Menuju konten utama

Jejak Kebijakan SYL di Kementan hingga Mundur karena Isu Korupsi

Syahrul Yasin Limpo menjadi menteri pertanian sejak 23 Oktober 2019 dan mundur pada 5 Oktober 2023. Bagaimana jejaknya selama menjadi mentan?

Jejak Kebijakan SYL di Kementan hingga Mundur karena Isu Korupsi
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan sambutan saat kegiatan Deklarasi Champion Cabai dan Bawang Merah Indonesia di kawasan Kuta, Badung, Bali, Jumat (28/7/2023). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/hp.

tirto.id - Syahrul Yasin Limpo (SYL) resmi pengunduran diri sebagai menteri pertanian di Kabinet Indonesia Maju. Surat pengunduran diri tersebut disampaikan langsung kepada Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno di Kompleks Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Kamis (5/10/2023).

SYL mundur dari kursi menteri pertanian untuk fokus menghadapi proses hukum terkait dugaan korupsi di lingkungan kementeriannya yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengunduran ini juga atas dorongan Ketua Umum DPP Partai NasDem, Surya Paloh.

Saat ini komisi antirasuah memang tengah mengusut tiga klaster dugaan korupsi di Kementan yang menjerat SYL. Ketiga klaster itu meliputi dugaan pemerasan dalam jabatan, penerimaan gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

KPK bahkan sudah menggeledah rumah pribadi SYL di Makassar, Sulawesi Selatan. Penggeledehan dilakukan, saat SYL sedang berada di Roma, Italia, untuk melaksanakan tugas kedinasan.

Penyidik KPK juga melakukan penggeledahan di wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan sehari sebelumnya pada Selasa, 3 Oktober 2023. Penggeledahan juga tidak luput dilakukan di Kantor Kementerian Pertanian. Tim penyidik menyasar ruang SYL, Sekjen Kementerian Pertanian, dan ruang Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Pertanian.

SYL berjanji bakal menghadapi proses hukum dan membuktikan dirinya tidak bersalah dalam perkara korupsi tersebut. “Saya orang Bugis, Makassar dan rasanya harga diri jauh lebih tinggi daripada pangkat atau jabatan,” kata SYL.

Rekam Jejak SYL di Politik hingga Pemerintahan

SYL bukan orang baru di dunia politik. Ia memulai karier di Partai Golkar, bahkan sempat menjadi Ketua DPD Partai Golkar Sulsel pada 2009-2018. Namun, SYL memutuskan pindah ke Partai Nasdem dan dipercaya menduduki posisi Ketua DPP periode 2018-2023.

Keluarga besar SYL juga disebut sebagai orang berpengaruh di Sulawesi Selatan. Ayahnya adalah bekas pejuang dan pernah di militer dengan pangkat kolonel serta pernah menjadi Bupati Gowa dan Maros. Ibunya juga pernah menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Di pemerintahan, SYL pernah menjajal beberapa jabatan. SYL tercatat sebagai pegawai negeri sipil sejak 1980. Kariernya terus moncer hingga akhirnya ia mencoba keberuntungan sebagai kepala daerah. Mulai dari Bupati Kabupaten Gowa (1994-2002); Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan (2003-2008); hingga Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan (2008-2016).

Sederet pengalaman sebagai kepala daerah itu membuat Presiden Jokowi memberikan amanah sebagai menteri pertanian periode 2019-2024 di Kabinet Indonesia Maju. Sejak ditunjuk sebagai mentan, setidaknya ada beberapa kebijakan yang lahir di tangan pria kelahiran 16 Maret 1955 itu.

Di sektor pertanian, SYL membuat kebijakan pemberdayaan petani. Salah satu strateginya adalah meliputi pendidikan dan pelatihan; penyuluhan dan pendampingan; pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian; konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian; penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan; kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan penguatan kelembagaan petani.

Beberapa kebijakan pengaturan pemberdayaan petani ini diatur melalui Permentan Nomor 49 Tahun 2019 tentang Komando Strategis Pembangunan Pertanian serta Kepmentan Nomor 484/2021 tentang Perubahan Atas Kepmentan Nomor 259/2020 tentang Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2020-2024.

Setidaknya ada beberapa tujuan indikator yang diatur dalam Kepementan Nomor 484/2021 tersebut. Pertama, SYL ingin meningkatkan pemantapan ketahanan pangan. Kedua, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian.

Lalu, ketiga meningkatkan pemanfaatan teknologi dan inovasi pertanian. Keempat, meningkatkan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia pertanian. Kelima, terwujudnya reformasi birokrasi Kementerian Pertanian.

Khusus di tahun ini, SYL memiliki empat program kerja untuk meningkatkan produktivitas pertanian serta transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Keempat program tersebut meliputi program ketersediaan, akses dan konsumsi pangan berkualitas, program nilai tambah dan daya saing industri, program pendidikan dan pelatihan vokasi, serta program dukungan manajemen.

Kinerja SYL juga berhasil membawa kementeriannya mendapatkan berbagai penghargaan dunia. Penghargaan pertama dari FAO diberikan kepada Indonesia atas kontribusi dan upaya dalam konservasi dan pengembangan Plasma Nutfah Sapi Bali selama 13 tahun terakhir (2010-2022).

Penghargaan kedua diberikan atas capaian kinerja dalam pengendalian Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) di Indonesia selama lebih dari satu dekade. Sementara penghargaan ketiga diberikan oleh WOAH karena Indonesia dinilai sukses dalam mengendalikan penularan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Kinerja Buruk di Sektor Pertanian

Terlepas dari capaian positif di atas, ada sejumlah hal yang menjadi catatan kinerja SYL selama menjadi mentan. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira memberikan catatan, beberapa di antaranya adalah sektor kelapa sawit dan beras.

Menurut Bhima, kegagalan dalam mengatur sistem perkebunan kelapa sawit menciptakan malapetaka krisis minyak goreng pada 2022. Sementara di sektor perberasan, tingkat produksi yang rendah, ketergantungan pada impor menyebabkan harga beras konsisten naik.

“Mentan juga tidak mampu meningkatkan negosiasi kenaikan anggaran subsidi pupuk yang membuat petani harus membayar biaya pupuk lebih mahal,” ujar Bhima kepada Tirto, Jumat (6/10/2023).

Bhima menyebut salah satu anggaran yang dipangkas habis-habisan adalah subsidi pupuk sejak SYL menjabat. Setidaknya terdapat lima poin permasalahan pokok dalam kebijakan program pupuk bersubsidi.

Pertama, yaitu mengenai tujuan kebijakan pupuk bersubsidi yang dinilai belum jelas dan tepat tujuan. Kedua, permasalahan kriteria petani penerima pupuk bersubsidi yang dinilai belum jelas dan tepat sasaran. Ketiga, pendataan yang tidak kunjung menghadirkan data yang akurat.

Keempat, permasalahan penyaluran yang kerap memunculkan isu tidak tepat sasaran, kurang dan langka. Kelima, permasalahan desain perencanaan anggaran yang tidak merata pada setiap dukungan program pupuk bersubsidi.

Di samping itu, persoalan beras yang bermasalah sampai hari ini sumbernya di hulu pertanian, bahkan tidak pernah tersentuh. Regenerasi petani juga macet, makin banyak usia produktif meninggalkan sektor pertanian.

“Seharusnya sudah lama ya SYL ini di-reshuffle karena kinerjanya buruk," ucap Bhima.

Di sisi lain, pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori ikut mengkritik alokasi anggaran ketahanan pangan di lingkungan Kementan. Karena anggaran yang dialokasikan pemerintah minim dalam program peningkatan kesejahteraan petani.

“Tidak ada prioritas langsung untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Orientasi atau tujuan meningkatkan kesejahteraan petani dari tahun ke tahun selalu tertinggal,” kata Khudori dalam keterangannya kepada Tirto.

Mengacu kepada Nota Keuangan RAPBN 2024 yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada Rabu (16/8/2023), anggaran ketahanan pangan dialokasikan sebesar Rp108,8 triliun atau naik dari 2023 sebesar Rp104,2 triliun.

Dana itu diprioritaskan untuk peningkatan ketersediaan akses dan stabilisasi harga pangan, peningkatan produksi pangan domestik, penguatan kelembagaan petani, dan dukungan pembiayaan serta perlindungan usaha tani.

Selain itu juga digunakan untuk percepatan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pangan, pengembangan kawasan food estate, serta penguatan cadangan pangan nasional.

Khudori menegaskan, orientasi dan prioritas anggaran pemerintah masih pada sebatas produksi, ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga. “Semua ini orientasi utamanya adalah untuk konsumen. Perlu keberanian untuk menggeser prioritas ketahanan pangan itu ke tujuan mensejahterakan petani,” tegasnya.

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah mengamini, sektor pertanian selama dipegang SYL melempem. Nilai tukar petani (NTP) sebagai representasi tingkat kesejahteraan, terutama petani pangan dari perbandingan pendapatan dan konsumsi relatif stagnan.

Pada Januari 2019, nilai tukar petani tanaman pangan sebesar 103.30, sementara pada Januari 2023 menjadi 103,82. Bahkan pada 2021 NTP tanaman pangan berada pada angka 100,06.

“Dengan demikian kita bisa katakan bahwa tingkat kesejahteraan petani tanaman pangan (padi) tidak berubah. Tidak mengherankan jika kemudian angka petani muda di sektor tanaman pangan padi sangat kecil," kata Said kepada Tirto, Jumat (6/10/2023).

Di sisi lain, produksi beras nasional stagnan dalam tiga tahun terakhir. Hal ini disebabkan banyak hal, mulia dari perubahan iklim, ketersediaan input pertanian (pupuk) yang sulit, penurunan area tanam karena konversi, serangan hama, rusaknya lahan pertanian dan lainnya.

“Dengan demikian tidak mengherankan jika dalam tiga tahun terkahir impor beras terus terjadi dan ada kecenderungan naik," ucapnya.

Secara umum importasi pangan juga terus tercatat naik. Tidak hanya beras, kedelai juga masih cukup tinggi. Pada tahun lalu saja, kedelai diimpor sebanyak 2,7 juta ton karena pertumbuhan produksi dalam negeri yang amat lambat. Kontribusi produksi dalam negeri hanya 10 persen pada kebutuhan. Belum lagi komoditi sayur dan buah.

“Kita masih defisit hingga 1,3 miliar dolar AS per tahunnya. Karena jumlah impor lebih banyak dari ekspor," ucapnya.

Komoditas lain juga demikian, rata-rata impor daging selama 11 tahun terakhir termasuk periode kedua pemerintahan Jokowi. Rincian rasio jumlah impor terhadap total nilai impor enam komoditas adalah daging (35 persen), gula (28 persen), garam (14 persen) dan susu (13 persen).

Baca juga artikel terkait SYAHRUL YASIN LIMPO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz