Menuju konten utama
KemenPPPA:

Cegah Kekerasan Anak, Tak Hanya Regulasi tapi Pola Asuh Sehat

Untuk mencegah kasus kekerasan di sekolah, KemenPPPA mengimbau regulasi tak cukup, tapi perlunya
pola pengasuhan yang sehat untuk anak-anak.

Cegah Kekerasan Anak, Tak Hanya Regulasi tapi Pola Asuh Sehat
Amurwani Dwi Lestari Ningsih. (Tirto.id/Avia).

tirto.id - Kasus kekerasan di sekolah masih kerap terjadi pada siswa. Berdasarkan data Simfoni KemenPPPA 2021, kekerasan seksual menjadi kekerasan terbanyak yang terjadi di satuan pendidikan. Kekerasan yang terjadi pada anak usia 13-17 tahun sebanyak 61,2 persen. Sementara kekerasan yang terjadi pada anak usia 6 hingga 12 tahun sebanyak 36,38 persen.

Pelaku kekerasan pada anak di satuan pendidikan paling banyak dilakukan oleh guru, yakni mencapai 34,74 persen. Sementara jumlah kekerasan yang dilakukan oleh teman atau pacar sebanyak 27,39 persen.

"Sebanyak 4 dari 10 anak perempuan usia 13 sampai 17 tahun pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah. Kalau terus-menerus terjadi pada anak-anak kita bagaimana kita bisa mewujudkan sumber daya unggul? Kalau pengalaman masa kecil yang mereka dapatkan saja tidak menyenangkan bagaimana mereka bisa tumbuh jadi manusia bijaksana?" ujar Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Amurwani Dwilestari Ningsih, Jumat (6/10/2023).

Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi dan intoleransi, pemerintah merancang sebuah regulasi yaitu Permendikbudristek 46/2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

"Permendikbudristek No. 46/2023 ini diharapkan mampu membantu satuan pendidikan menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi," tutur Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Praptono.

"Enam bentuk kekerasan yang didefinisikan secara terperinci dalam Permendikbudristek 46/2023 antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi serta kebijakan yang mengandung kekerasan," lanjutnya.

Lebih lanjut Praptono menguraikan, bentuk kekerasan yang didapat oleh siswa dapat dilakukan secara fisik, verbal, nonverbal hingga melalui media teknologi dan informasi.

Di sisi lain, Praptono mengatakan bahwa peraturan ini tidak hanya digunakan untuk melindungi siswa tetapi semua orang yang ada di lingkungan sekolah.

"Permendikbudristek 46/2023 ini melindungi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari kekerasan saat kegiatan pendidikan, baik di dalam maupun di luar satuan pendidikan," terangnya.

Meskipun sudah ada regulasi yang jelas terkait dengan tindak kekerasan pada siswa, Amurwani mengimbau orangtua dan guru secara aktif menerapkan pola pengasuhan yang sehat untuk anak-anak.

"Masalah di Cilacap atau di Petukangan, Jakarta Selatan seharusnya tidak terjadi kalau orangtua dan guru punya pola pengasuhan dan tahu perubahan perilaku dari setiap yang dilakukan anak-anak. Sudah seharusnya orangtua memahami secara kejiwaan apa yang sedang dialami anak. Guru atau Kepala Sekolah harus tahu apa yang terjadi pada anak didiknya," imbau Amurwani.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN DI SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Iftinavia Pradinantia

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Iftinavia Pradinantia
Penulis: Iftinavia Pradinantia
Editor: Maya Saputri