Menuju konten utama
Mozaik

Tan Jin Sing, Bupati Tionghoa yang Akhir Hayatnya Diolok-olok

Di akhir hayatnya, Tan Jin Sing ditolak peranakan Tionghoa, dicurigai kaum ningrat Jawa, dan tak diberi jaminan keamanan oleh golongan Eropa.

Tan Jin Sing, Bupati Tionghoa yang Akhir Hayatnya Diolok-olok
Header Mozaik Tan Jin Sing. tirto.id/Tino

tirto.id - Dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta, Tan Jin Sing tak sekadar fenomenal tapi juga kontroversial. Karier politiknya dimulai pada 1793, ketika ia menggantikan Oei Tek Liong, ayahnya, sebagai Kapiten Cina di Kedu. Usianya saat itu 33 tahun.

Pada 1802, atas desakan ayah mertuanya yang tua dan sakit-sakitan, ia pindah ke Yogyakarta. Selain untuk meneruskan usaha, Tan Jin Sing juga diminta untuk menggantikannya sebagai kapiten di wilayah tersebut.

Dipercaya Inggris dan Putra Mahkota

Kepindahan Tan Jin Sing ke Yogyakarta bersamaan dengan masa-masa penuh kemelut di lingkungan keraton, mulai sengketa pewaris takhta antara Raden Mas Surojo dan Pangeran Notodiningrat hingga Geger Sepehi yang membuat Sultan Hamengku Buwono II lengser dari singgasana dan harta benda keraton dijarah.

Menurut Baha Uddin dalam "Kedudukan dan Relasi Politik Tan Jin Sing pada Peristiwa Geger Sepehi dalam Babad Panular, Babad Mangkubumi, dan Babad Pakualaman" (Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya, 2022, Vol. 23), saat pasukan Inggris yang dipimpin Sir Thomas Stamford Raffles merebut Hindia Belanda pada 18 September 1811, situasi politik di Yogyakarta ikut terdampak. Dua bulan menyusul pergantian rezim, Raffles mengangkat John Crawfurd sebagai Residen Yogyakarta.

Untuk melancarkan proses transisi, Crawfurd mengundang pejabat Kasultanan Yogyakarta dan pejabat publik di luar keraton ke kediamannya, salah satunya Tan Jin Sing. Besarnya pengaruh sang Kapiten Cina membuat Crawfurd tertarik menjalin hubungan baik dengannya.

Seturut Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825 (2008:63), golongan Eropa menggambarkan Tan Jin Sing sebagai “seorang laki-laki yang benar-benar cerdas dan terampil”, yang memadukan ketajaman seorang Tionghoa dengan pengetahuan lokal dan kecerdikan orang Jawa.

Selain berhubungan baik dengan John Crawfurd, Tan Jin Sing juga mendapat kepercayaan dari Raden Mas Surojo. Tak sebatas teman, ia juga menjadi asisten dan penerjemahnya. Menurut Peter Carey di buku yang sama, Kapiten Cina itu memang bisa berkomunikasi dalam berbagai bahasa, mulai Hokkian, Melayu, Jawa, Belanda, dan Inggris.

Tan Jin Sing mulai terseret ke dalam intrik politik di internal keraton setelah menjadi utusan rahasia Raden Mas Surojo kepada Residen Crawfurd. Berkat kontak diam-diam yang ia lakukan, Raffles berjanji membantu Raden Mas Surojo merebut kekuasaan dari tangan ayahnya.

Dalam surat yang ia tanda tangani, Raffles memerintahkan Sultan Hamengku Buwono II agar menyerahkan kekuasaannya kepada Raden Mas Surojo. Sultan menerima surat itu, membacanya dengan saksama, lalu membuangnya. Segera setelah it, ia perintahkan prajurit keraton agar bersiap menghadapi kemungkinan terburuk sebagai akibat dari penolakannya.

Sesudah upaya diplomasi gagal, pada 19-20 Juni 1812, pasukan Inggris yang kebanyakan berasal dari India menyerbu keraton dengan kekuatan 1.200 personel ditambah 500 prajurit Mangkunegaran dan 400 tentara Surakarta. Peristiwa tersebut dikenal dengan Geger Sepehi.

Setelah dibombardir dari segala penjuru, pasukan keraton gagal mempertahankan diri. Ketika pasukan Inggris merangsek masuk, sedikitnya 45 manuskrip dan sekira 350 kilogram emas dijarah. Sultan Hamengku Buwono II kemudian diasingkan ke Penang.

Menjadi Bupati Tionghoa Pertama

Sebelum penyerbuan, Tan Jin Sing dipercaya untuk menyiapkan suplai logistik bagi pasukan Inggris. Dalam Babad Mangkubumi, dikisahkan bahwa Kapiten Cina tersebut sampai harus “menjual baju untuk mendapatkan bahan-bahan makanan.”

Sebagai imbalan atas kesetiaannya, Tan Jin Sing diangkat oleh Raden Mas Surojo--selanjutnya bergelar Sultan Hamengku Buwono III--sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Secodiningrat.

Pengangkatan tersebut mungkin tak lepas dari campur tangan Inggris. Yang pasti, ia juga mendapatkan apanase atau jatah tanah untuk bangsawan sebanyak 1.000 cacah (pembayar pajak per kepala keluarga). Tanah yang berlokasi di sebelah timur Bagelen itu semula merupakan kawasan perkebunan merica dan nila milik VOC.

Tak lama setelah menjabat sebagai bupati, bekas Kapiten Cina itu menyatakan masuk Islam dan dikhitan. Ia juga memotong taucang alias kuncir rambut yang merupakan identitas kultural warga Tionghoa.

Meski birokrat dari etnis Tionghoa merupakan hal lumrah di Jawa bagian timur dan kawasan pantai utara, tidak demikian di Yogyakarta. Tidak heran jika pengangkatan Tan Jin Sing sebagai bupati memantik keresahan sejumlah pihak.

Salah satu yang paling berang dengan pengangkatan itu adalah Pakualam I, ayah Pangeran Notodiningrat. Kemarahan Pakualam I tentu beralasan, sebab Tan Jin Sing adalah orang di balik suksesi Raden Mas Surojo, pesaing anaknya, sebagai penguasa baru Kasultanan Yogyakarta.

Selain Pakualam I yang terang-terangan berniat menghabisi Tan Jin Sing, bangsawan keraton lain juga melancarkan teror padanya. Hidup mantan Kapiten Cina itu berangsur kalut, terlebih setelah pelindungnya yakni Sultan Hamengku Buwono III mangkat pada 3 November 1814.

Di luar statusnya yang tak biasa--berdarah Cina dan menjabat sebagai bupati--kebencian pejabat keraton terhadap Tan Jin Sing juga disebabkan perilakunya yang dinilai kurang ajar.

Dalam buku yang sama, Peter Carey mencontohkan sikap tak terpuji Tan Jin Sing, di antaranya duduk di kursi yang sejajar dengan para pangeran senior dalam resepsi keraton, menyuruh utusan keraton bersimpuh sewaktu menemuinya, dan memberi gelar Raden Ayu, yang lazimnya diperuntukkan bagi perempuan ningrat, kepada istri Jawanya yang berasal dari rakyat jelata.

Infografik Mozaik Tan Jin Sing

Infografik Mozaik Tan Jin Sing. tirto.id/Tino

Di Persimpangan Tiga Dunia

Asal-usul Tan Jin Sing sebenarnya penuh kabut, termasuk soal etnisitasnya. Satu pendapat menyebutnya lahir di tengah keluarga priyayi Jawa tapi kemudian diangkat anak oleh pasangan Tionghoa. Pendapat lain menyatakan ia sebenarnya hasil kawin campur antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan Jawa.

Kembali mengutip Baha Uddin dalam "Kedudukan dan Relasi Politik Tan Jin Sing pada Peristiwa Geger Sepehi dalam Babad Panular, Babad Mangkubumi, dan Babad Pakualaman" (Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya, 2022, Vol. 23), ibu Tan Jin Sing adalah perempuan Jawa bernama RA Patrawijaya, putri Raden Mas Kunting, yang tidak lain keturunan ketiga Sunan Amangkurat I. Artinya, Tan Jin Sing adalah keturunan kelima Sunan Amangkurat I atau keturunan keenam Sultan Agung, raja ketiga Kasultanan Mataram.

Sewaktu Wouter Hendrik van Ijsseldijk, Duta Besar Luar Biasa Belanda, berkunjung ke Yogyakarta pada September 1816, dengan cepat ia memahami posisi Tan Jin Sing yang telah terisolasi dari pergaulan bangsawan dan pejabat keraton.

Lebih-lebih pada kesempatan itu, Pakualam I menulis surat kepada van Ijsseldijk yang berisi tuduhan bahwa bekas Kapiten Cina tersebut adalah antek-antek Inggris. Dan sebagaimana ramalan Sultan Hamengku Buwono I, seorang Tionghoa seharusnya tidak menduduki jabatan berpengaruh di istana, sebab akan menimbulkan malapetaka.

Atas dasar itu, van Ijsseldijk menyarankan Tan Jin Sing pindah ke luar Yogyakarta. Namun, ia menolak lantaran masyarakat Tionghoa di kota-kota terdekat yakni Surakarta dan Semarang juga membencinya, akibat status politiknya yang unik di Yogyakarta.

Jalan terakhir baginya adalah mengajukan permohonan agar disamakan dengan golongan Eropa (gelijkgestelde) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Namun, usaha tersebut juga sia-sia. Bupati yang awalnya memiliki karier cemerlang itu kemudian menjalani sisa hidupnya di tengah persimpangan kultural yang aneh dan tidak nyaman.

Ia ditolak sesama peranakan Tionghoa karena melucuti identitas kulturalnya sendiri, dicurigai kaum ningrat Jawa sebagai orang kaya baru yang ambisius, sementara golongan Eropa yang pernah memanfaatkannya sebagai informan politik enggan memberinya jaminan keamanan dan persetujuan asimilasi yang diajukannya.

Pada akhir Perang Jawa (1825-1830), bunglon politik itu terpaksa menjual tanah-tanahnya untuk membayar utang. Pada 10 Mei 1831, ia meninggal dunia diiringi sebuah ungkapan olok-olok dari masyarakat Yogyakarta, “Cino wurung, Londo durung, Jowo tanggung (bukan lagi Tionghoa, belum jadi orang Belanda, Jawa pun masih tanggung).

Baca juga artikel terkait KERATON YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Politik
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi