tirto.id - Wakil Ketua MPR RI, Fadel Muhammad mengusulkan kembali agar Direktorat Jenderal Pajak dipisahkan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dia menjelaskan wacana pemisahan sudah bergulir lama dan saat ini seharusnya menjadi momentum kembali setelah terungkapnya kasus sejumlah aparatur negara perpajakan yang menimbun kekayaan tidak wajar.
"Saya menilai, inilah saatnya kita kembali memikirkan untuk memisahkan DJP dari Kemenkeu," katanya Gedung Nusantara III MPR RI, Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Dia mengklaim sebelumnya sudah ada ada wacana agar DJP dipisahkan dari Kemenkeu dengan membentuk otoritas pengelola pajak independen yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Pada saat itu, Fadel mengakui yang termasuk ikut mendorong agar DJP dipisahkan dari Kemenkeu membentuk lembaga baru yang bernama Badan Keuangan Negara yang bertugas untuk menghimpun pajak sebagai pengganti atau perubahan nama dari DJP.
"Badan ini berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Selain itu badan ini juga sifatnya independen, tentu memiliki garis koordinasi dengan kementerian terkait seperti Kemenkeu. Dalam hal ini, bisa dikatakan Badan Keuangan Negara yang mengurus pajak itu sifatnya semi-otonom," katanya.
Tidak hanya itu, dia juga mengklaim pemerintah sudah berinisiatif membuat draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan (RUU KUP) pada tahun 2015. Dalam RUU tersebut, pada Pasal 95, disebutkan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disebutkan juga bahwa lembaga tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Tetapi sampai berakhirnya masa jabatan DPR RI periode 2014-2019, pembahasan tersebut tidak tuntas. Pada DPR RI periode berikutnya (2019-2024), pemerintah mengajukan RUU KUP dengan draf baru pada Mei 2021 namun tidak menyebutkan mengenai posisi DJP menjadi lembaga di bawah Presiden.
"Tidak tahu apa alasannya. Sampai akhirnya, melalui pembahasan yang relatif cepat, RUU KUP yang baru itu disahkan pada 29 Oktober 2021 menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pasca-penetapan UU itu, DJP tetap berada di bawah Kemenkeu," terang Fadel.
Walaupun dmikian, dia tidak menampik pemisahan DJP dari Kemenkeu membutuhkan kajian mendalam menyangkut berbagai hal. Apakah DJP yang terpisah dari Kemenkeu itu berupa Badan Keuangan Negara yang bersifat otonom atau semi-otonom.
Tetapi dia menjelaskan jika mengacu pada janji Joko Widodo sebelum menjadi Presiden, salah satunya adalah akan membuat DJP menjadi lembaga otonom lepas dari Kemenkeu dan langsung berada di bawah Presiden. Dia mengklaim saat itu, Jokowi menjanjikan lembaga pajak otonom itu bernama Badan Penerimaan Pajak.
"Tentu Jokowi paham betul bagaimana urgennya pemisahan itu sehingga sampai menjadi materi kampanye presidennya pada saat itu," katanya.
AS dan Singapura Lebih Dulu
Lebih lanjut, Fadel menyatakan pemisahan otoritas pajak dari Kemenkeu sudah banyak dilakukan. Amerika Serikat, misalnya, lembaga pajaknya yang bernama Internal Revenue Service (IRS) merupakan lembaga otonom yang terpisah dari Kemenkeu AS.
IRS sebenarnya tidak sepenuhnya otonom karena masih berkoordinasi dengan Kemenkeu AS. Akan tetapi dalam hal kewenangan untuk menentukan kebijakan, anggaran, dan sumber daya manusia (SDM), mereka otonom. Bisa dikatakan otoritas pajak di AS sifatnya semi-otonom.
Singapura juga memiliki otoritas pajak yang semi-otonom bernama Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS). IRAS tidak berada di bawah Kementerian Keuangan meskipun mendapat supervisi dari dewan pengawas yang diketuai oleh Menteri Keuangan Singapura.
"Kewenangan IRAS antara lain melakukan negosiasi perjanjian pajak dan membuat draf undang-undang perpajakan," katanya.
Selain kedua negara itu, beberapa negara berkembang telah melakukan transformasi otoritas perpajakan dari konsep tradisional di bawah kementerian keuangan menjadi lembaga semi-otonom (Semi-Autonomous Revenue Authority – SARA).
Dari penelitian Arthur Mann (2004), keputusan negara-negara itu memilih SARA memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan dari publik yang tercermin dalam rasio pajak yang lebih tinggi dan pertumbuhan pendapatan riil. Kemudian
Efisiensi yang lebih besar dalam pemanfaatan sumber daya publik melalui kemandirian/otonomi keuangan dan administrasi.
Selain itu dampak lainnya yakni bisa mempekerjakan staf yang kompeten, disiplin, dan lebih berkualitas, depolitisasi administrasi perpajakan, berkurangnya korupsi sehingga meningkatkan kredibilitas perpajakan khususnya dan pemerintah pada umumnya, hingga meningkatkan layanan wajib pajak dan mengurangi biaya kepatuhan wajib pajak.
Beberapa negara yang sudah beralih ke SARA, menurut Mann, antara lain Argentina mulai tahun 1988, Kolombia (1991), Malaysia (1995/1996), Meksiko (1995/1997), Peru (1988/1991), Singapura (1992), dan Afrika Selatan (1996/1997).
Indonesia menurut Fadel bisa saja membentuk otoritas perpajakan semi-otonomi seperti yang sempat diajukan pada RUU PUK 2015. Pertama, karena momentumnya saat ini tepat menyusul sorotan publik pada DJP dan Kemenkeu. Kedua, juga untuk memenuhi janji kampanye Jokowi yang kini Presiden RI ke-7 yang akan memisahkan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan.
"Nama otoritasnya bisa Badan Penerimaan Pajak atau Badan Keuangan Negara, atau nama lain yang sesuai," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin