Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Saat Jurnalis di Bawah Bayang-Bayang Kekerasan di Tahun Politik

Pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi, tapi jurnalisnya rentan menjadi korban kekerasan di tahun politik atau jelang pemilu.

Saat Jurnalis di Bawah Bayang-Bayang Kekerasan di Tahun Politik
Sejumlah wartawan mengumpulkan kartu Pers ketika berunjuk rasa sebagai aksi solidaritas atas tindak kekerasan terhadap jurnalis akibat pemberitaan, di Lhokseumawe, Aceh. Rabu (15/1/2020). ANTARA FOTO/Rahmad/hp.

tirto.id - Ancaman kekerasan terhadap jurnalis di tengah ingar bingar tahun politik sulit dihindari. Padahal pers merupakan pilar keempat dari demokrasi, tapi pekerjanya –orang-orang yang bekerja di media-- justru di bawah bayang-bayang kekerasan bahkan kriminalisasi.

Teranyar, jurnalis Kompas TV menjadi korban kekerasan orang tak dikenal saat meliput acara diskusi Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (26/7/2023).

Janivan, jurnalis yang menjadi korban kekerasan itu telah melayangkan laporan ke Polda Metro Jaya pada Rabu malam. Polda Metro Jaya pun tengah mendalami laporan tersebut. Selain itu, ponsel milik jurnalis CNN TV juga dirampas dan dilempar dalam peristiwa itu.

Tiga hari sebelumnya, sejumlah jurnalis yang meliput pemeriksaan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Kejaksaan Agung, juga mengalami ancaman penembakan yang diduga dilakukan oleh pengawal ketum Partai Golkar itu.

Dugaan ancaman yang dialami sejumlah jurnalis itu bermula ketika Airlangga menuju mobilnya seusai memberikan keterangan kepada awak media. Kala itu, Airlangga mendapat pengawalan ketat dari beberapa orang dengan perawakan berbadan tegap. Mereka ada yang mengenakan batik dan berkemeja putih. Ketika pintu mobil Airlangga terbuka, terdengar perintah untuk membuka jalan dan ancaman akan menembak para jurnalis dari mulut pengawal Airlangga.

“Buka jalan! Buka jalan! Gue tembak! Tembak lo," kata pengawal itu kepada para wartawan yang berkerumun mendekati Airlangga untuk berupaya melontarkan pertanyaan.

AJI Desak Polisi Usut Tuntas

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyebut, kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis saat meliput peristiwa kerusuhan bisa dikategorikan sebagai sensor terhadap produk jurnalistik. Perbuatan itu termasuk pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun dan denda maksimal Rp500 juta.

“Kami mendesak seluruh pihak untuk menghormati dan mendukung iklim kemerdekaan pers, tanpa ada intimidasi dan penghalangan kerja jurnalis di lapangan," kata Ketua AJI Jakarta, Afwan Purwanto dalam pernyataan resminya yang diterima Tirto, Kamis (27/7/2023).

AJI juga mengimbau kepada para pimpinan media massa untuk bertanggung jawab menjaga dan mengutamakan keselamatan jurnalisnya. Selain itu, AJI mendesak kepolisian untuk menindak pelaku kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis menggunakan delik pidana UU Pers Pasal 18 ayat (1).

Selain itu, AJI mengimbau kepada para pemimpin media untuk bertanggung jawab atas keselamatan jurnalis saat bertugas di lapangan. Memberikan pembekalan pengetahuan safety journalist dan penanganan trauma yang terjadi selama peliputan jelang tahun politik atau pelaksanaan Pemilu 2024.

Di sisi lain, ia meminta kepada seluruh pihak untuk menghormati kegiatan jurnalistik sebagai bagian dari upaya penegakan kebebasan pers di Indonesia, sehingga keberatan atas sebuah karya jurnalistik bisa dilakukan dengan mengirimkan hak jawab.

“Peraturan tentang hak jawab dimuat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dalam Pasal 1, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 15," tutur Afwan.

Sejatinya, ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga melalui doxing atau menyebarluaskan data pribadi seseorang di dunia maya. Misalnya, yang dialami jurnalis Detik.com pada 2020. Ia juga mengalami intimidasi berupa pengemudi ojek online yang membawa makanan kepadanya. Padahal, si wartawan itu tidak memesan makanan melalui aplikasi online. Selain itu, jurnalis tersebut diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal melalui pesan WhatsApp.

Catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers sepanjang 2019, terdapat 75 kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Berdasarkan data itu, kekerasan terhadap jurnalis lebih banyak terjadi di Jakarta. Tercatat ada 33 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Jakarta selama 2019. Angka itu paling besar di antara kota lainnya di Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, dan beberapa wilayah lainnya.

Mayoritas kasus kekerasan terjadi saat unjuk rasa. Khususnya, pada aksi penolakan hasil Pilpres 2019 serta penolakan pengesahan RKUHP yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Pejabat Publik Harus Aware terhadap Jurnalis

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin memprediksi, angka kekerasan terhadap jurnalis pada Pemilu 2024, masih akan sama dengan 2019. Karena itu, penting bagi para pemangku kebijakan atau para pemangku kepentingan termasuk partai politik atau pejabat publik harus aware/peduli terhadap hak-hak jurnalis.

"Jadi, partai politik harus sadar betul bahwa ada hak teman-teman jurnalis yang harusnya itu dihormati,” kata Ade saat dihubungi reporter Tirto.

Ia juga meminta para jurnalis harus mengetahui dan menyadari risiko, sehingga produk-produk jurnalistiknya benar-benar akurat, berimbang, independen.

"Sehingga asumsi-asumsi atau tuduhan-tuduhan media A mendukung salah satu calon itu kemudian terhindarkan hal tersebut," ucap Ade.

Menurut Ade, media asal jurnalis bekerja juga harus bisa menjaga independensi supaya kepercayaan publik, kepercayaan partai politik yang bersebrangan atau secara umum tidak kemudian antipati terhadap media.

Ia mengatakan jika mengacu pada kasus-kasus sebelumnya, tidak menahan diri atau melakukan kekerasan terhadap jurnalis karena si calon atau si aktor politik sendiri tidak bersikap tegas terhadap pengawalnya atau ke para pendukung.

“Dia harus menghormati wartawan atau bahkan mencontohkan," tutur Ade.

Ade juga meminta penegak hukum, yaitu polisi agar mengusut secara tuntas terhadap kasus-kasus kekerasan pelanggaran Undang-Undang Pers. "Itu harus diusut secara tuntas, sehingga tidak ada keberulangan," tutup Ade.

Pelatih Keamanan Digital dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Anton Muhajir mengatakan, agar ancaman dan kekerasan termasuk doxing terhadap jurnalis tidak terjadi, setidaknya ada dua langkah antisipasi. Pertama oleh pejabat publik dan oleh jurnalis itu sendiri.

Anton meminta pejabat publik, khususnya petinggi parpol atau calon anggota legislatif harus menyadari bahwa jurnalis itu bekerja untuk isu publik. Pejabat publik harus mendapatkan jaminan keamanan terhadap jurnalis, sehingga tidak menjadi korban doxing ataupun kekerasan fisik.

“Kenapa jurnalis menjadi penting, sekali lagi mereka bekerja untuk isu publik gitu. Dan karena itu mereka harus mendapatkan jaminan perlindungan keamanan digital tersebut," tegas Anton.

Anton mengatakan, partai politik ataupun pejabat publik harus menyepakati bersama bahwa aktivitas politik kemudian tidak mengganggu instrumen-instrumen kebebasan politik termasuk jurnalis dan media.

“Kedua, adalah antisipasi oleh jurnalis itu sendiri. Penting bagi jurnalis atau aktivis untuk mulai sadar soal keamanan digital, misalnya membekali diri bagaimana mitigasinya, praktiknya sehingga mereka tidak akan menjadi korban dari doxing terkait dengan situasi pemilu," pungkas Anton.

Sementara itu, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erick Tanjung mengatakan, kasus kekerasan di tahun politik harus belajar dari Pemilu 2019. Tren kekerasan terhadap jurnalis mulai naik sejak Pilkada DKI Jakarta 2017.

"Tak hanya kekerasan fisik, serangan digital terhadap jurnalis dan media seperti doxing, peretasan akun jurnalis dan serangan akun sosmed media juga marak," kata Erick saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (27/7/2023).

Menurut Erick, menjelang Pemilu 2024 ancaman dan serangan terhadap jurnalis dalam kerja-kerja jurnalistiknya maupun terkait karya jurnalistiknya, sudah mulai masif.

Berdasarkan data AJI Indonesia, dari Januari-Juli 2023, tercatat sudah ada 54 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka ini cukup signifikan bila dibandingkan pada periode yang sama di 2022, yaitu hanya 30 kasus.

“Nah dalam sebulan terakhir sudah mulai masif kekerasan terhadap jurnalis, seperti kasus jurnalis di Baubau, Sultra yang ditikam di depan rumahnya di hadapan istrinya, lalu menyusul kasus di Kejagung dan acara GMPG kemarin," ucap Erick.

Menurut Erick, untuk meminimalkan ancaman dan kekerasan, tentu jurnalis harus bekerja dengan taat kode etik jurnalistik dengan menjaga independensi. Tak kalah penting, mengimbau perusahaan media agar membekali jurnalisnya dengan pelatihan dalam peliputan yang dikira berisiko.

Tentu syarat penting dalam turun ke lapangan untuk peliputan si jurnalis harus menguasai isu, termasuk mengetahui tempat lokasi liputan dengan observasi terlebih dahulu. Kemudian, untuk liputan yang berpotensi berisiko perlu dibekali dengan perlengkapan keamanan.

“Seperti liputan demo yang berpotensi chaos," tegas Erick.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz