

Awal Sengketa Tanah

Dari rilis yang dikeluarkan WALHI, konflik bermula pada tahun 2015. Perusahaan bernama PT Bumi Pari mengklaim memiliki 90 persen lahan di Pulau Pari dengan dasar puluhan sertifikat yang terbit pada tahun tersebut. Empat orang warga bahkan divonis bersalah karena dituduh menguasai lahan perusahaan atau mengelola lahan di pulau Pari.

Yang paling baru adalah laporan pada Februari lalu dari pemilik sertifikat PT Bumi Pari bernama Pintarso Adjianto. Ia mengklaim sebidang tanah yang ditempati Katur Sulaiman, Ketua RW.

Dalam laporan pada bulan Februari itu, Sulaiman -- sebagai terlapor -- tidak bisa menunjukkan surat kepemilikan tanah ataupun girik. Ia hanya punya kwitansi pembelian dari seseorang bernama Surdin.

Status Sulaiman naik sebagai tersangka. Polres Kepulauan Seribu meminta pengadilan untuk memberikan kuasa pada polisi "mengamankan" bangunan tersebut. Putusan ini sebetulnya sudah keluar pada 25 September lalu, tetapi polisi mengambil tenggat waktu untuk berkomunikasi atau melakukan sosialisasi, baik untuk Pintarso atapun Sulaiman. Harapannya Sulaiman mengalah dan pergi dari sana.

Bangunan inilah yang kemudian jadi lokasi ricuh Senin lalu.

"Ada sekitar 14 saksi. Sudah kami periksa. Ada pelapor, ada staf dari BPN, ada kelurahan, ada banyak lah. Ahli hukum pidana juga sudah, ahli hukum tanah juga sudah," kata Kapolres Kepulauan Seribu, Ajun Komisaris Polisi Victor Siagian kepada Tirto.

"Sulaiman itu sama sekali gak ada surat, Mas," tambahnya.

Victor menampik tuduhan bahwa polisi melakukan kekerasan dalam eksekusi kemarin. Menurutnya, polisi hanya menjalankan perintah Undang-Undang. Sebelum berbondong-bondong datang ke Pulau Pari, Victor juga mengklaim kalau mereka telah melakukan usaha persuasif.

Menurutnya, warga yang memblokade polisi menganggap seluruh pulau akan dipasangi papan serupa. Padahal, katanya, tidak demikian. Pemasangan papan itu, katanya, agar warga paham bahwa tanah tersebut "dalam tahap penyidikan dan pengawasan Satreskrim Polres Kepulauan Seribu".

"Kami tidak mau kejadian ini [sengketa lahan hingga di bawah ke meja hijau] terulang. Makanya kami lakukan pemasangan," katanya. Kejadian yang menimpa Sulaiman, kata polisi, agar jadi peringatan bagi warga untuk tidak membeli tanah atau malah menjualnya tanpa sertifikat yang jelas.

Langkah Hukum Warga

Walhi sudah coba mendeteksi asal usul sertifikat yang dimiliki PT Bumi Pari atas nama Pintarso Adjianto ini. Warga telah meminta kepada Ombudsman RI, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk melakukan pengecekan. Warga menduga banyak rekayasa dalam penerbitan sertifikat yang disahkan oleh Badan Pertanahan Negara Jakarta Utara tersebut.

"Kami lagi dorong ke KSP, dorong keadilan di masyarakat. Kalau tidak diselesaikan, 328 keluarga mau ditaruh ke mana? 90 persen (tanah) diklaim," kata Ony Mahardika dari Walhi.

Warga juga mengadukan bentrokan ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Menurut Ony, polisi tidak sepatutnya melakukan kekerasan, apalagi terhadap perempuan. Warga juga rencananya akan lapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebab dalam bentrok itu anak-anak juga jadi korban.

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan bahwa meski masih melakukan penyelidikan, namun perhatian besar akan diberikan pada kasus ini, mengingat sebagian besar perempuan di Pulau Pari adalah tulang punggung keluarga.

"Ibu-ibu ini mau unjuk rasa, dan tentu saja ini tidak menyalahi Undang-Undang," katanya.

Baca juga artikel terkait PULAU PARI atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS