tirto.id - Di dataran tinggi Dieng, Wonosobo, tumbuhlah tanaman yang hanya bisa dipanen 4 atau 5 tahun sekali. Tanaman ini hanya ada di sekitar Dieng saja. Tanaman ini punya kasiat hebat bagi laki-laki yang ingin perkasa di atas ranjang. Inilah viagra Jawa: purwaceng.
Di masa lalu, berdasarkan banyaknya tinggalan candi-candi, daerah Wonosobo pernah menjadi kerajaan Hindu. Orang-orang dari berbagai lapisan, mulai dari orang-orang biasa hingga raja merasa wajib memakainya. Konon, sejak zaman raja-raja Hindu di Jawa Tengah, tanaman ini sudah lama dijadikan sebagai obat kuat.
Seorang raja di masa lalu, setidaknya punya empat istri utama, belum termasuk selir. Alasan perkawinan para raja seringkali karena alasan politis, bukan melulu pemuasan hasrat seksual.
Menurut Otto Sukatno dalam Sex Para Pangeran (2002), setelah peperangan selesai, biasanya raja pemenang akan mengawini anak perempuan raja/penguasa yang dikalahkan. Sebagai upaya penjinakan politik lawannya.
Cara menjaga dan membangun kekuasaan adalah melalui perkawinan. Semakin banyak anak perempuan bangsawan lain yang dikawini, maka kedudukan seorang raja bisa semakin kuat. Selain itu, semakin banyak istri yang dimiliki, seorang raja atau bangsawan, maka dia akan terlihat perkasa.
Kebesaran dan keperkasaan seorang raja di Timur Tengah, juga seringkali dilihat berdasarkan harem yang dimilikinya. Di dalam sebuah harem, biasanya terdapat tempat pemandian yang mirip seperti di dalam komplek Taman Sari di Kraton Yogyakarta. Di situlah raja menikmati surga dunia, sekaligus menjadikan tugasnya sebagai suami dan laki-laki bagi banyak perempuan.
Di sinilah pentingnya obat kuat bagi raja dan bangsawan. Termasuk Purwaceng maupun jamu-jamuan lain yang membuat raja perkasa.
Sebelum datangnya Vereniging Oost-Indische Compagnie (VOC) Belanda, raja dan para bangsawan begitu berkuasa di Indonesia. Mereka punya wilayah otonomnya masing-masing. Namun, setelah VOC dan pemerintah Belanda berkuasa, kekuasaan raja-raja lokal beserta bangawannya makin berkurang. Bahkan sumber kekayaan mereka pun diambil Belanda juga. Meski harus tunduk kepada Belanda, urusan kawin raja dan bangsawan jalan terus.
Lihatlah Pangeran Diponegoro, meski bukan raja dia punya banyak istri. Berdasar agama yang dianutnya, yakni Islam, sang Pangeran boleh punya paling banyak empat. Namun para bangsawan dan juga raja punya lebih dari empat. Jika pun istrinya hanya empat, namun dia punya selir-selir yang tak terhitung.
Ini baru raja. Belum bangsawan lain di bawah raja. Dari patih, senapati (panglima), sampai pejabat-pejabat lainnya. Sangat biasa mereka punya istri lebih dari satu. Untuk menafkahi dan menggaulinya, tentu butuh tenaga ekstra. Dan mereka memang punya kiatnya tersendiri.
Contoh lain adalah Sunan Pakubuwono X, yang bertahta di Surakarta sejak 1893 hingga 1939, adalah raja dengan 45 istri. Dari 45 istri itu, dia mendapat 68 anak. Sebagai suami yang adil, tentu saja sang raja harus menafkahi dan menggauli istri-istri dan selir-selirnya. Sudah menjadi kehormatan atau kebanggaan bagi perempuan-perempuan di masa lalu ketika dirinya dipilih untuk digauli raja.
Jika semuanya harus dilakukan tiap malam, raja yang sejatinya juga manusia yang punya keterbatasan, mau tidak mau butuh ramuan khusus. Seperti ramuan ajaib buatan dukun Panoramix dalam diminum Asterix.
Ramuan khusus atau jamu kuat untuk Sunan Pakubuwono X sendiri merupakan resep warisan leluhurnya. Artinya ada sebelum abad XX. Menurut kerajaannusantara.com, bahan-bahannya adalah merica, daun sirih dan bawang lanang. Di mana 40 butir merica, 40 lembar daun sirih dan 40 bawang lanang di rebus lalu disaring. Setelah disaring, bahan-bahan itu dihaluskan dengan batu. Setelahnya diembunkan semalam sebelum diminum.
Ada berbagai jamu atau obat kuat yang tersebar di penjuru Indonesia dan juga dipakai raja-raja lokal lainnya di Indonesia. Tiap raja di dunia ini selalu punya jamu dan obat kuatnya masing-masing. Ketika seks menjadi kebutuhan sekaligus kewajiban yang harus ditunaikan dengan sempurna, alam telah menjawabnya dengan bahan baku.
Selain Purwaceng di Dieng, ada beberapa tumbuh-tumbuhan seperti pasak bumi, yang punya beberapa istilah. Sementara orang-orang Tiongkok, selain percaya pada ginseng asal korea, mereka percaya juga pada tanduk rusa dan cula badak sebagai bahan baku obat kuat.
Mao Ze Dong sukses melawan gempuran kaum nasionalis Kuomintang yang dipimpin Chiang Kai Shek, bahkan memojokan Kuomintang di Pulau Formosa yang menjadi Taiwan. Di masa tuanya, ketika malam tiba, perempuan-perempuan muda terpilih disiapkan.
Umur bukan masalah buat Ketua Mao. Untuk Sang Ketua yang makin uzur, suntikan tanduk rusa tersedia untuknya. Dokter pribadinya yang menyuntikan sari tanduk rusa. Agar Ketua Mao tidak loyo, tapi garang di atas ranjang. Ketika Mao masih hidup, Viagra belum ada. Jadi tanduk rusa pun Mao bisa perkasa lagi.
Tanduk rusa dipercaya mampu meningkatkan daya tahan kejantanan laki-laki di atas ranjang. Superioritas laki-laki di atas ranjang telah meramaikan obat-obat kuat yang beragam dari berbagai penjuru di dunia.
Di Tiongkok, menurut Jatna Supriatna dalam Melestarikan Alam Indonesia (2008), selain sari tanduk rusa, rendaman embrio rusa di dalam arak. Cula badak pun dipercaya juga punya khasiat sama. Selain orang-orang dari daratan Tiongkok, orang-orang Kenya di Afrika, Yaman di Timur Tengah, India, Thailand dan Burma juga percaya khasiat cula badak. Akhirnya cula badak yang mahal harganya itu jadi bahan perburuan.
Di masa lalu, seperti ditulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia (2004), di zaman Kerajaan Sriwijaya, kerajaan yang berpusat di sekitar Palembang itu setidaknya sembilan kali mengirim utusan ke Tiongkok. Sekitar abad ke X, delegasi Sriwijaya tersebut membawa barang dagangan, di antaranya cula badak. Dapat diduga, barang itu untuk dikonsumsi para raja dan bangsawan pula.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS