tirto.id - Putri Pambayun patuh saat Panembahan Senapati memintanya menyamar sebagai penari. Sutawijaya, nama kecil Panembahan Senapati, sedang mengincar panglima pasukan pertahanan desa perdikan Mangir, Wanabaya. Senapati hendak menguasai Mangir karena Wanabaya menjadi pengganjal serius bagi rencananya menguasai Mataram (Islam) dengan sepenuhnya. Ia ingin menyingkirkan penguasa perdikan tersebut, Wanabaya, dengan menyodorkan “cinta”.
Strategi Senapati sukses. Wanabaya langsung kepincut saat Pambayun menari. Ia meminta Pambayun ikut ke istana dan menikah dengannya. Pambayun mengiyakan tawaran Wanabaya. Ia menikah dan mengandung anak Wanabaya.
Namun siapa yang sedang bersiasat menjadi sumir. Pambayun lupa tugas yang diberikan ayahnya. Ia malah hidup bahagia bersama Wanabaya. Apalagi ia sedang mengandung janin hasil percintaannya dengan Wanabaya.
Sebelum Pambayun melahirkan, Wanabaya ingin bertemu mertuanya. Ia belum tahu kalau Pembayun adalah putri Panembahan Senapati, rivalnya. Dengan berat hati, Pembayun akhirnya jujur mengakui kalau dirinya adalah anak Senapati.
Baca juga: Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Jawa dalam Satu Kraton
Kejujuran Pambayun tak menyurutkan niat Wanabaya menemui sang mertua. Ia yakin calon cucu bisa menjamin keamanan dirinya di hadapan Senapati.
Tapi keyakinan Wanabaya keliru. Senapati sudah lebih dari siap untuk mengorbankan segalanya, termasuk masa depan keturunannya sendiri, demi kelestarian Mataram.
Wanabaya pun mati dihujani tombak prajurit Senapati. Ada juga versi yang menyebut Wanabaya terbunuh saat menghaturkan sembah dengan cara dihantam kepalanya dari belakang.
Ragam versi pula mengenai nasib Pembayun. Salah satu versi yang populer pascareformasi karena ditulis ulang oleh Pramoedya Ananta Toer, Pembayun dikabarkan diusir karena mencintai dan mengandung anak Wanabaya.
“Haram bumi Mataram dengan hadirnya perempuan durjana hina ini. Keluarkan dia dari Mataram Jaya!” perintah Senapati, seperti digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam lakon Mangir (2002).
Senapati kemudian menyiapkan pasukan untuk menguasai Mangir dan menjadi penguasa tunggal di bumi Mataram.
Pengaruh Ibu Suri
Dalam pusaran politik sejarah Mataram, keterlibatan perempuan dalam konflik juga terjadi di masa Amangkurat I, raja keempat Kesultanan Mataram, putra Sultan Agung. Ibu suri yang disebut sebagai janda Sultan Agung berhasil memengaruhi Amangkurat I untuk membatalkan rencana membunuh pamannya sendiri, Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya adalah anak Panembahan Senapati dan satu-satunya saudara laki-laki Sultan Agung yang masih hidup.
Baca juga: Hanung Bramantyo Siap Garap Film Sultan Agung
Merlee C. Rickefls, dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, menuliskan bahwa pada masa kepemimpinan Amangkurat I Mataram dalam kondisi yang mencekam. Ia memimpin dengan keras.
Amangkurat I berusaha meniadakan konsensus orang-orang terkemuka yang memiliki arti penting bagi kedudukan Raja Jawa. Dia membunuh orang-orang yang dicurigai menentangnya, baik di istana maupun di seluruh pelosok kerajaannya. Tentu saja hal itu memicu kegelisahan dan ketakutan.
Ia bahkan membunuh ayah mertuanya sendiri, Pangeran Pekik dari Surabaya yang dibunuh bersama-sama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada 1659. Pangkal sebabnya adalah Pangeran Pekik dianggap bersekongkol dengan Mas Rahmat, putra Amangkurat I, sekaligus cucu Pangeran Pekik. Calon selir Amangkurat I, Rara Oyi, dituduh diculik oleh Pangeran Pekik untuk “diserahkan” kepada Mas Rahmat yang dikabarkan menyukai Rara Oyi.
Akhir cerita sungguh tragis: Rara Oyi dibunuh, Mas Rahmat diampuni oleh ayahnya. Caranya, Mas Rahmat diampuni karena bersedia memenuhi tuntutan ayahnya yaitu membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Baca juga: Permusuhan Raja Jawa dengan Anaknya Sendiri
Pengaruh ibu suri juga sangat kuat dalam masa pemerintahan Pakubuwana II. Ibu suri atau Ratu Amangkurat berhasil membujuk Pakubuwana II agar tidak membunuh saudaranya, Arya Mangkunegara. Kemarahan Pakubuwana II muncul saat ia mencurigai Arya Mangkunegara menyukai salah satu selirnya.
Ceritanya mirip sebuah drama picisan. Arya Mangkunegara kabarnya berhasil merayu salah seorang istri resmi PB II. Setelah melakukan kekurangajaran, ia bahkan berani meminta perempuan itu dan sang Raja menjadi sangat marah karenanya sehingga ia ingin menghukum mati saudaranya itu.
Atas permohonan dari ibunya, Ratu Amangkurat dan lainnya, akhirnya ia memutuskan untuk membuang Arya Mangkunegara dari Jawa (Willem Remmelink, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743, 2002: 52).
Ratu Amangkurat juga disebut memiliki pengaruh besar dalam sistem pemerintahan putranya, Sultan Pakubuwana II. Remmelink menyebut, peran Ratu Amangkurat sangat terasa terutama karena Pakubuwana II diangkat di usia yang masih sangat muda, 16 tahun. Keputusan-keputusan politik yang akan diambil PB II terlebih dahulu didiskusikan dengan ibunya.
Selain ibunya, pada awal masa pemerintahan, Pakubuwana II juga dikuasai nenek surinya, Ratu Pakubuwana, seorang sufi saleh. Agaknya, pengaruh Ratu Pakubuwana inilah yang menyebabkan raja baru ini berkeinginan mempromosikan nilai-nilai Islam. (Ricklefs, 2008: 194).
Baca juga: Obat Kuat Para Raja Jawa
Namun, tak selamanya seorang ibu dan istri memiliki peran protagonis. Selir kelima Sri Sultan Hamengkubuwana V, misalnya. Kanjeng Mas Hemawati, yang konon jadi selir paling disayang, disebut-sebut menjadi pembunuh suaminya sendiri. Sri Sultan HB V ditemukan tewas terhunus di salah satu ruangan istana.
Sultan HB V dinobatkan sebagai raja di usianya yang masih sangat belia, 3 tahun. Ia buru-buru dinobatkan setelah kematian misterius ayahnya, Sri Sultan HB IV. Takhtanya sempat direbut kembali pendahulunya, Sri Sultan HB II.
Sri Sultan HB V naik singgasana lagi setelah HB II wafat pada awal 1828. Setelah itu, pemerintahan HB V justru kehilangan banyak dukungan dari internal keraton maupun sebagian rakyat Yogyakarta. Situasi ini berlangsung hingga nantinya sang raja mati tragis, ditikam dari belakang oleh selirnya.
Sampai kini, alasan Kanjeng Mas Hemawati melakukan pembunuhan itu belum terkuak, masih menjadi misteri tersendiri dalam riwayat sejarah raja-raja Dinasti Mataram Islam. Peristiwa tragis yang rincinya hanya diketahui kalangan terbatas itu dikenang dengan istilah “wereng saketi tresno” atau “mati di tangan yang dicintai”.
Baca juga: Sultan Jawa yang Dibunuh Istrinya Sendiri
GKR Hemas dan Perempuan Modern di Keraton
Keterlibatan perempuan dalam pusaran politik kraton Mataram nyatanya berlanjut sampai era modern. Julukan permaisuri modern nampaknya tepat disematkan untuk Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwana X, Raja Keraton Yogyakarta sekaligus orang nomor satu di DIY.
“Perempuan itu bukan lagi konco wingking, neraka katut, suwarga nunut, perempuan itu juga makhluk mandiri, yang sesungguhnya lebih tangguh dari kaum adam,” demikian semboyan GKR Hemas, seperti tertulis dalam GRK Hemas: Ratu di Hati Rakyat.
Semboyan itu kerap ia sampaikan di berbagai kesempatan. Konco wingking dalam buku Kuasa Wanita Jawa yang ditulis Handayani dan Novianto menggambarkan perempuan yang menjadi teman di dapur. Konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut) juga menggambarkan posisi perempuan Jawa yang mengekor suami.
GKR Hemas seperti tak sepakat dengan konsep-konsep itu. Butet Kertaradjasa dalam GKR Hemas: Ratu di Hati Rakyat menulis, GKR Hemas adalah permaisuri yang berbeda. Dia bukan permaisuri yang hanya bisa macak, masak, manak. Bukan lagi stereotipe perempuan Jawa.
Baca juga: Peran Ganda Raja Surakarta yang Berujung Petaka
Pernyataannya yang penuh tenaga itu memercikkan kehendak untuk tidak lagi menjadi sekadar pendamping, namun tumbuh menjadi pribadi yang bisa melakukan hal-ihwal di luar urusan domestik istana. Kehendak itu terasa wajar karena zaman memang sudah berbeda, pemberdayaan perempuan menjadi gerakan serius, dan kesetaraan gender telah menjadi kosa kata yang lazim. Menjadi terkesan lain karena, tidak bisa tidak, ia adalah permaisuri.
GKR Hemas memiliki segudang jabatan di organisasi sosial yang sudah diikutinya selama berpuluh-puluh tahun. Beberapa di antaranya, GKR Hemas merupakan Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TPPKK), Penasihat Dharma Wanita Persatuan, Ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah, Ketua Umum Lembaga Penelitian dan Pengembangan Penyandang Cacat Dria Manunggal, Penasihat Yayasan Jantung Indonesia Cabang Utama dan masih banyak lagi.
Tak puas dengan itu, GKR Hemas pun melebarkan sayap ke dunia politik. Ia terjun ke dunia politik berbekal pesan dari sang suami “politik itu memang kekuasaan, tetapi ambillah kekuasaan secara etis dan selalu dialamatkan untuk kemaslahatan rakyat banyak. Hal ini bisa dilakukan kalau kita bisa selalu mendengar hati nurani diri kita sendiri.”
Permaisuri yang lahir dengan nama Tatiek Dradjad Supriastuti ini menjadi anggota DPD tahun 2004, kini ia menduduki posisi sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah periode 2009-2014 dan 2014-2019.
Jejak GKR Hemas diikuti oleh anak sulungnya, GKR Pembayun, yang berubah nama menjadi GKR Mangkubumi. Seperti ibunya, GKR Mangkubumi memangku sejumlah jabatan, antara lain Komisaris Utama PT Mataram Mitra Manunggal (BPR Mataram), Direktur Utama PT Yogyakarta Tembakau Indonesia, Direktur Utama PT Yarsilk Gora Mahottama (industri sutera).
Pada pertengahan 2015 lalu, Sultan Hamengkubuwana (HB) X mengangkat GKR Mangkubumi, putri sulungnya yang semula bernama Pembayun, sebagai kandidat Raja Keraton Yogyakarta. Namun, jalan puteri mahkota menuju takhta terhambat oleh UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pasal 18 ayat (1) huruf (m).
Pasal tersebut menyatakan: "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: (m). menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak."
Baca juga: Penerus Takhta Berdarah Kesultanan Yogyakarta
Kata “istri” dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta harus berjenis kelamin laki-laki. Pasal tersebut kemudian digugat oleh 11 orang pada 5 September 2016.
Setelah mendengarkan keterangan saksi di sidang yang digelar pada 17 dan 29 November 2016, Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan gugatan uji materi pada 31 Agustus 2017. Penghapusan pasal 18 ayat (1) huruf (m) tersebut memuluskan jalan GKR Mangkubumi untuk menjadi Ratu Keraton Yogyakarta (baca: MK Putuskan Sultan Perempuan Bisa Jadi Gubernur DIY).
Yang dilakukan HB X menjadikan anak sulungnya sebagai Ratu Keraton Yogyakarta memungkinkan garis darahnya tidak terputus sebagai penguasa Yogyakarta. Jika ia tidak melakukan terobosan politik, hampir pasti tidak ada keturunannya yang bisa menjadi Yogyakarta-1 karena ia memang tak memiliki anak laki-laki.
Tentu saja langkah Sultan HB X ini menuai polemik. Perlawanan datang dari kerabatnya sendiri yang menuduh HB X telah melanggar tata-tradisi (paugeran). Keputusan MK menyelesaikan aspek legal di tingkat hukum positif, bahwa perempuan bisa menjadi Gubernur Yogyakarta. Namun di tingkat kultural, polemik tidak serta merta selesai. Boleh jadi polemik akan berlanjut dalam waktu yang panjang.
Satu yang pasti, Sultan HB X tidak bersikap seperti Panembahan Senapati. Jika leluhurnya menjadikan Pambayun sebagai “umpan”, sementara HB X (hendak) menjadikan putrinya sebagai ratu.
Baca juga: Para Ratu yang Berkuasa Sangat Lama
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Zen RS