tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materi batas umur prajurit TNI dengan menguji Pasal 53 UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI pada Kamis (7/9/2023). Dalam sidang perkara Nomor 97/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresna Bintoro dkk itu, para pemohon menyoalkan batas umur prajurit bintara dan tamtama TNI yang maksimal 53 tahun dan perwira maksimal 58 tahun.
Kuasa hukum Kresna dkk, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan, mereka menguji kembali masalah batas umur prajurit karena putusan MK sebelumnya belum dijalankan.
“MK dalam Putusan Nomor 62/PUU-XIX/2021 telah secara tegas memerintahkan kepada pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU 34/2004 dengan memprioritaskan pembahasannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, dengan alasan demi memberikan kepastian hukum (vide Pertimbangan Hukum 3.13.2 alinea 2). Kendati demikian, sampai dengan saat ini justru belum direalisasikan. Dibuktikan dengan belum diselesaikannya proses pembahasan dan persetujuan atas perubahan UU 34/2004,” terang Viktor.
Dalam permohonan tersebut, usia pensiun 58 tahun faktanya masih dalam usia produktif. Ia mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa usia produktif 15-64 tahun. Dalam data tersebut, indeks pembangunan manusia Indonesia naik dari 70,29 pada 2021 menjadi 72,91 di 2022.
Dalam permohonan, Viktor menekankan perlu kesetaraan profesi abdi negara. Kuasa hukum lantas mengutip batas umur profesi abdi negara lain yang mengatur batas usia pensiun 60 tahun hingga 70 tahun. Pengaturan batas usia yang berbeda sesama abdi negara ia menilai menciderai rasa keadilan. Hal itu, kata Viktor, bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
“Guna menegakkan hukum dan keadilan, dan menurut penalaran yang wajar, maka perlu adanya keseragaman terhadap batas usia pensiun para abdi negara dengan menetapkan usia 60 tahun sebagai batas usia yang relevan, moderat dan konstitusional bagi para abdi negara untuk dapat diberhentikan dengan hormat (pensiun) dan diberikan penghargaan atas pengabdiannya kepada negara. Sekalipun, batas usia pensiun sampai dengan 60 tahun ini bisa dilakukan dengan syarat atau tanpa syarat tertentu sebagaimana yang diberlakukan pada institusi Polri dan ASN,” papar Viktor.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo lebih menyoroti legal standing para purnawirawan, terutama kerugian konstitusional pemohon yang sudah purnawirawan. “Relevansinya di mana untuk bapak-bapak yang sudah purnawirawan,” kata Suhartoyo.
Sementara Ketua MK, Anwar Usman menyebut, kuasa hukum pemohon sudah berpengalaman sehingga tidak banyak terkait formalitas teknis pembuatan permohonan. Kendati demikian, Anwar menyarankan para pemohon memaparkan perbandingan usia pensiun di beberapa negara dengan daftar nomor urut.
“Untuk Denmark misalnya 67 tahun, Yunani 67 tahun. Dan kebanyakan rata-rata 65 tahun,” kata Anwar.
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai, permohonan uji materi tersebut bukan kali pertama dilakukan oleh TNI. Pada uji materi sebelumnya, MK sudah memutuskan menolak seluruh permohonan. Kala itu, Mahkamah menilai penentuan batas usia pensiun adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang merupakan keputusan pembentuk undang-undang sesuai kebutuhan, perkembangan zaman hingga jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut.
Berdasarkan putusan majelis hakim MK itu pula, kata dia, ketentuan mengenai batas usia pensiun prajurit TNI bukanlah hal yang memang diatur secara detail oleh konstitusi. Dengan kata lain, review terhadap petitum yang diajukan pemohon akan lebih tepat bila disampaikan kepada pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah, ketimbang ditentukan atau diputuskan oleh MK.
“Mengacu pada putusan MK sebelumnya, saya kira uji materi yang dimohonkan oleh Laksda Kresno Buntoro dkk akan bernasib kurang lebih serupa, ditolak oleh MK. Apalagi dalam persidangan saat itu, baik presiden, DPR maupun Panglima TNI sebagai pihak terkait sama-sama menerangkan bahwa perubahan UU TNI termasuk mengenai batas usia pensiun prajurit, telah tercantum dalam Daftar Prolegnas 2020-2024,” kata Fahmi, Kamis (14/9/2023).
Akan tetapi, Fahmi mengingatkan, MK memerintahkan pembuat undang-undang untuk memproses revisi UU TNI meski gugatan ditolak sebelumnya. Oleh karena itu, perintah MK menjadi poin urgensi revisi UU TNI.
Jika menilik petitum dalam permohanan Kababinkum TNI juga perlu kajian akademis dan komprehensif. Hal itu tidak lepas identifikasi kebutuhan, dinamika dan menyerap akomodasi pendapat. Fahmi menilai, lebih tepat bila batas usia pensiun itu dibahas dalam kerangka proses perubahan UU TNI di DPR, bukan di MK, apalagi lingkungan TNI sendiri masih ada juga perbedaan pandangan mengenai batas usia pensiun, terutama terkait tamtama dan bintara.
“Nah, bagaimana jika ternyata permohonan itu dikabulkan oleh MK? Menurut saya probabilitasnya sangat rendah. Apalagi ada banyak implikasi dan dampak jika permohonan itu dikabulkan. Saya rasa MK akan dengan bijaksana mengarahkannya pada proses legislasi oleh DPR dan pemerintah," kata Fahmi.
Namun jika terjadi sekalipun, kata Fahmi, maka tinggal dilaksanakan. “Bahwa pengabulan permohonan itu kemudian dapat berkonsekuensi pada mundurnya batas usia pensiun Laksamana Yudo Margono dan Jenderal Dudung, ya tinggal dilakukan penyesuaian saja sesuai kebutuhan presiden,” kata Fahmi.
Fahmi menekankan, penghentian masa jabatan panglima maupun kepala staf bisa dilakukan kapan saja sesuai keinginan presiden. Ia mengingatkan, tidak ada ketentuan yang membatasi atau mengharuskan pergantian dilakukan ketika pejabat lama memasuki batas usia pensiun.
“Itu hak prerogatif presiden, kita tidak perlu terlalu jauh berspekulasi. Baik MK maupun presiden, saya kira tidak akan gegabah, apalagi jika itu akan memengaruhi perputaran roda organisasi," kata Fahmi.
Fahmi juga menekankan bahwa urgensi perubahan TNI tidak dibutuhkan, apalagi UU TNI tidak membuka ruang perpanjangan. Dengan kata lain, kata dia, pergantian KSAD dan Panglima TNI jelang pemilu akan memengarui stabilitas politik dan keamanan sehingga tidak perlu difabrikasi dengan motif tertentu.
“Pensiun dan suksesi kepemimpinan adalah sesuatu yang alamiah dan dapat dipersiapkan, sedangkan TNI adalah organisasi yang sangat matang, kaya pengalaman dan memiliki banyak kader kepemimpinan. Justru yang ideal adalah proses pergantian pucuk pimpinan TNI, termasuk panglima dan kepala staf angkatan tidak dipolitisasi berlebihan dan bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan," kata Fahmi.
Sementara itu, anggota dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Julius Ibrani menilai, permohonan yang diajukan TNI kembali tidak punya legal standing dan pokok permohonan tidak beralasan. Ia menilai, dasar permohonan yang menggunakan perumpamaan persamaan dengan Polri tidak beralasan.
Jika dipersamakan, kata dia, maka pemohon harus berbasis tugas dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara untuk operasi militer perang dan selain perang yang butuh strategis psikis dan kekuatan organik lapangan.
“Jika mau dibandingkan dengan Polri, maka harus melihat pembedanya juga, Polri fungsinya keamanan dalam negeri, penegakan hukum, ketertiban umum, yang berfokus pada psikis/pemikiran dan pro justitia,” kata Julius, Kamis (14/9/2023).
Julius mengatakan, alasan yang tidak kuat dan tidak relevan dengan tugas TNI akan memicu pertanyaan dan tujuan kegiatan, apalagi permohonan diajukan jelang pentas politik. Ia khawatir ada kepentingan politik tertentu.
“Alasan-alasan yang tidak kuat dan tidak relevan dengan tugas dan fungsi TNI tentu membawa pertanyaan apa tujuannya? Apalagi jika melihat momentumnya menuju pentas politik. Artinya tentu akan berdampak pada demokrasi dan reformasi TNI yang harusnya berbasis profesionalitas dan transparansi tinggi. Kedua kata kunci ini yang tidak muncul. Sehingga gugatan tidak ditujukan untuk demokrasi dan supremasi sipil apalagi reformasi TNI," kata Julius.
Julius mengingatkan, TNI punya tugas dan fungsi organik di akar rumput. Perpanjangan masa jabatan akan berdampak penambahan jumlah anggota. Hal itu memicu pertanyaan apakah penambahan anggota TNI diperlukan sehingga butuh pendekatan sekuritisasi militer padahal tidak dibutuhkan.
Oleh karena itu, Julius menilai, tidak ada urgensi dan alasan relevan kebutuhan pertahanan negara atau kelembagaan negara. Ia justru mendorong usia pensiun diperpendek dengan pertimbangan tugas dan fungsi organik butuh kestabilan dan kekuatan fisik dan mental. Jika gugatan dikabulkan, maka bisa dikaitkan dengan pilpres.
“Kalau ini tentu dikaitkan dengan apakah ada calon-calon di 2024 yang punya relevansi dengan TNI? Jika ada, maka jelas ada kepentingan di situ, tidak bisa dipungkiri lagi," kata Julius.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz