Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Menguak Modus Politik di Balik Gugatan UU Pemilu Berkali-kali

Uji materi UU Pemilu diajukan berkali-kali ke MK jelang Pilpres 2024. Yang terbaru menyebut soal pelanggaran HAM.

Menguak Modus Politik di Balik Gugatan UU Pemilu Berkali-kali
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi anggota Majelis Hakim MK memimpin sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (9/5/2023). ANTARA FOTO/Fauzan/foc.

tirto.id - Aturan batas usia bagi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang perdana pada Senin, 18 September 2023, MK menggelar sidang untuk dua perkara sekaligus.

Perkara tersebut, yakni Nomor 102/PUU-XXI/2023 diajukan oleh tiga pemohon bernama Rio Saputro, Wiwit Ariyanto, dan Rahayu Fatika Sari serta Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gulfino Guevarrato.

Dalam sidang tersebut, pemohon perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 169 huruf d dan huruf q, sementara pemohon perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf n dan huruf q.

Pasal 169 huruf d mengatur soal persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.

Pada Pasal 169 huruf n juga diatur persyaratan calon presiden dan wakil presiden belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Serta Pasal 169 huruf q mengatur berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.

Kuasa hukum Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023, Anang Suindro menyampaikan, negara harus dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dimaksud seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penculikan aktivis, menghilangkan nyawa secara paksa, dan tindakan-tindakan yang kontradiktif terhadap demokrasi dan/atau anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.

“Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum Pasal 169 telah mengatur persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden dengan menyebutkan tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya,” terangnya.

Anang menegaskan, dalam Pasal 169 huruf d UU Pemilu pada klausul 'tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya' menimbulkan kekaburan norma (voge norm) sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya asas kepastian hukum pada pasal tersebut.

Sebagai bentuk pencegahan dan antisipasi, maka Pasal 169 huruf d yang berbunyi “tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya” harus juga dimaknai sebagai “tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, penculikan aktivis, penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti-demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.”

Sementara kuasa hukum pemohon perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023, Donny Tri Istiqomah meminta, batas usia calon presiden dan calon wakil presiden merujuk kepada batas usia produktif, yaitu 21 sebagai usia terendah dan 65 sebagai usia tertinggi.

UU Pemilu saat ini memang menjadi UU yang paling banyak diuji di MK menjelang Pilpres 2024. Sepanjang 2022 saja, MK setidaknya mencatat telah melayani uji materiil UU Pemilu sebanyak 22 kali. Tak ayal, banyaknya gugatan ini pun dinilai sarat muatan politik daripada soal kepastian hukumnya.

Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani tak menampik, maraknya uji materiil di tahun politik ini tidak lepas dari motif dan kepentingan tertentu. Namun, dia meyakini MK mampu menjaga derajat dan kualitas demokrasi di Tanah Air.

“Yang terpenting dan mesti dipedomani bagi MK sebagai lembagai negara yang lahir dari rahim reformasi adalah menjaga derajat dan kualitas demokrasi," kata Kamhar kepada reporter Tirto, Rabu (20/9/2023).

Sidang putusan MK tentang Pemilu terbuka

Suasana sidang putusan permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (15/6/2023). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym.

Modus Politik di Balik Gugatan yang Masif

Pemerhati politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo melihat, gugatan atau uji materi pasal di UU Pemilu ini memang sifatnya problematis. Karena menurutnya ada modus politik yang sifatnya untuk kebaikan bersama dan sebaliknya.

“Ada modus politik king yang istilahnya mencari kesempatan untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri atau kelompoknya dan dengan mengabaikan norma dan etika,” kata Kunto. “Sehingga jangan sampai kita menyamaratakan semua uji materiil akhirnya ditunggangi oleh kepentingan politik ataupun punya modus politik.”

Di sisi lain, Kunto memahami banyaknya gugatan uji materiil UU Pemilu menjadi indikator bahwa permainan, kompetisi, dan intrik politik sudah mulai masuk ke ranah hukum.

“Dan saya melihat ini dominasi logika politik ke dalam logika wilayah-wilayah lain, seperti yang harusnya hukum ini steril dari politik kemudian sekarang sudah masuk," kata Kunto kepada Tirto, Rabu (20/9/2023).

Dalam konfigurasi politik saat ini, setidaknya ada tiga tokoh digadang-gadang akan maju sebagai bakal calon presiden. Poros PDIP mengusung eks Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang akan berusia 56 tahun pada Pilpres 2024.

Poros Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Nasdem, PKS, dan PKB mengusung eks Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang akan berusia 55 tahun pada tahun depan. Lalu, poros Partai Gerindra atau Koalisi Indonesia Maju mengusung Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang segera berusia 72 tahun.

Gugatan terhadap UU Pemilu ini juga dinilai Kunto, sebagai upaya menjegal pasangan calon di Pilpres 2024 mendatang. Apalagi isu yang dimainkan adalah soal pelanggaran HAM.

“Jadi kalau menjegal tentu saja ada. Apalagi isunya adalah pelanggaran HAM,” kata Kunto.

Jika menilik ke belakang, dari tiga bakal calon presiden saat ini, isu pelanggaran HAM kerap dialamatkan kepada Prabowo dan Ganjar.

Keterlibatan Prabowo dalam aksi penculikan aktivis yang dilakukan Tim Mawar saat itu kembali terangkat pada 2018 jelang Pilpres 2019. Arsip Keamanan Nasional (NSA) merilis 34 dokumen rahasia Amerika Serikat terkait situasi sekitar reformasi di Indonesia.

Salah satunya arsip tertanggal 7 Mei 1998 yang mengungkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang menghilang. “Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto,” demikian yang tertulis dalam dokumen itu.

Prabowo boleh jadi tidak terlibat langsung dalam garis komando Tim Mawar yang beranggotakan para anak buahnya yang personel Kopassus itu. Namun, bukan mustahil juga Prabowo yang memerintahkan penculikan tersebut atas titah mertuanya, sebagaimana diungkap dalam dokumen rahasia AS.

Isu HAM juga beberapa kali dialamatkan ke Ganjar. Mantan Gubernur Jawa Tengah itu dihadapkan pada masalah pembangunan tambang batu andesit di Desa Wadas, Purworejo. Masalah ini dilatarbelakangi oleh penolakan warga yang menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu andesit yang merupakan proyek pemerintah.

Konflik antara warga dan pemerintah dalam hal ini aparat keamanan menjadi titik perhatian dalam kasus ini.

“Tapi sampai sekarang, kan, belum ada pengadilan yang memutuskan bahwa salah satu paslon melanggar HAM kan," ujar Kunto.

Kalaupun ada, kata Kunto, itu hanya sekadar untuk propaganda pemilu saja. Sebab gugatan tersebut tidak bisa dijadikan alat atau instrumen yang kuat untuk menjegal salah satu calon.

Batasi Hak Seseorang

Analis politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago melihat ada upaya untuk membatasi hak seseorang dari banyaknya uji materiil UU Pemilu di MK. “Saya membacanya ada agenda mengarah ke sana,” kata Arifki kepada Tirto, Rabu (20/9/2023).

Meski begitu, kata dia, yang jelas semua gugatan itu sah-sah saja. Asalkan gugatan tersebut tidak merugikan pihak-pihak tertentu.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Habiburokhman menyatakan, permohonan uji materi tersebut sangat jelas ingin membatasi hak konstitusional seseorang.

“Itu yang saya bilang bisa jadi gugatan ini, gugatan pertama yang petitumnya secara prinsip ingin membatasi hak konstitusional,” kata Habiburrokhman di Komplek DPR/MPR RI pada Selasa (22/8/2023).

Meski menyebut membatasi hak orang, tapi Habiburrokhman tetap mempersilakan pemohon untuk menguji materi di MK. Ia beralasan, hal tersebut adalah hak konstitusional seseorang untuk menguji undang-undang.

“Saya ini praktisi [hukum] sebelum di DPR, saya di MK mungkin belasan tahun. Saya paham sekali di konstitusi, MK adalah tempat orang mencari keadilan konstitusi,” kata dia.

SIDANG UJI MATERI UU PEMILU DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) bersama Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri), Saldi Isra (kedua kiri), Arief Hidayat (kedua kanan), dan Wahiduddin Adams (kanan) berdiri usai memimpin Sidang Uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (29/3/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Politik
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz