tirto.id - Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) menggugat kepemilikan tanah seluas 8.480 meter persegi yang ditempati SMAN 1 Bandung di Jalan Ir. Juanda (Jalan Dago) No. 93. Gugatan dengan nomor 164/G/2024/PTUN.BDG itu dilabeli nama Dr. Hendri Sulaeman, SH., MH. sebagai perwakilan pihak PLK.
Gugatan ini membuat kompleks gedung SMAN 1 Bandung terancam tergusur. Sebagai respons atas kasus ini, sejak 6 Maret 2025, di jagat media sosial muncul tagar #SAVESMANSABANDUNG.
Beberapa tahun sebelumnya, Perkumpulan Lyceum Kristen juga melayangkan gugatan dengan nomor 7/G/2020/PTUN.BDG. Mereka menggugat Yayasan Badan Perguruan Sekolah Menengah Kristen Jawa Barat (Yayasan BPSMK-JB) Bandung, yang menempati tanah seluas 19.640 meter persegi di sebelah SMAN 1 Bandung. Di atas tanah itu berdiri SMA Kristen Dago, almamater B.J. Habibie dan Hasri Ainun Besari.
Bekas kompleks SMA Kristen Dago kini telah dipagari seng. Bangunan dibiarkan terbengkalai dan dirambati tanaman liar. Beberapa telah dirobohkan. Di luar pagar, tampak sebuah spanduk putih bertuliskan "Dilarang masuk tanpa izin”.
Awal Berdiri dan Nasionalisasi
Sebelum berdiri SMA Kristen Dago dan SMAN 1 Bandung, tanah-tanah yang berada di sana kepunyaan Het Christelijk Lyceum (HCL). Mereka telah mengantongi kepemilikan tanah sejak zaman Hindia Belanda, tepatnya pada 1927.
Dikutip dari tagar.id, awalnya tanah-tanah milik HCL dimiliki oleh seorang pengusaha bernama The Joe Twan. Ia pemilik sebuah vila keluarga yang dibangunnya pada 1910. Kemudian pada 1939 dilakukan renovasi ulang oleh arsitek belanda, J. S. Duyvis, orang yang sama dengan pemrakarsa pembangunan SMP 7 Bandung di Jalan Ambon. Lantas pada 1941, bangunan-bangunan sekolah ini diperluas hingga ke wilayah SMAN 1 Bandung oleh A. W. Gmelig Meijiling.
Saat Jepang menguasai HCL pada 30 September 1945, lahan ini sempat beralih fungsi menjadi kamp penampungan bagi perempuan dan anak-anak yang sakit. Selanjutnya, pada Januari 1946, kamp ini dijadikan rumah sakit oleh Sekutu.
Keadaan berubah ketika terjadi nasionalisasi aset kepemilikan tanah peninggalan kolonial. Aset-aset itu dibagi ke beberapa sekolah seperti SMA Kristen Dago, SMAN 1 Bandung, SMA Nasional, dan SMA Pembangunan.
Hal ini membuat jabatan direktur HCL harus berkewarganegaraan Indonesia. Menimbang hal tersebut, The Joe Twan akhirnya berpindah kewarganegaraan.
Nama Het Chistelijk Lyceum kemudian berganti menjadi Perkumpulan Lyceum Kristen. Kabar terakhir menyatakan, PLK bekerja sama dengan PT Graha Multi Insani (GMI) guna mengurus persoalan sengketa lahan di tanah-tanah warisan HCL.
HCL dan Nasib Pendidikan Siswa Tionghoa
Sebuah memoar terkait sejarah HCL pernah ditulis oleh alumnus HCL Bandung di laman Chinese Indonesian Heritage Centre (CIHC) pada November 2012. Penulisnya bernama Hans Go, mengaku bagian dari lulusan Christelijk Lyceum Bandung 1948.
Hans Go keturunan Tionghoa. Ia menulis keresahan sebagai seorang korban rasialisme minoritas yang terjadi pada masa kolonialisme, baik Belanda maupun Jepang.
Saat itu, Christelijk Lyceum Bandung adalah satu-satunya lembaga yang berkenan memperjuangkan pendidikan anak-anak Tionghoa. Lembaga tersebut menawarkan kesempatan pada anak-anak Tionghoa untuk melanjutkan pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS-opleiding) milik Belanda.
Selama pendudukan Jepang (1942-1945), seluruh akses pendidikan berbasis Eropa ditutup, termasuk Belanda. Imbasnya, beberapa anak Tionghoa di Bandung putus sekolah. Mereka tak dapat akses pendidikan yang layak. Sebagian besar menyerah dan memilih melanjutkan usaha keluarga.
Usai Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada Perang Dunia II, Christelijk Lyceum Bandung menghubungi kembali murid-muridnya yang putus sekolah.
Tahun 1948, Belanda menawarkan kurikulum singkat untuk anak-anak Tionghoa yang sempat mandek sekolah. Institusi mereka, HBS yang mestinya melakoni pembelajaran selama lima tahun dapat diselesaikan hanya dalam kurun tiga tahun.
Pada tahun itu, 40 persen siswa yang mendaftar terdiri dari para pelajar Tionghoa, sisanya keturunan Belanda dan Indo. Sebuah kondisi yang tak akan pernah dibayangkan sebelum Jepang kalah perang. Bahkan tak pernah sama sekali tebesit di pikiran Hans Go kebaikan budi Belanda semacam ini.
Sungguh berkebalikan dengan situasi HBS sebelum masa perang. Hampir mustahil anak-anak Tionghoa dapat belajar di sana. Jika bisa, itu lantaran peran latar belakang orang tua atau anak para pengusaha yang betul-betul tajir melintir.
Hans Go adalah salah satu dari belasan siswa Tionghoa yang beruntung terdaftar sebagai penerima bantuan Christelijk Lyceum Bandung. Berkebalikan dengan pengalamannya di tahun 1941. Ia sempat merasa kerdil sebab dirinya merupakan satu-satunya siswa Tionghoa dari 30 siswa di kelasnya.
Guru matematikanya bernama Manusama. Kelak, ialah yang menjadi Presiden Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda.
Di masa Pemerintahan Belanda, ia menyadari bahwa di sekelilingnya hidup multiras dan berbagai suku. Ada orang Eropa, Timur Asing (Tionghoa, Arab, dll.), juga bumiputra. Sebagai Tionghoa peranakan, Hans Go merasa sebagai prototipe “manusia marginal” di antara kerumunan banyak penduduk.
Jati dirinya dipertanyakan. Identitasnya terombang-ambing tak tentu arah. Sebagai contoh, ia mesti mengajukan izin khusus agar dapat mengikuti pelajaran renang. Pasalnya, kolam renang ialah peranti eksklusif di HBS. Hanya orang-orang Eropa yang bebas memakai baju renang dan menceburkan badan ke dalam kolam.
Keluhan itu terasa sedikit lega setelah dibangunnya sekolah terpisah untuk siswa Tionghoa peranakan di samping sekolah resmi Belanda. Sekolah menengah atas disebut Chung Hsioh, sementara para pelajar setingkat universitas ditempatkan di Ta Hsioh.
Di akhir memoarnya, Hans Go menulis beberapa nasib dan karier para kawan sejawatnya, lulusan penerima bantuan Christelijk Lyceum Bandung angkatan 1948. Rata-rata menjadi orang yang “sukses” dan “berpengaruh”. Berikut daftarnya:
Pwa Kiem Liang, memilih tinggal dan menetap di Belanda hingga akhir hidupnya. Lee Raja Djoe menjadi insinyur dan direktur pemilik perusahaan kelistrikan besar di Indonesia. Harry Kho jadi Direktur Coca-Cola Bottling di Jakarta dan salah satu pemilik perusahaan makanan bayi terbesar di Indonesia.
Kemudian Lionel Tan menjadi advokat sukses Shell selain menjabat sebagai Kepala Departemen Hukum di Fokker. Lalu Gwat Lan, seorang dokter gigi ternama di Surabaya.
Sementara itu dirinya sendiri, Hans Go, adalah ahli ekonomi. Pernah menjadi CEO perusahaan petrokimia di New York. Setelah pensiun, ia memutuskan menjabat sebagai direktur pengawas GoTan BV.
Hans Go menutup kisahnya dengan sebuah pertanyaan:
"Apakah kebetulan bahwa semua mahasiswa Tionghoa-Indonesia angkatan 1948 cukup sukses dalam karier mereka, atau apakah keadaan eksternal yang dihadapi para mahasiswa ini di Indonesia dan dorongan untuk mengakui identitas mereka menjadi rangsangan tambahan?"
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi