tirto.id - Darahnya berdesir saat tahu sejumlah pangeran punya idealisme yang sama dengannya. Jauh dari kampung halaman, dikelilingi jiwa-jiwa muda yang mendidih oleh api perjuangan, Nyi Ageng Serang tak lagi merasa kesepian. Dengan segera ia menjadi patron mereka.
Ia kemudian terlibat dalam perjuangan Ontowiryo, putra Sultan Hamengkubuwono III yang gemar berkelana, yang melancarkan perang gerilya dan membangkrutkan Belanda.
Perang Sabil dan Benteng Pendem
Raden Mas Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro melihat Nyi Ageng Serang lebih dari sekadar nenek. Ia adalah idealis, patriot, dan ahli siasat perang.
Sejak pertemuan di Keraton Yogyakarta tak lama setelah Nyi Ageng Serang meninggalkan desanya yang berada di pelosok Grobogan, wanita bernama asli Kustiah itu punya tempat khusus di hati sang pangeran.
Putu Lasminah dalam buku Nyi Ageng Serang (2007) menulis bahwa di rumah barunya, Nyi Ageng Serang yang merupakan keturunan Sunan Kalijogo sabar mendengarkan aspirasi para pangeran. Selain Ontowiryo, juga ada Tumenggung Alap-Alap, Joyokusumo, Hadiwijoyo, Diposono, dan Dewi Ratih--istri Ontowiryo.
Paruh pertama abad ke-19 adalah masa-masa sulit di Hindia Belanda, tak terkecuali di dalam keraton. Pergolakan memuncak setelah Inggris mengalahkan Belanda (1811) dan keraton diserbu Brigade Sepoy (1812), pasukan Inggris yang terdiri dari orang-orang India.
Dalam pertempuran yang dikenal dengan Geger Sepoy itu Hamengkubuwono II ditangkap. Bersama putranya, Pangeran Mangkudiningrat (menantu Nyi Ageng Serang), ia diasingkan ke Penang, Malaysia, sebelum dipindahkan ke Ambon.
Setelah pengasingan itu, Nyi Ageng Serang memboyong anak dan cucunya ke Serang. Tak lama kemudian, Kustina, anaknya yang merupakan istri Pangeran Mangkudiningrat, wafat.
Kematian sang anak meninggalkan luka mendalam di hatinya. Sebelumnya, ayahnya Panembahan Notoprojo, saudaranya Putra Notoprojo, dan suaminya Pangeran Mutia Kusumowijoyo tewas dibedil Belanda.
Kebencian kepada Belanda membuat Nyi Ageng Serang menyambut seruan Diponegoro untuk terjun dalam kecamuk Perang Sabil. Keduanya segera melakukan kontak rahasia di Prambanan.
Dalam kesempatan itu mereka banyak membicarakan strategi perang. Nyi Ageng Serang menyarankan Diponegoro melanjutkan strategi benteng pendem (perang gerilya). Menurutnya, itu akan membuat musuh kehilangan banyak sumber daya.
Diponegoro menyanggupi. Tak lupa ia meminta restu Nyi Ageng Serang untuk memindahkan markasnya ke barat Sungai Progo, di sebuah desa bernama Dekso.
Diponegoro juga mengabarkan bahwa Jenderal Hendrik Merkus de Kock, komisaris pemerintah untuk Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, telah memperkuat pasukannya di Magelang, dibantu kekuatan dari Semarang. Mereka sudah menyerbu Selarong, markas sang pangeran, tapi bisa dipatahkan.
Gubernur Jenderal Baron van der Capellen yang marah mengulangi pengepungan pada Agustus 1826 dengan mengutus Mayor Jenderal Van Geen dan Kolonel Nahuijs. Beruntung, Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya berhasil menggagalkan. Semua pasukan Belanda terbunuh kecuali Van Geen.
Dalam pertemuan di Prambanan, Diponegoro dan Nyi Ageng Serang sepakat untuk terus mengobarkan perang. Apa pun tawaran Belanda, jika bertujuan mempersempit wilayah perang atau melemahkan kekuatan tempur, harus ditolak.
Belanda Terkejut, Muncul Firasat Buruk
Kontak senjata di Tegalrejo pada 20 Juli 1825 membuka Perang Jawa yang menewaskan 200 ribu jiwa dan menelan biaya 20 juta gulden.
Nyi Ageng Serang melancarkan berbagai aksi untuk melemahkan tentara Belanda. Di Semarang, Kolonel de Bruyn akhirnya menyerahkan diri setelah gagal menghadapi serbuan pasukannya, bahkan kemudian bersimpati padanya.
Residen Semarang Hendrik Jacob Domis terperanjat mendengar laporan bahwa pasukan yang mengepung wilayahnya dipimpin seorang wanita tua yang hanya bersenjata tombak dan membawa panji “Gula Kelapa”.
Domis bukan satu-satunya pejabat Belanda yang keheranan. Kolonel Jan Baptist Cleerens, Kolonel Van Geen, dan Jenderal de Kock juga tak percaya di antara pasukan Diponegoro ada seorang panglima perempuan.
Menyadari kas negara yang terus terkuras, Belanda melakukan berbagai cara untuk meredam perlawanan Diponegoro. Termasuk membuat sayembara dengan imbalan 50 ribu gulden bagi siapa saja yang bisa menangkapnya.
Pada 1829, usaha-usaha Belanda mulai menampakkan hasil. Satu persatu orang-orang yang dekat dengan Diponegoro berhasil ditangkap, di antaranya Sentot Prawirodirdjo, Kyai Mojo, dan Raden Mas Papak--cucu Nyi Ageng Serang.
Raden Mas Papak dicokok Belanda dengan cara dijebak. Ia kemudian ditahan di Magelang, Salatiga, Ungaran, lalu Semarang. Setelah beberapa tahun ia dibebaskan dengan syarat melepaskan ikatan keluarga dengan keraton.
Pada saat yang sama Nyi Ageng Serang sudah sangat tua. Kesehatannya menurun, ke mana-mana harus ditandu. Keluarga keraton yang tidak tega sepakat untuk memboyongnya dari Prambanan ke Notoprajan, yang terletak di tengah kota.
Pada 1830 masa-masa sulit semakin mencekam. Berbagai persoalan mengimpit semua kalangan, mulai rakyat kecil, keluarga keraton, hingga Pemerintah Hindia Belanda.
Di tengah situasi itu Nyi Ageng Serang mendapat firasat. Berkaca pada pengalamannya dalam berbagai pertempuran serta pemahamannya terhadap karakter, sepak terjang, juga kondisi Diponegoro, tak lama lagi sang pangeran mungkin masuk jebakan Belanda.
Berakhir di Tangan de Kock
Setelah menjalani masa tahanan beberapa tahun, Raden Mas Papak dipulangkan ke Notoprajan. Nyi Ageng Serang beruntung, di akhir hayatnya masih bisa bertemu cucu tercinta sekaligus pelindung setianya di setiap pertempuran. Tak lama kemudian ia wafat.
Pada waktu itu Diponegoro masih melancarkan perlawanan dari hutan ke hutan. Namun, taktik perang gerilya yang dilancarkannya mulai melemah.
Meski semula didukung 15 bangsawan keraton (dari total 29 orang), 41 bupati senior (dari total 88 orang), juga kyai dan jaringan santri di desa-desa, penangkapan demi penangkapan orang kepercayaannya terbukti melemahkan posisinya.
Dalam berbagai pertempuran, pasukan Diponegoro terus terdesak. Beberapa tempat strategis pun berhasil direbut Belanda. Sejumlah panglima perang banyak yang ditangkap dan menyerah.
Indah Tjahjawulan dalam Peperangan dan Serangan (2017) menulis bahwa pada akhir 1829 kekuatan Diponegoro sudah terbaca oleh de Kock. Ia melihat dua pilihan untuk meringkusnya: menyerbu langsung atau menjebaknya diam-diam. Satu yang pasti, de Kock tak ingin perang berakhir dengan Diponegoro dielu-elukan sebagai pahlawan.
Pilihan pertama dianggap terlalu berisiko dan merugikan, sebab butuh biaya besar, sementara hasilnya tidak bisa dipastikan. Selain itu, pasukannya juga sedang kelelahan. Jalan terbaik, demikian menurutnya, adalah melancarkan muslihat.
Untuk meyakinkan Diponegoro, Kolonel Cleerens menyuruh Pake Ibrahim dan Kaji Badaruddin, bekas orang kepercayaan sang pangeran, untuk menemuinya dan menyampaikan pesan bahwa de Kock ingin berunding.
Pada 28 Maret 1830 perundingan diadakan di Magelang. Karena tidak ada kesepakatan, Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Semarang. Selanjutnya ia dikirim ke Batavia melalui jalur laut untuk dihadapkan pada Gubernur Jenderal Van den Bosch.
Sejak itu Diponegoro tak pernah kembali. Ia dibuang ke Manado sebelum dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar. Ia wafat pada 8 Januari 1855.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi