tirto.id - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menerbitkan payung hukum untuk satuan pendidikan agar kekerasan seksual, perundungan serta diskriminasi dan intoleransi dapat dicegah dan ditindak secara tegas.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Aturan tersebut merupakan bagian dari Merdeka Belajar Episode ke-25.
“Ini membantu satuan pendidikan menangani kasus kekerasan mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan berperspektif pada korban,” kata Nadiem dalam Peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-25 di Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Nadiem menjelaskan Permendikbudristek PPKSP akan melindungi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari kekerasan yang terjadi saat kegiatan pendidikan baik di dalam maupun di luar satuan pendidikan.
Dia menuturkan Permendikbudristek PPKSP menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Selain itu, Permendikbudristek PPKSP juga menghilangkan area abu-abu dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, serta diskriminasi dan intoleransi.
Tak hanya mengatur tindakan kekerasan, Permendikbudristek ini juga memastikan tidak adanya kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan.
“Peraturan yang baru ini tegas menyebutkan tidak boleh ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan baik dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain,” ujar Nadiem.
Permendikbudristek PPKSP turut mengatur mekanisme pencegahan oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek. Kemudian, tata cara penanganan kekerasan yang berpihak pada pemulihan korban.
Satuan pendidikan pun diamanatkan untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas).
Nadiem menegaskan TPPK dan satgas perlu dibentuk dalam waktu enam sampai 12 bulan setelah peraturan ini disahkan agar kekerasan di satuan pendidikan dapat segera tertangani.
Saat ada laporan kekerasan maka dua kelompok kerja tersebut harus melakukan penanganan kekerasan dan memastikan pemulihan bagi korban.
“Sedangkan sanksi administratif diberikan kepada pelaku peserta didik dengan mempertimbangkan sanksi yang edukatif dan tetap memperhatikan hak pendidikan peserta didik,” katanya.
Berdasarkan hasil survei Asesmen Nasional 2022, sebanyak 34,51 persen peserta didik atau satu dari tiga berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9 persen peserta didik atau satu dari empat berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen atau satu dari tiga berpotensi mengalami perundungan.
Temuan itu dikuatkan oleh hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2021.
Hasil survei tersebut menyebutkan 20 persen anak laki-laki dan 25,4 persen anak perempuan usia 13 sampai dengan 17 tahun mengaku pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih dalam 12 bulan terakhir.
Data aduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada perlindungan khusus anak tahun 2022 juga menyebutkan kategori tertinggi anak korban kejahatan seksual yakni anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis serta anak korban pornografi dan kejahatan siber sebanyak 2.133.
Editor: Gilang Ramadhan