tirto.id - Bertandang ke Omah Tjandie Gotong Rojong, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, kita bakal diajak melihat jejak-jejak kehidupan pendekar kungfu pilih tanding Louw Djeng Tie. Suasana semacam itu hadir melalui foto-foto lama yang dipampang di dinding ruang tamunya. Masih pula kita diberi unjuk berbagai senjata khas Tiongkok, seperti tombak, pedang, toya, dan trisula, yang dipajang di salah satu sudut ruangan.
Sesuai namanya, fitur-fitur di situs bersejarah itu—mulai dari teras rumah, kusen pintu dan jendela, serta pilar penyangga—juga menyuratkan perpaduan berbagai langgam yang “bergotong royong” membentuk kekhasan fasadnya. Di antaranya, kita bisa mengenali langgam Jawa, Tionghoa, dan sentuhan khas Eropa.
“Di situlah dulu Louw Djeng Tie tinggal,” kata Chris Dharmawan, pemilik Museum Peranakan Tionghoa Parakan, sambil menunjuk rumah di samping Omah Tjandi.
Selain mengelola museum, Chris juga dikenal sebagai arsitek dan penulis buku Parakan Living Heritage (2021). Pada hari itu, tepatnya di pekan ketiga Desember 2022, Chris tengah menjadi pemandu bagi peserta Workshop Jurnalisme Arkeologi dalam rangkaian Borobudur Writers Cultural Festival.
Chris dengan luwes menjelaskan sepak terjang Louw Djeng Tie—atau juga Louw Djing Tie—beserta 12 muridnya.
Seturut penjelasan Chris, kita juga bisa mengetahui kehidupan Djeng Tie sebagai ahli kungfu melalui buku klasikLouw Djeng TieatawaGaroeda Mas dari Tjabang Siao Lim yang ditulis Tjoe King Soei. Dalam buku yang terbit pertama kali pada 1929 ini, King Soei menuliskan kepiawaian Djeng Tie memperagakan jurus-jurusnya di ruangan penuh perabotan tanpa menjatuhkan barang satu pun.
Buku yang diterbitkan Boekhandel Ho Kim Yoe Temanggoeng itu mengisahkan peristiwa tersebut terjadi ketika Djeng Tie dikunjungi oleh Tan Tik Sioe Sian alias Rama Moortie alias Petapa dari Lereng Gunung Wilis Tan.
Tan Tik Sioe Sian adalah seorang seorang spritualis dan tokoh sentral Pedepokan Adem Atie yang berpusat di Tulungagung, Jawa Timur. Kunjungan itu terjadi di tengah pesiarnya ke Dataran Tinggi Dieng. Karena itulah, di rumah Djeng Tie juga terdapat foto Tan Tik Soei Sian dan tongkat tanda matanya.
Dalam unjuk aksi tersebut, satu per satu murid-murid Djeng Tie juga memperlihatkan kemahirannya. Salah satunya adalah Hoo Lip Poen yang merupakan murid kesayangan sekaligus anak angkat Djeng Tie.
Hoo Lip Poen adalah nama pemberian Djeng Tie. Nama aslinya adalah Hoo Tik Tjay, anak Hoo Tiang Bie. Warga Parakan mengenal Hoo Tik Tjay dengan alias Bah Suthur sang juragan tembakau. Lip Poen alias Tik Tjay alias Bah Suthur juga melegenda sebagai jago kungfu.
Omah Tjandie Gotong Rojong yang kami datangi adalah peninggalan Hoo Tiang Bie. Dialah yang membeli rumah itu dariF.H. Stout, controleur (pengawas) pada proyek pembangunan jalur kereta api Parakan-Secang, pada awal 1900.
“F.H. Stout membeli rumah ini dari anak Mas Kertoatmodjo, Mas Kertosemito, seharga f450. Mas Kertoatmojo membeli rumah besar itu dari seorang bekel pada 5 Desember 1894. Dijual kepada Hoo Tiang Bie seharga f300,” tulis Chris dalam bukunya.
Rumah itu ada di belakang Toko Orion yang menghadap Jalan Tejo Sunaryo atau lebih dikenal dengan Jalan Gambiran. Tak hanya menjual perlengkapan untuk membuat roti, toko ini juga membuat bolu cukil dengan merek Cap Tomat. Usaha tersebut didirikan oleh Go Kim Tong, cucu Bah Suthur. Sekarang, toko dan pabrik ini dikelola oleh Go Sioe Loan yang mewarisi usaha dari ibunya.
Berkelana ke Hindia Belanda
Louw Djeng Tie lahir di Hokkian, Tiongkok, pada 1855. Djeng Tie mulai menekuni bela diri kungfu sejak kecil. Mulanya, dia terpukau oleh kemahiran kungfu seorang kakek tua pembuat tahu. Dia pun ingin bisa seperti kakek itu dan mulai berlatih.
Seturut penelusuran penulis Silvia Galikano, Djeng Tie kecil yang yatim piatu lantas dikirim kakak perempuannnya berlatih kungfu di sebuah kuil shaolin. Djeng Tie berlatih di sana sekira 6-7 tahun hingga tak hanya mahir bela diri, tapi sekaligus ilmu tenaga dalam dan pengobatan.
Tak berhenti begitu saja, Djeng Tie masih menghabiskan beberapa tahun lagi berlatih berbagai ilmu bela diri pada beberapa guru.
Djeng Tie tiba di Parakan saat berusia 30-an tahun. Perantauannya itu sebenarnya dimulai dari keterpaksaan. Mulanya, dia tak sengaja menewaskan seorang penguji pada pemilihan pelatih prajurit kota praja di Shantoong (Shantung). Gara-gara peristiwa itu, dia pun terpaksa jadi pelarian.
Dari Tiongkok, Djeng Tie menuju ke Singapura dan selanjutnya memutuskan ke Jawa. Sebelum menetap di Temanggung, pendekar yang juga mahir memainkan sulap itu pernah menjejakkan kakinya di Batavia, Kendal, Semarang, Ambarawa, hingga Wonosobo.
Di Wonosobo, dia tinggal selama dua tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Djeng Tie berjualan ikan asin dari desa ke desa. Di waktu senggang, dia mengajarkan teknik-teknik kungfu kepada kawan-kawannya di pondokan.
Namun sayang, penghidupannya di kota sisi barat Gunung Sindoro dan Sumbing ini tak jua membaik. Karenanya, Djeng Tie lantas bergeser ke Parakan.
King Soei—yang menulis riwayat Djeng Tie berdasarkan penuturan para muridnya—mencatat bahwa sesampainya di Parakan, Djeng Tie menumpang di rumah seorang saudagar bernama Ang Tjeng di Gamblok.
Masa awal tinggal di Parakan, Djeng Tie berjualan gulali, penganan anak-anak berbahan gula yang bisa dibentuk rupa-rupa bentuk hewan dengan cara ditiup. Djeng Tie kemudian menumpang di rumah keluarga Hoo Tiang Bie. Rumah inilah yang kemudian dilestarikan dengan nama Omah Tjandie Gotong Rojong.
Di Parakan, tak banyak yang mengetahui sepak terjangnya di masa lalu. Nyaris tak ada yang tahu bahwa pemuda penjual gulali itu pernah berkelahi melawan sejumlah tentara Belanda, mendirikan perguruan kungfu secara sembunyi-sembunyi di Ambarawa, atau berencana duel dengan macan di Wonosobo.
Cerita petualangan dan pertarungan Djeng Tie tersimpan amat rapat hingga enam bulan berlalu di Parakan.
Namun, kemahirannya sebagai jago kungfu terbongkar juga di momen yang sebenarnya sangat biasa. Ini bermula dari sebuah pesta pernikahan yang diadakan seorang warga. Rupanya ada seorang tetamu hajatan itu yang berasal dari Wonosobo dan dari dialah mengalir cerita-cerita tentang sosok Djeng Tie si jago kungfu.
Keberadaan jago kungfu itu pun tersiar luas. Tantangan demi tantangan beradu kungfu pun berdatangan padanya. Motifnya beragam, baik karena sekadar penasaran pada kekuatan Djeng Tie, pembuktian, hingga membalas dendam.
“Boeat hal itu, di sini bisa kita toelis namanja almarhoem toean-toean The Goan Sing dan Sim Kim Koei, siapa jang menoeroet kabar kabar ingin mentjoba Djeng Tie,” tulis King Soe dalam bukunya.
Di Balik Gemilang Kungfu
Di Parakan, Djeng Tie pun mendirikan perguruan kungfu. Namanya Garuda Mas. Selain mengajarkan kungfu, dia melakukan berbagai usaha untuk menyambung hidup, di antaranya membuat kue moho, meramu obat, mengobati orang sakit, hingga membuka toko obat.
Resep obat-obatan ala Louw Djeng Tie pernah diteruskan oleh Suthur dan anak cucunya. Produk obat itu dipasarkan dengan merek nama sang guru. Namun, usaha ini mengalami kemunduran di masa Orde Baru. Situasi politik dan kelangkaan bahkan ketiadaan bahan baku akhirnya membuat usaha itu berhenti.
Di luar kegemilangan dalam olah kanuragan, kehidupan pribadi Djeng Tie diwarnai kisah-kisah haru. Djeng Tie tercatat beberapa kali menikah, tapi selalu berakhir dengan kegagalan.
Istri pertamanya saat di Wonosobo meninggal. Di pernikahan kedua saat di Parakan, Djeng Tie dikhianati. Bahkan, istri yang terakhir dari Magelang belakangan diketahui mengidap gangguan jiwa.
King Soei menulis bahwa Djeng Tie menyadari berbagai kesialan dalam hidupnya adalah karma. Itu semua tak terlepas dari perbuatannya di masa lampau.
Louw Djeng Tie si Jago Kungfi akhirnya meninggal dunia pada pada 1921, di usia 66 tahun. Dia dimakamkan di Gunung Manden, sebuah bukit di Desa Mandisari sebelah utara Parakan. Sementara itu, Bah Suthur si Murid Kesayangan meninggal 31 tahun kemudian pada 1952.
Dalam lanskap sejarah bela diri, para ahli memandang Djeng Tie sebagai perintis persebaran kungfu di Indonesia.
“Dia itu menurunkankan ilmu dan men-declare sebagai guru. Ya mungkin sebelumnya sudah ada, tapi yang men-declare dan tertulis ya dia,” kata Suherman Tan, pendiri Yongchun Surya Kancana Wushu.
Kepada penulis, Suherman menunjukkan sebuah buku berjudul Biroeang Merah dari Oetara yang dirilis pada 1930. Dalam novel terbitan penerbit Boelan Poernama itu terdapat kisah seorang pemuda Tiongkok yang jago kungfu jauh-jauh mencari Djeng Tie.
“Dia datang ke Jawa untuk membalas dendam kepada Louw Djeng Tie. Namun, saat bertemu, Djeng Tie sudah dalam kondisi tua dan sakit-sakitan, penglihatannya kabur. Melihat hal itu dia tidak jadi balas dendam,” kata Suherman.
Penulis: Ariyanto Mahardika
Editor: Fadrik Aziz Firdausi