Menuju konten utama

Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan Anak di Sekolah yang Berulang

Diyah khawatir kasus yang tidak terekspos lebih banyak. Ia melihat kasus kekerasan terhadap anak belakangan ini hanya sebagai fenomena gunung es.

Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan Anak di Sekolah yang Berulang
ilustrasi kekerasan pada anak.foto/shutterstock

tirto.id - Sebulan ke belakang, terjadi beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang membuat ramai jagat maya. Yang menjadi sorotan, kasus kekerasan ini tidak terjadi sekali, tapi berulang di tempat yang berbeda. Mirisnya, pelaku kekerasan juga merupakan teman sebaya dan sempat terjadi di lingkup satuan pendidikan.

Seperti kasus perundungan yang terjadi pada siswa SMP di Cilacap. Kasus ini hangat diperbincangkan sebab video yang mempertontonkan korban tengah disiksa beredar luas. Dalam video tampak seorang siswa dianiaya oleh siswa lain dengan cara dipukul dan ditendang. Adegan ini disaksikan beberapa siswa lain dan tidak ada yang melerai.

Kasus serupa juga terjadi di Balikpapan dengan korban siswa SMP. Kekerasan ini dilakukan teman sebaya dengan memukul dan menendang kepala korban. Baik pelaku dan korban disebut baru berusia 13 tahun. Kejadian ini dipicu akibat, korban yang mengirimkan pesan via Instagram ke pacar salah satu pelaku.

Dua contoh kasus kekerasan pada anak dan terjadi di lingkup pendidikan tersebut membuat hati teriris. Nyatanya, kasus perundungan bahkan hingga tindakan yang mengarah pada kekerasan fisik, masih sering terjadi pada anak di sekolah. Kekerasan pada anak yang terjadi di lingkup pendidikan atau ruang publik bisa disebut sebagai fenomena gunung es.

Mengungkap dan membenahi akar kekerasan yang terjadi pada anak, menjadi penting diupayakan oleh segala pihak. Pasalnya, kasus kekerasan pada anak di sekolah saat ini, masih terjadi di semua jenjang pendidikan.

Perlu menjadi sorotan bahwa beberapa kasus kekerasan pada anak di lingkup pendidikan tak lepas dari fenomena ‘geng’ di sekolah. Validasi diri yang salah dan tak terarah justru menjebak anak-anak di lingkup pendidikan tak segan-segan melakukan kekerasan.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini menyatakan, fenomena geng memang sulit dihindarkan di sekolah. Hal ini karena di sekolah, para siswa cenderung berkelompok yang terkadang menyalurkan hobi dan kesamaan.

“Hanya saja kalau sudah melampaui batas kemudian juga terpengaruh oleh faktor yang lain dan berdampak negatif, itu yang kemudian menjadi persoalan,” kata Diyah dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/10/2023).

Misalnya, kata Diyah, ada faktor senioritas dari kakak kelas yang mengajak adik kelasnya masuk ke sebuah geng atau bahkan menginisiasi kelompok baru. Perkumpulan dalam kelompok atau geng ini menjadi masalah ketika akhirnya, menjelma sarana kekerasan atau perilaku negatif lainnya.

Maraknya kasus perundungan dan kekerasan terhadap anak di lingkup pendidikan juga menjadi sorotan KPAI. Mereka menemukan kasus perundungan yang terjadi di sekolah dengan berbagai jenjang, seperti di Jakarta, Cilacap, Demak, Blora, Gresik, Lamongan, dan Balikpapan.

Data pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI hingga Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI.

Diyah merasa khawatir, kasus yang tidak terekspos atau tidak teradukan lebih banyak terjadi. Ia melihat kasus kekerasan terhadap anak belakangan ini hanya sebagai fenomena gunung es.

“Terlihatnya sedikit dan hanya ada di sekitar Pulau Jawa, tapi kalau kita melihat fenomena itu juga jauh banyak, mungkin juga terjadi di daerah-daerah luar pulau. Di daerah-daerah 3T bahkan, dan alat kontrol kita, alat pengawasan kita pun juga terbatas,” jelas Diyah.

Pentingnya Kesehatan Mental Anak

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan seorang anak melakukan kekerasan. Ketiganya adalah faktor internal, eksternal, dan situasional.

Faktor Internal berasal dari dalam diri anak itu sendiri dan lingkungan keluarga atau pengasuhan yang diterima anak dari lingkup terintim. Adapun faktor eksternal, berasal dari luar rumah, misalnya lingkungan sekolah, pergaulan, dan lingkungan masyarakat.

“Termasuk pengaruh dari dunia maya dari penggunaan gadget yang tanpa aturan atau edukasi dan tidak diawasi oleh orangtua atau keluarganya,” ujar Retno dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/10/2023).

Sementara itu, faktor situasional adalah sesuatu yang muncul tak terduga. Misalnya anak menjadi siswa junior dan dipaksa senior untuk ikut tawuran, dan karena takut menolak maka memilih terlibat.

Selain maraknya kasus perundungan, FSGI juga merasa miris dengan banyaknya insiden siswa jatuh atau melompat dari gedung sekolah. FSGI mencatat, sepanjang Januari hingga awal Oktober 2023, ada lima kasus murid sekolah jatuh atau lompat dari gedung sekolah.

Dari lima kasus tersebut, empat korban meninggal dunia. Dan ada dua korban jatuh yang selamat setelah mendapatkan perawatan medis. Selain masih lemahnya keamanan dan pengawasan di satuan pendidikan, Retno menegaskan pentingnya membangun sistem pencegahan masalah kesehatan mental siswa.

“Misalnya melalui kegiatan psikososial kepada para peserta didik, terutama di kelas IX yang memiliki cukup banyak tekanan agar Kesehatan mental anak-anak dapat dipantau,” jelas Retno.

Kesehatan mental, kata dia, sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Sayangnya, mayoritas orang tua di Indonesia kurang memiliki perhatian terhadap kesehatan mental anak. Padahal remaja usia 13-15 tahun cukup rentan mengalami masalah kesehatan mental.

“Dalam hal ini, Dinas Pendidikan dapat bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kolaborasi melalui program rutin merupakan cara memperkuat sistem pencegahan,” terang Retno.

Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini menambahkan, masalah kesehatan mental anak juga menjadi salah satu faktor pemicu perilaku kekerasan. Apa yang anak serap dari rumah atau lingkungan keluarga yang melanggengkan kekerasan, akan diimitasi dirinya kepada teman sebaya.

“Saya mengamini itu, karena memang baik anak pelaku, kekerasan bullying itu memang mendapatkan sesuatu dari rumah, membawa dari rumah, baik itu karakter atau kemudian pengasuhannya,” tutur Diyah.

Implementasi Peraturan Harus Tegas

Sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak di satuan pendidikan, pemerintah sebetulnya sudah mengeluarkan Permendikbud No 46 Tahun 2023 lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Kendati demikian, implementasi aturan ini dinilai baru diterapkan oleh sejumlah sekolah saja.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menyatakan, masih banyak sekolah yang tidak memahami, bahkan tidak mendapatkan informasi yang memadai mengenai aturan anyar tersebut.

“Kami di P2G memandang Permendikbud tentang pencegahan dan penanganan kekerasan itu justru sangat ideal gitu ya, bahkan galak ya, menjadi macan kertas gitu. Namun galak dalam konteks aturan tetapi lemah dalam implementasi,” ungkap Satriwan dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/10/2023).

Bukti lemahnya, kata Satriwan, dalam Permendikbud No. 46 disebutkan bahwa setiap sekolah wajib memiliki tim pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Tidak hanya itu, pemerintah daerah juga wajib membuat dan membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan. Namun keduanya belum terlaksana di banyak tempat.

“Boleh dibuktikan mana ada pemda, pemprov, pemkot, atau pemkab yang sudah membentuk satgas tersebut? Yang pendidikan padahal oleh peraturan menteri pendidikan, termasuk juga di level satuan Pendidikan,” terang Satriwan.

Satriwan juga menilai pola asuh orang tua dan masyarakat tidak boleh sembarang permisif sehingga sebuah kontrol sosial justru menjadi cair bagi anak-anak. Misalnya, tetap perlu anak diawasi dalam bermain media sosial dan akses konten di dunia maya.

Hal ini juga perlu disoroti oleh tenaga pendidik agar mengingatkan soal larangan penggunaan gawai saat jam belajar atau pengawasan penggunaanya di lingkup sekolah. Untuk mencegah kekerasan, sekolah juga diminta untuk memasang CCTV di sejumlah titik-titik rawan yang jarang terawasi oleh tenaga pendidik atau orang dewasa di satuan pendidikan.

“Supaya kita tidak seperti pemadam kebakaran, maka harus ada upaya sistemik. Upaya sistematik itu sudah diuraikan sebenarnya di dalam Permendikbud Nomor 46 tahun 2023 tadi. Bahwa sekolah harus memiliki fasilitas sarana-prasarana yang menunjang bagi terciptanya keamanan, ketertiban, termasuk kesehatan,” kata Satriwan.

Upaya Pemerintah Atasi Kasus Berulang

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar menyampaikan, saat ini pihaknya bersama Kemendikbud Ristek tengah bekerja sama dalam program Sekolah Ramah Anak (SRA) yang berjumlah 65.877 SRA yang tersebar di 344 kabupaten/kota dan 34 provinsi.

SRA merupakan satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal yang mampu memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak, termasuk mekanisme pengaduan untuk penanganan kasus kekerasan di satuan pendidikan.

Selain itu, dibentuk Program Pendekatan Disiplin Positif, yang merupakan sosialisasi pendekatan untuk mengubah pola pikir atau mindset guru dan orang tua yang meyakini bahwa penggunaan hukuman fisik sangat efektif dalam mengembangkan perilaku anak.

“Pendekatan ini menanamkan disiplin bagi anak dengan mengajarkan penyelesaian masalah tidak dengan kekerasan, terlebih lagi jika anak murid sudah memasuki usia remaja,” jelas Nahar dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/10/2023).

Kementerian PPA juga terus mengembangkan sistem pelaporan dan layanan pengaduan, melalui hotline SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) 129 yang terintegrasi di 34 Provinsi dan SIMFONI PPA (Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak).

Pada Kamis (12/10/2023), KemenPPA dan Kemendikbud Ristek serta sejumlah kementerian/lembaga terkait, melakukan kegiatan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama tentang Implementasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada Satuan Pendidikan. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka implementasi dan kolaborasi dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, berkebinekaan, dan aman bagi anak.

Dalam kegiatan tersebut, Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ristek, Suharti berharap, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan dapat menjadi rujukan sekaligus panduan bersama implementasi kebijakan.

“Kemendikbudristek sendiri pada 8 Agustus 2023 telah meluncurkan Merdeka Belajar Episode ke 25, yang secara khusus ditujukan untuk menjalin kolaborasi lebih lanjut para pemangku kepentingan dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan Pendidikan,” ujar Suharti.

Baca juga artikel terkait KASUS KEKERASAN ANAK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz