tirto.id - “Ke depan optimis selalu,” kata Mustaghfirin alias Boby. Sebelum masuk ruang persidangan, ia irit bicara dan sering menundukkan kepala.
Boby dan kedua rekannya, Bahrudin alias Edo dan Mastono alias Baok, dinyatakan terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman; mereka dijerat Pasal 368 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebabnya, Boby sebagai ketua pengelola Pantai Pasir Perawan, Kepulauan Seribu, meminta Edo dan Baok menarik biaya kepada setiap pengunjung kawasan Pantai Pasir Perawan senilai Rp5 ribu. Hingga Maret 2017, mereka bertiga ditangkap Tim Saber Pungli Polres Kepulauan Seribu.
Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (7/11), Ketua Majelis Hakim, Agusti, memiliki pemahaman yang sama dengan Tim Saber Pungli. Maka, tiga nelayan itu divonis kurungan penjara selama 6 bulan dan denda masing-masing Rp5 ribu. Agusti memberi jangka waktu tujuh hari agar para nelayan memutuskan: akan banding atau setuju.
“Saya keberatan, saksi pelapor sampai sekarang tidak pernah dihadirkan,” keluh Boby usai vonis.
Sejak berkas kasus dilimpahkan oleh Polres Kepulauan Seribu, Senin (15/5), Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menahan ketiganya di Rutan Cipinang, Jakarta Timur. Akan tetapi, karena vonis yang sedianya dilaksanakan pada Selasa (23/10) dimundurkan, ketiga nelayan itu menjadi tahanan rumah.
“(Ketiga nelayan) bebas, sih, tapi statusnya masih terpidana, bagaimana pemulihan nama baiknya?” kata pengacara mereka dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Matthew Michele Lenggu.
Majelis hakim menyatakan, yang berhak menentukan dan mengelola retribusi adalah Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah. Sedangkan tarif yang dipatok warga terhadap Pantai Pasir Perawan tidak masuk Perda terkait retribusi.
“Dengan adanya putusan ini, masyarakat sulit mengelola ekopariwisata yang berbasis kerakyatan,” ujar Matthew.
Baca juga:
- Kasus Pungli Tiga Nelayan Pulau Pari Dipaksakan
- Tiga Nelayan Pulau Pari Divonis 6 Bulan Penjara
- Sidang Putusan Nelayan Pulau Pari
Dikelola untuk Kebutuhan Bersama Berujung Privatisasi
Sulaiman, 35 tahun, Ketua RW 04 Pulau Pari, menjelaskan bahwa sejak 2011, warga Pulau Pari bersepakat mematok tarif bagi wisatawan. Saat itu banyak warga mengalami kesulitan ekonomi karena budidaya rumput laut gagal panen. Dana ini dibutuhkan bukan hanya untuk warga tapi juga perawatan lingkungan.
Sulaiman, yang membawahi sekitar 328 kepala keluarga atau sekitar 1.300 warga Pulau Pari, menganggap tiga nelayan yang divonis penjara 6 bulan tersebut sebagai "Pejuang Ekonomi."
“Sebelumnya warga urunan dan kerja bakti untuk perbaiki pulau,” ungkap Sulaiman.
Boby, Edo, dan Baok memang bekerja untuk mengelola Pantai Pasir Perawan sambil tetap menjadi nelayan tangkap. Dalam seminggu, mereka menangani 600 hingga 800 wisatawan.
Wisatawan yang datang melalui agen travel akan dikenakan biaya masuk Rp5 ribu, tapi agen travel mengambil Rp1.500 dari bea itu. Sedangkan wisatawan yang datang tanpa agen travel dikenakan bea tiket Rp3.500.
Dalam seminggu, dana yang dikumpulkan sekitar Rp2,5 juta. Untuk uang lelah, ketiganya mendapatkan masing-masing Rp300 ribu sampai Rp500 ribu. Sisanya untuk kegiatan sosial-ekonomi warga.
“Uang itu untuk sosial seperti pembangunan masjid, renovasi musala, sumbangan ke anak yatim dan panti jompo. Juga kegiatan sosial Agustusan, Isra Miraj, Maulid Nabi, atau menyumbang warga yang sakit dan masuk rumah sakit,” terang Sulaiman.
“Kita bisa minta tanpa proposal yang bikin repot,” imbuhnya.
Di sisi lain, dana yang dikelola itu juga dialokasikan untuk membayar pegawai kebersihan yang direkrut dari warga sendiri, mengingat tak ada petugas kebersihan dari pemerintah.
“Negara cuma hadir ketika ada pemilu. Terakhir alasan Anies [saat] dia terima berkas mau pelajari dulu,” lanjutnya.
“Sandiaga sebelum pelantikan ke Pulau Pari, dia ke Pantai Pasir Perawan, dia masukkan Instagramnya, dia bilang bagus pantainya.”
Usai ketiga nelayan ditangkap pihak kepolisian, kini wisatawan yang datang tak lagi dimintai uang tiket. Para pengunjung bisa secara sukarela menyumbang berapa pun.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Jay Akbar