tirto.id - Kesastraan Indonesia awal tak bisa dilepaskan dari para pengarang peranakan Tionghoa. Mereka produktif menulis pelbagai karya dan umumnya menulis dengan bahasa Melayu-Rendah. Istilah Melayu-Rendah diciptakan untuk membedakannya dengan Melayu-Tinggi sesuai standardisasi pemerintah kolonial.
Watak yang tergila-gila dengan standar dan kebakuan itu kemudian melahirkan Komisi untuk Bacaan Rakyat yang kelak menjadi Balai Pustaka. Sensor menggila. Bacaan-bacaan yang dianggap liar, termasuk karya-karya peranakan Tionghoa, tak dapat tempat.
Salah satu pengarang peranakan Tionghoa yang produktif menulis adalah Kwee Tek Hoay. Ia menulis sejumlah novel dan drama. Jika Bunga Roos dari Tjikembang merupakan novelnya yang paling populer, maka Allah jang Palsoe—meski penjualan bukunya kurang laku—adalah drama yang disukai khalayak dan menjadi salah satu perintis penulisan drama di tanah air.
Pungkas hayat Kwee Tek Hoay sungguh tragis. Ia terluka parah setelah dianiaya perampok yang menyatroni rumahnya di Cicurug, Sukabumi. Pada 4 Juli 1952, ia mengembuskan napasnya yang terakhir.
Cicurug kini adalah sebuah kecamatan yang secara administratif berada di Kabupaten Sukabumi. Namun, dalam latar drama Allah jang Palsoe, Kwee Tek Hoay menyebutnya masuk ke wilayah Bogor.
Alkisah, dua orang kakak beradik Tan Kioe Gie dan Tan Kioe Lie adalah anak dari keluarga petani miskin di Cicurug. Mereka bekerja di bidang pekerjaan dan kota yang berbeda. Tan Kioe Gie bekerja di Jakarta sebagai redaktur di surat kabar Kemadjoean, sedangkan Tan Kioe Lie bekerja di Bandung di pabrik tapioka sebagai mandor kuli. Keduanya sukses secara karier dan keuangan, tapi berlainan dalam menyikapi kesuksesan tersebut.
Watak Tan Kioe Gie dan kakaknya bertolak belakang. Ia jujur, dermawan, dan menghargai kebenaran. Sementara Tan Kioe Lie terlampau memuja uang yang oleh Kwee Tek Hoay disebut sebagai Allah-nya yang palsu.
Tan Kioe Lie mula-mula hengkang dari perusahaannya karena ada tawaran lain yang lebih menggiurkan. Di tempat kerja barunya, ia meracuni bosnya sehingga harta kekayaan bos itu jatuh kepada istrinya yang bernama Houw Nio yang kemudian ia nikahi.
Pernikahan itu membatalkan pertunangannya dengan seorang gadis pilihan ayahnya di kampung yang bernama Hap Nio. Pernikahan Tan Kioe Lie dengan Houw Nio tidak berlangsung lama, sebab istrinya jengah dan muak akan perilaku suaminya yang menghabiskan harta warisan dari suaminya yang pertama, dan bahkan terlilit utang. Houw Nio akhirnya pergi meninggallan Tan Kioe Lie yang tengah dililit persoalan keuangan.
Kondisinya ini membuat Tan Kioe Lie frustrasi dan ia memutuskan untuk pergi ke Tiongkok. Ia hendak melarikan diri dari segala masalah yang membelitnya. Namun, dalam perjalanan menuju Batavia mobil yang ditumpanginya mogok. Karena takut diketahui para penagih utang yang senatiasa memburunya, Tan Kioe Lie pergi ke rumah adiknya.
Tak Kioe Gie, yang telah keluar dari surat kabar Kemadjoean karena tak sejalan dengan kebijakan perusahaan media tersebut dan sukses sebagai petani di Cicurug, bersedia untuk menanggung utang yang harus dibayar kakaknya. Namun, karena aparat kepolisian terus mengejar Tan Kioe Lie, sang kakak memilih bunuh diri daripada kejahatannya terbongkar dan nama baiknya hancur.
“Ah, aku kira ini perkara susah dibikin beres sebab sudah jatuh di tangan polisi. Sekalipun bisa dibikin damai, aku toh mesti ditahan lebih dulu dalam penjara, dan aku tidak suka pikul itu kehinaan. Lebih baik sekarang aku bikin abis jiwaku di sini!” ucap Tan Kioe Lie kepada adiknya.
“Ai, janganlah engkau berlaku nekat! Saya tanggung ini perkara tidak jadi apa-apa, jangan putus harapan!” timpal adiknya.
Tan Kioe Lie kemudian lari keluar rumah dan terdengar bunyi revolver.
“Oh, Allah!” ucap adiknya. Ia mendapati Tan Kioe Lie yang terkapar bersimbah darah di pinggir jalan raya.
Sebuah Percobaan dalam Kemandekan
Allah jang Palsoe (1919) merupakan karya drama pertama Kwee Tek Hoay. Menurut Claudine Salmon, seperti dikutip Jakob Sumardjo dalam Kesusastraan Melayu RendahMasa Awal (2004), naskah ini dibukukan pengarangnya sebanyak 1.000 eksemplar. Drama ini berdasarkan sebuah cerpen karangan Phillip Oppenheim yang berjudul "The False Gods".
Kwee Tek Hoay menulis Allah jang Palsoe karena ia merasa bahwa perkembangan drama di Indonesia saat itu mengalami kemandekan. Menurutnya, sejauh yang ia tahu, saat itu drama dalam bahasa Melayu yang dibukukan baru ada tiga buah, yaitu: Kapitein Item yang dipertunjukkan di Batavia saat Ratu Wilhelmina dinobatkan pada 1898, Raden Beij Soeria Retno karangan F. Wiggers (1901), dan Karina Adinda (1913) karangan Victor Ido.
“Dan sedang begitu dalam bahasa Melayu, berbeda jauh dengan bahasa-bahasa Eropa, hampir tidak ada terdapat buku-buku cerita yang diterbitkan spesial buat dipertunjukkan di atas tonil. Sedang dalam bahasa-bahasa yang besar di Eropa sejak dari zaman kuno telah diterbitkan bilang ratus ceritaan komedi yang bagus dan indah, adalah dalam bahasa Melayu, sebegitu jauh yang saya tahu, baru diterbitkan dua atawa tiga cerita saja,” tulisnya dalam pengantar buku Allah jang Palsoe (1919)
Kegelisahan Kwee Tek Hoay tentang minimnya drama yang dibukukan, berlanjut saat Allah jang Palsoe yang ia cetak sebanyak 1.000 eksemplar itu kurang laku terjual. Meski ia tidak secara gamblang menyebut karyanya, tapi hal tersebut, menurut Agus R. Sarjono dalam “Kwee Tek Hoay: Tajem atawa Puntulnya Kitaorang Punya Ujung Pena”, memperlihatkan keprihatinan dan keberaniannya untuk bermuka-muka dengan tradisi dan realitas sosial budaya masyarakat yang dominan saat itu, khususnya kaum peranakan Tionghoa.
“Orang tentu merasa heran, bagaimana di Indonesia yang mempunyai penduduk satu persepuluh dari jumlahnya penduduk di Tiongkok, satu cerita yang baik tidak bisa terjual sampai 1000 jilid. Sedang sekarang, berhubung dengan kemajuannya pendidikan, orang yang bisa membaca Melayu telah tambah beberapa lipat dari 25 tahun lalu. Inilah sebagian ada dari lantaran kaum terpelajar, yang pandai bahasa Belanda atau Inggris lebih senang membaca buku-buku cerita yang tertulis dalam itu bahasa daripada dalam bahasa Melayu,” tulisnya seperti dikutip Agus R. Sarjono.
Percobaan membukukan drama yang dilakukan Kwee Tek Hoay memang patut diapresiasi, meski cerita yang didadarkannya terlampau didaktis daripada menawarkan kisah yang lebih kompleks.
Jakob Sumardjo dalam Kesusastraan Melayu RendahMasa Awal (2004) menilai bahwa Kwee Tek Hoay lewat Allah jang Palsoe hanya melihat soal kemaruk harta dari segi moral saja, tanpa mempertanyakan kenapa masalah kemanusiaan tersebut bisa timbul dan bagaimana cara menanggulanginya.
Lebih lanjut Jakob Sumardjo menuliskan bahwa dalam drama tersebut Kwee Tek Hoay tampak tidak tertarik terhadap permasalahan kemanusiaan itu secara mendalam. Ia hanya mengajak penontonnya untuk mengikuti sikap Tan Kioe Gie yang protagonis, dan menjauhi sifat Tan Kioe Lie yang antagonis.
Namun, Jakon Sumardjo mengingatkan bahwa meski drama yang ditulis pada 1919 absen dari segi kedalaman, Allah jang Palsoe tetap patut diapresiasi sebab telah menyumbang rintisan awal bagi perkembangan drama di Indonesia. Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa drama itu ditulis dengan dramaturgi yang benar dan berhasil sebagai sebuah karya sastra.
Jauh sebelum Jakob Sumardjo mengkritisi Allah jang Palsoe dan khayalak pegiat teater kiwari mengikuti dan mementaskan karya-karya Kwee Tek Hoay, pengarang tersebut dalam pengantar buku dramanya telah mengakui kekurangan itu. Ia tahu bahwa karya ini adalah sebuah percobaan pertama dalam rangka mendobrak kemandekan yang menggelisahkannya.
“Bahwa isi dan aturannya ini buku ada jauh daripada boleh dibilang rapi, itulah tentu sekali, karena saya memang belum biasa mengarang lelakon komedi, sedang ini ada percobaan yang pertama kali,” tulisnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan