Menuju konten utama

Sejarah Sekolah Tionghoa, Korban Kebijakan Rezim yang Diskriminatif

Meski rezim berganti, sekolah-sekolah Tionghoa terus jadi korban kebijakan diskriminatif. Hanya sedikit yang mampu bertahan.

Sejarah Sekolah Tionghoa, Korban Kebijakan Rezim yang Diskriminatif
Foto bersama sebagian lulusan alumni sekolah Tiong Hoa Hwee Koan/Tiong Hwa Hwee Kwan (中華會館) tahun 1953. FOTO/Tionghoa.info

tirto.id - Sepanjang kurun 1945-1949, pemerintah Indonesia yang baru berdiri mulai menggalakkan kebijakan asimilasi bagi komunitas Tionghoa. Namun, kebijakan asimilasi itu menghadapi banyak kemelut dalam praktiknya, seperti kecenderungan untuk menafikan identitas Tionghoa dari unsur kewarganegaraan. Celakanya, diskriminasi itu nantinya malah diinstitusionalisasikan melalui kebijakan politik pendidikan.

Sekolah Tionghoa sebenarnya bukanlah sesuatu yang sangat baru di Indonesia. Organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) setidaknya telah merintis sekolah khusus anak-anak komunitas Tionghoa sejak awal 1900-an. Sejak itu, makin banyaklah sekolah Tionghoa bermunculan di Hindia Belanda dan terus berlanjut hingga era Kemerdekaan.

Meski tidak semua sekolah Tionghoa didirikan karena latar politis, Pemerintah Indonesia tetap waswas terhadap pertumbuhan dan penyebarannya yang pesat. Leo Suryadinata dalam Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia (1987) menyebut, Presiden Sukarno memandang sebagian besar sekolah Tionghoa yang eksis merupakan transformasi dari sekolah Tionghoa pro-Tiongkok era kolonial. Hal itu kemudian jadi alasan perlunya perubahan sistem pengelolaan dan kurikulum di sekolah Tionghoa.

Kebijakan “nasionalis” semacam itu sebenarnya tak hanya menyasar sekolah Tionghoa, tapi juga sekolah-sekolah asing lainnya. Bahkan, pada pertengahan 1950-an, pemerintah mulai bertindak lebih ekstrem dengan wacana penghapusan sekolah-sekolah partikelir asing.

Berdasar data yang dihimpun militer pada 1957, terdapat sekira 2.000 sekolah swasta asing—termasuk juga sekolah Tionghoa—di seluruh Indonesia. Sekolah-sekolah itu menjadi tempat belajar bagi 415.000 murid dan tersebar di 600-700 daerah.

Kemudian, berdasar Peperpu/012/1958, Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat melakukan intervensi atas kewenangan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK) dan Kementerian Agraria untuk mengurangi kuantitas sekolah-sekolah asing yang beroperasi di Indonesia.

Alasan intervensi itu pun masih sama, sekolah-sekolah itu dianggap sebagai warisan era kolonial.

Dari Standardisasi Sampai Razia

Kementerian PPK merespons baik langkah itu. Pihak Kementerian PPK lantas membuat mekanisme penertiban dan pengurangan sekolah asing dilaksanakan secara bertahap. Selama kurun 1958-1959, sekolah-sekolah asing hanya diperbolehkan berdiri di tingkat kabupaten. Namun, kemudian dibatasi lagi di tingkat karesidenan hingga akhirnya hanya diizinkan diselenggarakan di tingkat provinsi saja.

Meski pelaksanaan pengurangan sekolah asing itu sudah terbilang gencar, pihak Kementerian Agraria justru menganggap hal itu belum cukup. Bahkan, melalui korespondensi resmi dengan Kementerian Pertahanan—terlampir dalam Peraturan Penguasa Militer Tertinggi Menteri Pertahanan Nomor 989/PMT/1957, pimpinan Kementerian Agraria bahkan menyebut, “...Tidaklah sewadjarnya sekolah-sekolah asing didirikan di negara kita yang telah merdeka ini.

Lain itu, ada pula kebijakan standardisasi sekolah yang diterapkan untuk seluruh sekolah asing. Kebijakan ini membuat lebih dari 1.100 sekolah Tionghoa mengganti bahasa pengantar pengajarannya, dari semula bahasa Mandarin menjadi bahasa Indonesia.

Selain alasan Nasionalisme, kebijakan ini sejalan pula dengan kampanye anti-Kuomintang yang digalakkan oleh Pemerintah Indonesia pada 1958. Pasalnya, Partai Kuomintang dan China Taipei dianggap terlibat dalam Pemberontakan PRRI/Permesta.

Sikap keras yang sama juga ditujukan pada segolongan Tionghoa yang berafiliasi dengan kaum komunis. Di Surabaya, misalnya, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) berkoalisi dengan PKI. Dalam Pemilu Daerah 1957, PKI menang mutlak di Surabaya dengan meraih 17 kursi DPRD.

Usai kemenangan itu, ABRI melakukan razia ke sekolah-sekolah yang terhubung dengan Baperki. Pewarta Soerabaia (26 Maret 1958) memberitakan ABRI melakukan penyitaan dan pembakaran terhadap buku-buku ajar siswa Tionghoa yang bermuatan anti-Amerika dan prokomunis.

Berdasarkan laporan bertajukBuku-Buku Ajar Tionghoa yang Disita Penguasa Militer” yang terhimpun dalam Koleksi Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri 1950-1959di Arsip Nasional RI,beberapa buku yang disita antara lainDzen Ming Ming Chu o Kuo Chia Chie Shao (bermuatan propaganda anti-Amerika), Chang Tsoh Ke Hsien (kebencian terhadap Pemerintah Amerika), Swan Mu Fan Lie Kan Lan (buku kecil bergambar untuk kanak-kanak, bermuatan propaganda Komunisme), Siao Chen Chah Yen (buku anak-anak tentang gerakan Komunisme), Fan Shen ing Khe (syair pelajar tentang kebesaran Komunisme), Chan Tan Sou Lien (cerita dan pujian tentang Rusia), dan Sin Sao Nien Cheng Che Chang Sine Tu Pen (buku pelajaran tentang politik komunisme).

Mengapa pemerintah dan ABRI mengambil tindakan keras terhadap dua spektrum politik masyarakat Tionghoa?

Hal ini berkait pula dengan berlakunya Staat van Oorlog en van Beleg (SOB) alias status darurat perang yang berlaku di Indonesia sejak Maret 1957. Di masa SOB ini, militer punya wewenang lebih besar dibanding pada masa normal.

Militer, terutama Angkatan Darat, kini bisa menduduki jabatan sipil dan mempengaruhi kebijakan. Dikutip dari Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1981, hlm. 223) SOB memungkinkan militer mengeluarkan suatu perintah atau peraturan yang menyangkut ketertiban umum dan keamanan.

Dengan alasan menegakkan ketertiban umum, militer bisa melakukan sensor terhadap pers dan penerbitan, baik yang berhaluan kiri maupun kanan. Dengan alasan ini pula militer melakukan intervensi di bidang pendidikan.

Infografik Penutupan Sekolah Tionghoa

Infografik Penutupan Sekolah Tionghoa. tirto.id/Fuad

Pascaperistiwa 1965

Posisi masyarakat Tionghoa makin terjepit lagi setelah huru-hara Oktober 1965. Pascakudeta gagal G30S itu, masyarakat Tionghoa jadi korban represi pemerintah Orde Baru.

Seturut catatan Tomy Su dalam “Pasang Surut Tahun Baru Imlek” yang terbit di harian Kompas (8 Februari 2005), ada 21 beleid beraroma rasis terhadap etnis Tionghoa yang terbit tak lama setelah Soeharto mendapat Surat Perintah 11 Maret 1966. Di antaranya adalah kebijakan menutup sekolah-sekolah berbahasa pengantar Mandarin.

Kampanye penutupan sekolah bahkandiperluas dengan menyasar perguruan tinggi, akademi, dan lembaga penelitian milik orang Tionghoa yang dicurigai berhubungan dengan kaum komunis. Selain itu, ada juga pembersihan staf yang meluas hingga ke institusi negara.

Gara-gara kebijakan-kebijakan yang keblinger itu, jumlah sekolah Tionghoa di seluruh Indonesia menurun drastis pada akhir 1960-an. Rezim Orde Baru hanya mengizinkan komunitas Tionghoa mendirikan sekolah dengan syarat kurikulumnya tidak mengandung ajaran yang mengancam ideologi nasional.

Lantas, berdasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 015/1968, berdirilah sejumlah Sekolah Nasional Proyek Khusus untuk masyarakat Tionghoa. Sekolah Nasional Proyek Khusus itu tentu menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar. Sekolah khusus itu juga tidak ada bedanya dengan sekolah negeri dari sisi muatan materinya.

Menurut pemberitaanAntara(30 November 1975), sekolah khusus itu memiliki tambahan mata pelajaran bahasa Mandarin sebagai muatan lokal. Tapi, karena statusnya muatan lokal, jam pelajaran bahasa Mandarin pun menjadi sangat pendek. Tak heran jika kemudian penguasaan bahasa Mandarin para siswanya juga menjadi terbatas.

Goncangan kembali terjadi pada 1975, kala Menteri Pendidikan dan Kebudayan Sjarief Thajeb memutuskan untuk membubarkan Sekolah Nasional Proyek Khusus melalui penerbitan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 072/ U/ 1974.

MelaluiKeputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 044/P/1975, pemerintah berdalih pembubaran tersebut dilakukan dalam rangka peningkatan pelaksanaan asimilasi dalam sistem pendidikan nasional. Lain itu, kebijakan itu juga dilatari kebutuhan untuk mengawasi pendidikan “orang asing” di Indonesia.Dengan adanya aturan baru ini, pemerintah dapat mengontrol penuh proses penyusunan bahan ajar dan penilaian serta pengamatan terhadap kurikulum sekolah Tionghoa di Indonesia.

Baca juga artikel terkait TIONGHOA atau tulisan lainnya dari Siti Zainatul Umaroh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Siti Zainatul Umaroh
Editor: Fadrik Aziz Firdausi