tirto.id - Musibah bisa jadi berkah. Begitulah gambaran pentas “Laskar Bayaran” produksi Indonesia Kita, di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (26/8/2017) malam.
Pentas ini sempat dinodai musibah mati lampu selama kurang lebih 10 menit. Tapi musibah mati lampu itu bagi Cak Lontong, Marwoto, Akbar, Gareng Rakasiwi, Wisben Antoro, dan Joned dari Trio GAM malah menjadi bahan banyolan. Alhasil, penonton dibuat terbahak-bahak dengan banyolan mereka.
Banyolan-banyolan konyol mewarnai sepanjang cerita Laskar Bayaran yang menceritakan tentang gambaran tahun 2099.
Dalam kehidupan tahun 2099, ada sebuah korporasi global bernama Paradize Capitol Corporation yang menguasai sebuah negara dan mengharuskan seluruh penduduk membayar pajak. Demi menjaga ketertiban pembayaran pajak, Marwoto yang menjadi pimpinan membentuk Laskar Bayaran dengan 3 orang anggota.
Sedangkan Cak Lontong berperan sebagai Louis Lontong, pria asal Perancis yang sedang mencari leluhurnya. Kendati berasal dari Perancis, Louis Lontong malah fasih bahasa Indonesia dengan logat Jawa kental.
Ada banyak ketidaksinambungan cerita dan nalar dalam pentas Laskar Bayaran. Namun pentas tetap berlanjut sampai akhir.
Penggagas Indonesia Kita sejak 2011, Butet Kartaredjasa, di akhir pentas menyatakan para aktor telah bisa menyulap musibah mati lampu menjadi sebuah berkah di atas panggung.
”Anda menjadi saksi pada malam hari ini bahwa musibah bisa menjadi sebuah berkah di atas panggung ini,” kata dia.
Sutradara dan penulis naskah Laskar Bayaran, Agus Noor, menyampaikan pihaknya tidak menyalahkan siapapun terkait peristiwa mati lampu saat pentas. Ia mengaku telah menyiapkan senter sebagai prosedur standar untuk menangani musibah seperti itu.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa keseluruhan pemain di atas panggung harus mengakali kejadian tersebut, terlebih dengan durasi pentas cukup lama.
“Improvisasi semua lah itu,” jelas Agus.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Agung DH