tirto.id - Usianya sudah 78 tahun, tapi dia tampak sehat dan gesit bekerja. Mana kala pukul 20.00, toko sudah tutup, dia menghitung pemasukan dan pengeluaran hari itu. Tak lupa, surat-surat dari kolega bisnis dibalasnya pula. Dia adalah Ho Tjong An, pemilik Toko Besi Tjhiang yang bertitik di dekat Pasar Pon, Temanggung.
Begitulah Liok An Tjoe menggambarkan kesan pertamanya bertemu Ho Tjong An pada 1919 dalam sebuah artikel di majalah Sin Po edisi 21 Oktober 1939.
Dalam artikel enam halaman berjudul “Satoe Aannemer Kreta Api Tionghoa” itu, Liok An Tjoe menuliskan profil sosok multiusahawan yang juga perintis Pabrik Cerutu Rizona yang masih berproduksi hingga kini.
Ho Tjong An mengawali usaha pabrik cerutunya pada 1908. Itu hanya berjarak setahun seusai tuntasnya pembangunan jalur kereta api Parakan-Secang. Ho Tjong An turut serta dalam proyek pembangunan itu sebagai pemborong.
Proyek rel kereta api itu dimulai pada 1899 dan dibangun berangkai dengan jalur Ambarawa-Secang dan Magelang-Secang. Agar lebih dekat dengan lokasi proyek, Ho Tjong An yang sebelumnya berumah di Semarang kemudian tinggal di kota kaki Gunung Sindoro dan Sumbing tersebut.
Namanya kemudian jadi cukup dikenal karena keterlibatannya itu. Terutama di kalangan komunitas pencinta sejarah perkerataapian.
Jatuh Bangun Pabrik Cerutu
Ho Tjong An lahir di Tungkwan, sebuah daerah dekat Kanton, Tiongkok, pada 1841. Di Jawa, dia dikenal sebagai kontraktor andal. Insting bisnis yang tajam lalu mengantarnya terlibat dalam beragam proyek pembangunan.
Di antaranya pembangunan lapangan Kolonial Tentoonstelling dan perumahan pegawai Nederlandsch Indische Spoorweg (NIS) di Semarang. Pembangunan jalur kereta api Teluk Betung-Garuntang di ujung timur Sumatra pun tak lepas dari tangan dinginnya.
Melihat peluang pada cerutu, dia pun berniat menggeluti usaha olahan tembakau itu. Tak tanggung-tanggung, Ho Tjong An sampai mendatangkan 40 orang perajin cerutu dari Filipina. Mereka menjadi pekerja sekaligus pelatih untuk pekerja lokal.
Namun, usaha pertama ini usaha tak berlangsung mulus. Para pekerja Filipina itu tak kerasan tinggal di kota berhawa sejuk berketinggian 568,28 meter di atas permukaan laut. Sebab lain adalah perbedaan budaya dengan pekerja lokal. Hanya dalam hitungan bulan, orang-orang dari Negeri Mutiara Orien itu dipulangkan.
Ho Tjong An tentu saja menanggung rugi besar. Bahan baku pabrik juga terpaksa dijual.
“Boeat mana toean Ho Tjong An menanggoeng keroegian lebih dari sepoeloeh riboe roepia, kerna peroesahaan itoe lantas dibrentiken, sementara semoea materiaal dijoeal dengen roegi..”, tulis Liok An Tjoe dalam artikelnya.
Kegagalan tak lantas membuat Ho Tjong An patah arang dan berhenti. Dia yakin produk rokok yang diisap kalangan priyayi dan orang-orang kaya itu akan mendatangkan laba.
Berbekal pelajaran berharga bersama orang Filipina, dia memulai usaha baru. Beda dari sebelumnya, ini kali Ho Tjong An memulai dari skala kecil atau rumahan. Berkat keuletannya, pabrik kecil itu pun perlahan berkembang hingga pegawainya mencapai 300 orang.
Pada 1916, Ho Tjong An bahkan sudah mampu membuka toko tembakaunya sendiri di Batavia.
Untuk membesarkan pabrik, dia membangun kerja sama dengan delapan orang kawannya. Kongsi bisnis ini kemudian digabung di bawah satu payung perusahaan yang dinamai Kong Sin Tjan. Namun, dalam perjalanannya perseroan itu retak hingga akhirnya bubar.
Mereka pecah kongsi pada 1923. Ho Tjong An pun berpisah jalan dan mengibarkan bendera usaha baru.
“Ho Tjong an memisahkan diri dan melanjutkan usaha sendiri. Langkah awal yang diambil Ho Tjong An adalah mengubah nama pabrik menjadi Tjong An Ho”, tulis Fauzan dalam penelitian berjudul Perkembangan Pabrik Cerutu Rizona Baru di Temanggung Tahun 1990-2009 (2019).
Setahun sebelum meninggal atau tepatnya pada 1934, Ho Tjong An menyerahkan tongkat estafet perusahaan cerutunya kepada sang anak, Ho Thiam Hok. Saat itu, Ho Thiam Hok baru saja menyelesaikan studinya di Universitas Lin Nang di Kanton dan Chi Nan Ta Hsioh di Shanghai, Tiongkok.
Menjadi Rizona
Di bawah komandan barunya, bisnis Tjong An Ho melaju kencang. Ho Thiam Hok (nantinya, dia mempunyai “nama nasional” Sunardi Hartono) merestrukturisasi perusahaan menjadi lebih efisien. Demi meningkatkan kualitas produk, dia mengimpor tembakau pelapis cerutunya dari Kuba dan Brasil. Anak ketiga Ho Tjong An ini juga mengubah nama perusahaan menjadi Rizona.
Pada masa ini, kinerja Rizona mencapai masa keemasannya. Jumlah karyawannya meningkat hingga dua kali lipat lebih banyak ketimbang saat perusahaan dipimpin ayahnya. Tak hanya itu, Rizona mempunyai instalasi listrik mandiri, bahkan sebelum jaringan listrik yang dibangun Algemene Nederlands Insdische Elektricitiets Maatscappij (ANIEM) masuk Temanggung.
Setiap hari, menurut catatan Fauzan, Rizona mampu memproduksi tak kurang dari 120 ribu hinga 150 ribu batang cerutu. Jangkauan pemasarannya pun meluas mencakup Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
“Pabrik Rizona itu memiliki 750 buruh yang dibayar secara layak. Banyak di antara buruh wanitanya mengenakan benggolan emas untuk aksesori di bajunya,” kenang Direktur Rizona Baru Mulyadi Hartono saat diwawancara untuk penulisan buku Geger Doorstood Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950 yang dieditori Putut Trihusodo dan terbit pada 2008.
Namun, laju usaha Rizona dan berbagai pencapaiannya terpaksa berhenti saat bala tentara Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Bahkan, ia jatuh hingga titik nadir. Tingkat produksi terus menurun, pasokan bahan baku terhenti, dan harga cukai juga melambung tinggi.
Perang dan revolusi benar-benar membuat bisnis Rizona babak belur. Banyak pula usaha sejenis yang gulung tikar dan tidak mampu bangkit lagi. Namun, Rizona tetap bertahan pada akhirnya.
Menyusuri Era Baru
Seusai masa krisis berlalu, perusahaan cerutu ini berupaya berdiri kembali dengan memanfaatkan jaringan bisnis yang sudah terbangun. Setelah melalui masa-masa sulit, geliat bisnis Rizona memang tak mampu lagi secermerlang di masa sebelum kemerdekaan.
Kini, kapasitas produksi Rizona hanya seperlima—sekira 30 ribu batang per hari—dibandingkan masa keemasannya di era 1930-an.
Pada 1990, kemudi Rizona beralih kepada Mulyadi Hartono, anak Ho Thiam Hok. Di masa itu, persaingan antarmerek dan antarjenis rokok terbilang amat ketat. Pabrik rokok dan cerutu juga mulai dihadapkan pada kampanye melawan tembakau.
Itu jelas merupakan beban yang tak ringan bagi Mulyadi dan bisnis Rizona. Di tengah situasi itu, Mulyadi berusaha mempertahankan eksistensi perusahaannya dengan label usaha Rizona Baru.
Temanggung memang sejak dulu dikenal sebagai penghasil tembakau nomor wahid. Namun, jenis tembakau yang bisa tumbuh di daerah ini tidak cocok untuk bahan cerutu. Tembakau Temanggung umumnya punya lembaran daun dan tulang daun yang lebih tebal sehingga kurang lentur dan sulit digulung.
Karenanya, Rizona Baru lantas mendatangkan bahan bakunya dari Jawa Timur.
Pabrik Rizona Baru menempati bangunan di pinggir jalan utama di pusat kota Temanggung. Tempatnya sejajar jalan di antara dua bekas rumah kapitan Cina yang bentuk bangunan tetap terjaga hingga kini. Di situlah, para karyawannya memproduksi cerutu dengan tiga merek andalan, yaitu Kenner King, Kenner Bollero, dan Havana.
Pabrik itu kini digerakkan tangan-tangan terampil para perempuan yang hampir semuanya tak lagi muda.
“Saat ini, karyawannya 34 orang,” kata Sulva, anggota staf pabrik yang terlihat paling belia, pada pertengahan Februari 2023.
Cerutu-cerutu yang dikemas dalam kotak kertas itu didistribusikan ke sejumlah kota besar di Indonesia. Sebagiannya juga diekspor ke Taiwan.
Aroma yang menguar dari cerutu bikinan Rizona Baru demikian khas. Cita rasa itu membuat cerutu Temanggungan ini dipakai pula untuk melengkapi keperluan sembayang warga Tionghoa. Berkatnya pula, bisnis Rizona Baru masih melaju di generasi ketiga ini, meski tak sebesar dulu.
Penulis: Ariyanto Mahardika
Editor: Nuran Wibisono