tirto.id - Selembar foto hitam putih agak buram memperlihatkan jeratan masa lalu: iring-iringan pengantar jenazah di ruas Jalan Raya Pos, Bandung, mengantarkan Tan Joen Liong, Kapitan terakhir Bandung ke tempat peristirahatannya yang pamungkas di Pemakaman Cikadut.
Peristiwa itu bertitimangsa pada Jumat, 7 September 1917. Dua pekan sebelumnya, koran De Preanger Bode seperti dikutip Ali Rauf Baswedan dalam Merajut Relasi Bisnis: Surat-surat Tan Joen Liong Kapiten Tionghoa Bandung (2017) melaporkan kepergian Tan Joen Liong.
“Kemarin sore (23 Agustus 1917), setelah mengalami sakit yang lama, Kapitan Titulair Tionghoa Bandung, Tan Joen Liong, meninggal dunia. Tidak hanya dalam dunia bisnis, sebagai pemilik pabrik tapioka dan penggilingan padi, Tan Joen Liong juga dikenal sebagai seorang tokoh yang familiar. Untuk tujuan amal, orang selalu bisa menemuinya, dia murah hati,” tulis surat kabar tersebut.
Gelar kapitan yang disandang oleh Tan Joen Liong bukan kepangkatan dalam militer, melainkan sebutan untuk pemimpin komunitas Tionghoa dalam sebuah wilayah. Di sejumlah kota seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, Manado, Tangerang, Medan, dan Surabaya, pola kepemimpinan komunitas ini hadir untuk menjembatani antara Belanda dengan etnis Tionghoa.
Di Jakarta, pengangkatan pemimpin komunitas Tionghoa telah berjalan sejak zaman VOC. Justian Suhandinata dalam WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi & Politik Indonesia (2009) menyebutkan bahwa salah satu tugas pemimpin kelompok komunitas Tionghoa adalah mengumpulkan pajak dari warganya, dan secara umum bertanggung jawab atas perilaku kelompoknya.
“Biasanya kepala kelompok atau opsir ini disebut Kapitan (atau dalam bahasa Belanda Kapitein). Orang Tionghoa yang menduduki posisi ini adalah orang kaya dan berpengaruh dalam komunitasnya, tetapi mereka harus bisa sejalan dengan Belanda,” imbuhnya.
Keterangan serupa disampaikan juga oleh Hembing Wijayakusuma dalam Pembantaian Massal 1740, Tragedi Berdarah Angke (2005). Ia menyebutkan bahwa pemuka warga Tionghoa yang biasanya kaya raya dan terpandang dimanfaatkan oleh VOC sebagai penghubung dengan warga Tionghoa.
Para pemuka warga Tionghoa ini kemudian diberi gelar non-reguler berupa mayor, kapitan, atau letnan. Tugas mereka adalah menyelesaikan persoalan di lingkungan warga etnis Tionghoa, termasuk urusan penarikan pajak dan persoalan kependudukan seperti izin menetap dan menikah.
“[Bahkan] kapitan [Batavia] yang pertama, yakni Souw Beng Kong dimanfaatkan oleh Gubernur Jenderal J.P. Coen untuk membujuk warga etnis Tionghoa yang tinggal di Banten agar berpindah ke Batavia,” tulis Hembing.
Sementara Abdul Baqir Zein dalam Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia (2000) menerangkan bahwa diangkatnya pemimpin kelompok Tionghoa dengan gelar kapitan bermula dari mulai munculnya para pengusaha dan syahbandar Tionghoa yang menjalankan bisnis dalam sekala yang cukup besar.
Sebagai contoh disebutkan pada 1616 dan 1619, syahbandar Jepara yang menjalin komunikasi dengan kapal-kapal Belanda adalah seorang keturunan Tionghoa yang bernama Ince Muda. Orang ini mempunyai relasi yang luas yakni berhubungan dagang dengan Kerajaan Jambi, bersahabat baik dengan Bupati Jepara, serta berdagang dengan orang-orang Portugis di Malaya. Selain Ince Muda, ada juga seorang syahbandar pelabuhan Martapura pada 1692 yang ternyata juga keturunan Cina.
“Diusahakannya sistem kapitan Cina adalah dalam rangka mengawasi dan memajaki sesama pedagang Cina dan kulit putih beserta hak-hak istimewanya,” tulis Baqir Zein.
Namun kiranya paparan Suhandinata dan Hembing Wijayakusuma tentang kapitan Tionghoa lebih tepat, sebab kapitan berfungsi sebagai kontrol atau pengawasan VOC dan melanjutkan pemerintah kolonial terhadap komunitas Tionghoa secara keseluruhan yang berada dalam kekuasaannya. Jadi pembentukannya bukan sekadar didorong untuk memungut pajak dari para orang Tionghoa yang kaya raya.
Jejak Niaga Putra Tan Haij Long
Tan Joen Liong lahir di daerah Jiaoling, Provinsi Guangdong, Tiongkok, pada 3 November. Terdapat dua sumber yang menyebut tahun kelahirannya. Mula-mula ia diketahui lahir pada 1859 berdasarkan angka yang tertulis pada bongpai (nisan) makamnya. Namun angka ini kemudian diralat oleh sebagian pihak karena mengacu pada surat Tan Joen Liong kepada Nederlandsch Indische Crediet en Bank vereeniging di Batavia saat ia mengajukan polis asuransi.
“Keterangan tentang umur sudah saya sampaikan ke dokter Doijer. Saya lahir tahun Masehi 1858. Tanggal dan bulan tidak bisa saya sebut seperti tanggal dan bulan Masehi. Tetapi saya hitung, waktu saya lahir kira-kira 72 hari lagi orang Eropa masuk tahun baru 1859. Hanya saya ingat betul tanggal, bulan, dan tahun kelahiran saya mengikuti almanak Tionghoa, yaitu tahun Kibi, bulan Kauw Gowe, tanggal 28,” tulisnya.
Ali Rauf Baswedan menulis jika penanggalan almanak Tionghoa itu disesuaikan dengan kalender Masehi 1858, maka kelahirannya jatuh pada tanggal 3 November.
Pada 6 Agustus 1884 saat usianya belum genap 26 tahun, Tan Joen Liong berhasil memenangkan tender Pemerintah Hindia Belanda dengan besar proyek sebesar f 4500/tahun. Surat kabar Bataviaasch Handelsblad sebagaimana dikutip Ali Rauf Baswedan melaporkan proyek yang digarap oleh Tan Joen Liong adalah penyiraman jalan dan pengelolaan sampah di daerah Meester Cornelis, Batavia.
Selain proyek tersebut, ia juga memenangkan tender untuk sejumlah proyek di wilayah Batavia lainnya, yaitu: perbaikan Jembatan Ancol, reparasi jembatan di atas kanal Krukut sepanjang jalan dari Batavia ke Tangerang, perbaikan jembatan di atas Sungai Krukut, dan jembatan No. 35 di atas Kanal Gunung Sahari.
Saat ayahnya yang bernama Tan Haij Long mengundurkan diri sebagai Kapitan Tionghoa Bandung, maka ia dengan statusnya sebagai orang terpandang dan berhasil dalam bisnis, oleh pemerintah Hindia Belanda diangkat menggantikan sang ayah pada 18 Oktober 1888.
Jejak aktivitas niaga Tan Joen Liong lainnya dapat dilacak dari beberapa suratnya yang ia tulis kepada relasi bisnisnya setelah ia diangkat menjadi Kapitan Tionghoa Bandung. Surat-surat bisnis dalam rentang waktu 1900-1903 berhasil dihimpun oleh Ali Rauf Baswedan dan dibukukan dalam Merajut Relasi Bisnis (2017).
Surat pertamanya yang berhasil dilacak bertitimangsa pada 23 Desember 1900 yang ditujukan kepada L. Platon, seorang pengusaha yang memiliki firma ekspor dan impor di Hindia Belanda sejak 1843. Perusahaan tersebut biasa mengekspor tapioka, biji wijen, dan berbagai hasil bumi lainnya, serta sejumlah jenis minuman seperti champagne, wiski, dan wine.
Surat tersebut adalah balasannya terhadap permintaan L. Platon untuk mengirimkan contoh barang yang ia punya. Maka beserta suratnya Tan Joen Liong mengirimkan pula 3 contoh merek sagu yang ia miliki.
“Setiap karung terisi padat. Sudah biasa dikirim ke negara-negara Eropa, Singapura, Hongkong, dan Shanghai. Dan setiap gerbong kereta api menampung 80 karung atau 2000 kati. Jikalau Tuan mau membeli harap memberi kabar,” pungkasnya.
Selain dengan L. Platon, Tan Joen Liong juga berkirim surat kepada Silas Cohen & Co yang berjualan karung goni untuk pembungkus kopra, kopi, beras, sagu dan produk lainnya. Dalam perjalanan bisnisnya, ia juga berkirim surat kepada koleganya di New York dalam rangka ekspansi bisnis; mengajukan polis asuransi kepada Nederlandsch Indische Crediet en Bank vereeniging di Batavia; berselisih dengan Albert Willem Jacometti terkait utang-piutang, dan sebagainya.
Setelah belasan tahun berbisnis dan menjadi Kapitan Tionghoa Bandung, Tan Joen Liong terserang penyakit yang membuat ia mengundurkan diri dari jabatannya. Dan akhirnya pada 23 Agustus 1917, ia menghembuskan napas terakhir dan prosesi pengantaran jenazah serta permakamannya diiringi oleh ribuan orang.
Kepergian Tan Joen Liong merupakan episode akhir dari riwayat Leuitenant Der Chineezen di Bandung yang sudah ada sejak 1881.
“Tan Joen Liong menutup ‘sekrup kolonialisme’ itu pada 23 Agustus 1917. Seabad yang lalu!” tulis Ali Rauf Baswedan.
Editor: Suhendra