Menuju konten utama
Mozaik

Sejarah Keresidenan Kedu yang Sempat Muncul dalam Gadis Kretek

Keresidenan Kedu dalam lini masa sejarah yang terbentang sejak era mitologi hingga Perang Diponegoro.

Sejarah Keresidenan Kedu yang Sempat Muncul dalam Gadis Kretek
Header Mozaik Kedu. tirto.id/Tino

tirto.id - Bekas rumah dinas Residen Kedu menarik perhatian warganet seusai pemutaran miniseri Gadis Kretek pada pekan pertama November 2023. Rumah lawas berlanggam indische empire yang kini difungsikan sebagai Museum Pengabdian Diponegoro itu dirancang oleh JC Schule.

Menurut Alamsyah, lewat penelitian bertajuk "Identifikasi Bangunan Cagar Budaya di Jawa Tengah (Studi Eks Rumah Dinas Residen)", pembangunan gedung ini memerlukan waktu delapan tahun hingga rampung pada 1821.

Jabatan residen kiwari tak lagi ada. Di masa lalu, residen adalah kepala keresidenan, kesatuan wilayah yang terdiri atas beberapa kabupaten.

Kedu tersohor karena tanahnya yang subur dengan pertanian yang maju. Pada masa Mataram, wilayah ini menjadi penjaga ketahanan pangan kerajaan. Dalam Serat Manik Maya dikisahkan kesuburan tanah itu berasal dari tetesan keringat para dewa yang kemudian menjadi mata air.

Serat Manik Maya sebagaimana ditulis dalam pengantar katalog perpustakaan daring Universitas Indonesia, diperkirakan ditulis Karta Mosada di Kartasura pada 1717. Buku ini di antaranya mengisahkan perjalanan para dewa dan penciptaan alam semesta.

Himpunan cerita itu kemudian dibukukan J.J. de Hollander dalam Manik Maja, Een Javaansch Gedicht yang diterbitkan Bataviaasch Genootschappen van Kunsten en Wetenschappen pada 1851.

Buku ini bisa semacam kumpulan legenda yang ditulis melalui tembang-tembang macapat, puisi tradisional Jawa. Dalam satu penggalan tembang, Kedu digambarkan sebagai tempat beristirahatnya para dewa, juga dilukiskan bagaimana Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing bermula. Berikut petikannya:

...Runtuh rong kepel kang punnang siti, dadu gunung sumbing lan sendara, ing kedhu gon nipun rérén, pramila bumi kedhu, mirah toya dalasan mangkin, karinget ting jawatha, wussa ngrasa lesu, angangkat datan kaangkat, dénning samya ngungkulli punning besali, karanné datan kongang...

Berdasar pengalihaksaraan dan penerjemahan oleh Sri Sumirasih dalam Serat Manikmaya I yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1981, kedua gunung itu terbentuk dari dua kepal tanah.

...Runtuh lagi dua kali masing-masing sebesar kepalan tangan. Jatuhnya berdekatan, menjadi dua buah gunung yang mirip, diberi nama Gunung Sundara dan Gunung Sumbing.

Para Dewa lalu melepaskan lelah di Kedu. Para Dewa mengeluarkan banyak keringat, mengakibatkan wilayah Kedu menjadi murah air sampai kini...

Berabad-abad sebelumnya, wilayah ini telah lekat dengan pertanian. Jejaknya masih bisa dilihat di Situs Liyangan, Kabupaten Temanggung. Berdasar uji karbon terhadap sejumlah artefak, situs tersebut diperkirakan berasal dari Abad II hingga Abad XI. Dalam rentang waktu itu, selama dua abad lebih dinasti Kerajaan Medang silih berganti memegang tampuk kekuasaan.

Dari penggalian situs yang terkubur material lava Gunung Sindoro ini ditemukan alat pertanian, bekas area sawah, dan bekas saluran irigasi. Tak hanya itu, susunan batu yang ditata untuk memperkuat teras siring agar tak mudah longsor juga bisa masih bisa dijumpai. Bahkan, cara yang sama dipakai petani kiwari sebagaimana tampak di lahan-lahan pertanian lereng Sindoro-Sumbing.

Dari Medang ke Mataram

Kedu diduga berawal nama desa atau wanua yaitu i-kdu tanpa huruf ‘e’ seperti tertulis pada Prasasti Rukam yang dibuat pada 907 Masehi atau masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watukara Dyah Balitung. Jarak antara Desa Kedu dan lokasi penemuan Prasasti Rukam berkisar 15 kilometer.

"Sesepuh Desa Kedu mengungkapkan bahwa nama kdu terlebih dahulu digunakan sebagai nama desa sebelum menjadi nama kecamatan dan keresidenan. Wanua i-kdu juga disebutkan dalam Prasasti Mantyasih I dan Mantyasih III yang keduanya dikeluarkan Raja Dyah Balitung”, tulis Agni Sesaria Muchtar.

Selain catatan Agni Sesaria Muchtar dalam artikel “Wanua I Rukam, Nama Asli Situs Liyangan?” yang dihimpun dalam Liangan Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro (2014), ihwal wanua i-kdu sebagai asal mula desa juga tertuang dalam "Toponim Masa Kini Berasal dari Sumber Prasasti Abad IX-X Masehi yang Ditemukan di Kabupaten Temanggung" hasil penelitian Wulan Resiyani pada 2010.

Menjelang pergantian milenium, pusat Kerajaan Medang berpindah ke arah timur di daerah bagian barat Jawa Timur sekarang karena letusan gunung api. Sebagian lain berpendapat akibat perselisihan antarkeluarga. Setelah itu, Kedu seolah menjadi daerah ‘gung liwang liwung’ atau belantara yang angker.

"Setelah muncul Kerajaan Mataram [Islam], sebuah kekuatan politik baru yang berpusat di daerah Yogyakarta yang sejak awal Abad XVII mulai menguasai Pulau Jawa, Kedu kembali tercatat dalam sejarah”, tulis AM Djuliati Suroyo dalam Eksploitasi Kolonial Abad XIX Wajib Kerja di Karesidenan Kedu 1800-1900 (1993).

Dalam legenda yang beredar di masyarakat, Kedu berasal dari kata "kedung" artinya ceruk, mengacu pada kondisi geografis yang berlembah dan diapit dua deretan pergunungan.

Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Andong, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran berjajar di sisi timur. Sedangkan pergunungan Menoreh, Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, serta Gunung Prau membujur di sisi barat.

Menurut tuturan rakyat, semula daerah itu berupa hutan lebat. Saat Mataram memerlukan lahan untuk mendukung eksistensi kerajaan, Panembahan Senopati mengirim putranya, Pangeran Purbaya beserta pasukan untuk babat alas atau membuka hutan.

Dari situlah lahir satu versi legenda berdirinya Kota Magelang yang bermula dari kata temu gelang, sebuah formasi pasukan berbentuk lingkaran seperti gelang untuk menaklukkan ganasnya serangan jin penunggu hutan.

Kedu selanjutnya menjadi nagaragung atau daerah yang diperintah langsung istana kerajaan. Catatan AM Djuliati Suroyo menyebutkan wilayah sebelah barat Kali Progo disebut Siti Bumi, sedangkan di sebelah timur Kali Progo dinamai Siti Bumijo.

Area luas itu dimiliki para bangsawan atau patuh sebagai tanah lungguh atau apanase yang digarap petani lewat para bekel. Dalam perkembangannya, kelak bekel mengepalai desa.

Pada 1755, akibat Perjanjian Giyanti antara Kerajaan Mataram dan Perserikatan Dagang Hindia Timur (VOC), Mataram terbelah jadi dua, Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Tanah Bumi pun dibagi. Secara garis besar, Siti Bumi menjadi milik Kesultanan Yogyakarta, sedangkan Siti Bumijo menjadi daerah Kasunanan Surakarta.

Geger Sepoy dan Perang Diponegoro

Wilayah Kedu lepas dari Mataram seusai Geger Sepoy di Istana Kesultanan Yogyakarta pada 1812, atau setahun setelah Kongsi Dagang Hindia Timur Britania (EIC) di bawah pimpinan Lord Minto mengambil alih kekuasaan Belanda melalui Kapitulasi Tuntang.

Peristiwa penyerangan dan penjarahan harta keraton oleh pasukan yang dipimpin Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles ini berakhir dengan pemaksaan penandatanganan perjanjian politik. Perjanjian itu antara lain memuat bahwa Kesultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta harus menyerahkan Kedu sebagai kompensasi kepada Inggris.

Untuk penguatan tata pemerintahan dan jalur perdagangan, pada tahun berikutnya Kedu dijadikan keresidenan baru. Jabatan residen dirangkap John Crawfud, Residen Yogyakarta. Pada waktu itu pula Magelang ditetapkan sebagai kabupaten. Mas Angebei Danoekromo yang kemudian bergelar Raden Adipati Danoeningrat I diangkat sebagai bupati.

Seturut Konvensi London 1814, Hindia kembali diserahkan ke Belanda pada 1816. Meski begitu, sistem kewilayahan berdasar keresidenan warisan Raffles tetap diteruskan. Sepeninggal John Crawfud, Keresidenan Kedu berada di bawah koordinasi Residen Pekalongan, AMT de Salis.

Pada 1817, Kabupaten Magelang dijadikan ibu kota keresidenan membawahi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Menoreh, bernama sama dengan distrik di ujung selatan Kabupaten Magelang.

Penulis buku Toponim Kota Magelang menyebutkan pada 1820 Keresidenan Kedu mempunyai enam daerah afdeling, 10 distrik, dan 42 subdistrik. Jumlah penduduknya berdasar catatan arsip masa itu seperti dikutip AM Djuliati Suroyo sebanyak 341.914 pribumi.

Infografik Mozaik Kedu

Infografik Mozaik Kedu. tirto.id/Tino

Delapan tahun setelah Kabupaten Magelang ditetapkan sebagai ibu kota keresidenan, Perang Jawa meletus. Kedu menjadi salah satu medan besar perlawanan Pangeran Diponegoro.

Menurut Putut Trihusodo dalam artikel "Soemodilogo: Satu Keluarga Tiga Bupati", untuk mengadang pasukan Sang Pangeran, pemerintah kolonial mengangkat komandan perangnya yang bermarkas di Parakan, R. Soemodilogo, sebagai Bupati Menoreh.

Di tengah kecamuk palagan, sosok yang baru saja menyandang gelar tumenggung itu dibunuh pengikut Pangeran Diponegoro. Bupati Magelang, Raden Adipati Danoeningrat I, juga tak luput menjadi korban dahsyatnya perang.

Selama lima tahun itu, penduduk Kedu berkurang 40.000-50.000 orang. Angka ini sekitar seperempat dari jumlah korban tewas secara keseluruhan yang diperkirakan mencapai 200.000 orang. Perang Jawa juga nyaris membuat pemerintah kolonial gulung tikar.

Sepak terjang Pangeran Diponegoro berhenti di meja perundingan yang berujung penangkapan di rumah dinas Residen Kedu pada 1830. Empat tahun kemudian, pemerintahan Kabupaten Menoreh kembali didirikan.

Ibu kota kabupaten yang semula di Parakan digeser ke Temanggung. Pemindahan lokasi ibu kota ini sekaligus sebagai momentum pergantian nama kabupaten dari Menoreh menjadi Temanggung. Komposisi keresidenan dengan dua kabupaten ini berlangsung hingga 1900.

Memasuki abad baru, sebagaimana dicatat penulis buku Toponim Kota Magelang (2018), berdasar keputusan Gubernur Jenderal Willem Rooseboom pada 13 Juni 1901 yang berlaku 1 Agustus 1901, Keresidenan Kedu mencakup lima kabupaten dengan penambahan Kabupaten Purworejo, Kebumen, dan Wonosobo.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Ariyanto Mahardika

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ariyanto Mahardika
Penulis: Ariyanto Mahardika
Editor: Irfan Teguh Pribadi