tirto.id - Kasus perpeloncoan yang didasari senioritas dan berujung pada penganiayaan –bahkan kekerasan hingga nyawa melayang– terus berulang di lingkup sekolah kedinasan.
Baru-baru ini seorang taruna tingkat satu di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) tewas karena dipukuli oleh seniornya. Korban yang bernama Putu Satria Ananta (19) tewas setelah menerima kekerasan di kamar mandi kampus, Jumat (3/5/2024) lalu.
Terduga pelaku yang sudah dicokok polisi, Tegar Rafi Sanjaya (21), melakukan kekerasan dipicu korban yang salah memakai seragam.
Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Pol. Gidion Arif Setyawan, menyampaikan pelaku melakukan aksi ini sebagai tradisi penindakan yang dilakukan taruna senior kepada taruna junior yang melakukan kesalahan.
Dia melanjutkan, penetapan Tegar sebagai tersangka dilakukan setelah polisi melakukan pemeriksaan 36 orang saksi.
Menurut Gidion, pelaku sempat memukul korban sebanyak lima kali dengan tangan mengepal ke arah ulu hati. Pukulan pelaku membuat korban langsung terkapar lemas.
Pengungkapan kasus ini dilakukan setelah aparat menerima laporan dari keluarga korban Ni Putu Wayan yang melapor ke Polres Metro Jakarta Utara.
Usai penganiayaan, korban sempat diperiksa di klinik kampus, kemudian dilarikan ke rumah sakit. Nahas, nyawa korban tak bisa diselamatkan ketika tiba di rumah sakit.
“Ada luka di daerah ulu hati yang menyebabkan pecahnya jaringan paru. Ada pendarahan, tapi juga ada luka lecet di bagian mulut,” kata Gidion di Jakarta, Sabtu (4/5/2024).
Sejumlah pemerhati pendidikan menyayangkan terjadinya kasus ini sebab kekerasan di lingkup sekolah kedinasan sudah berulang terjadi. Bahkan kekerasan berujung kematian sedikitnya sudah terjadi dua kali di STIP, sebelum kasus yang menimpa Putu Satria Ananta pekan lalu.
Kurang lebih kasus-kasus sebelumnya tidak jauh dari tradisi senioritas yang mengakar di sekolah kedinasan.
“Jadi polanya selalu berulang. Pola yang berulang itu saya maksudkan adalah ini dibentuk oleh tradisi kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada junior,” kata Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, kepada reporter Tirto, Senin (6/5/2024).
Pada 2014, Dimas Dikita Handoko (20), taruna tingkat II STIP, tewas setelah dianiaya seniornya di indekos yang terletak di Cilincing, Jakarta Utara. Dimas dianiaya seniornya di kamar mandi untuk “didisiplinkan”. Ia dinyatakan meninggal akibat pendarahan otak oleh benda tumpul. Polisi menciduk tujuh senior Dimas dalam kasus ini.
Kejadian serupa kembali terjadi pada 2017, kali ini menimpa taruna tingkat satu bernama Amirullah Adityas Putra (18). Dia dan lima orang rekannya dipanggil senior ke sebuah ruangan yang masih berada di kompleks STIP. Para senior yang menunggu mereka, memukuli 6 juniornya itu secara bergantian.
Nahas, Amirullah tumbang dan kehilangan nyawa akibat mengalami pendarahan di paru-paru, jantung, dan lambung.
Rakhmat menilai ada semacam pembiaran atau pewajaran yang dilakukan pihak kampus atas tradisi kekerasan ini. Dalih melakukan penggemblengan dan membentuk kedisiplinan kepada siswa menjadi pembenaran sesat terhadap kekerasan di sekolah kedinasan.
“Jadi sebenarnya itu sudah diketahui oleh kampus, oleh pimpinan kampus, dan ini kan sudah jadi rahasia umum sejak dulu. Setiap ada korban meninggal, pasti kampus ditanya dan diminta untuk menginvestigasi, untuk memberikan evaluasi, dan seterusnya,” ungkap Rakhmat.
Dia menambahkan, pola dan ritus kekerasan selalu berulang dan direproduksi permanen karena terlembagakan dengan dalih-dalih budaya atau tradisi kampus.
Rakhmat amat menyayangkan hal ini, sebab sekolah kedinasan seharusnya mampu mengajarkan siswa kemampuan-kemampuan di bidang ilmu tertentu untuk bekal mengarungi dunia profesional, bukan malah memproduksi tradisi kekerasan.
“Jadi kampus kedinasan itu tekanannya dua, dia pada kompetensi skill atau kemampuan vokasional, yang kedua adalah kemampuan akademik, itu ditekankannya di situ [seharusnya],” jelas Rakhmat.
Dia menilai kasus di STIP seharusnya menjadi kritik bagi sistem sekolah ikatan dinas di Indonesia.
Payung hukum sekolah kedinasan diatur melalui PP No 57 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian lain dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian. Artinya, tanggung jawab sekolah kedinasan ada di masing-masing lembaga/kementerian lain di luar Kemendikbudristek.
Rakhmat meminta Kemendikbudristek ikut berperan dalam pengungkapan kasus ini agar peristiwa kekerasan tidak berulang di sekolah kedinasan. Jika perlu, kata dia, Kemendikbudristek mengambil alih tanggung jawab pendidikan sekolah kedinasan bagi kementerian/lembaga yang gagal mengawasi pendidikan tinggi mereka dari praktik kekerasan.
“Harus diambil alih, tidak bisa dibiarkan ini. Karena akan berulang,” ucap Rakhmat.
Pembenahan Jangan Formalitas
Upaya pembenahan yang dilakukan kementerian/lembaga saat timbul kasus kekerasan dinilai masih sebatas formalitas. Buktinya, kasus-kasus kekerasan bahkan hingga yang membuat nyawa melayang terus terulang. Investigasi demi investigasi yang dilakukan pun masih tampak laiknya pemenuhan prosedural belaka.
Dalam kasus STIP, misalnya, pernyataan Ketua STIP. Ahmad Wahid, yang menyatakan tidak ada perpeloncoan di sana dan kasus yang terjadi adalah masalah personal amat disayangkan. Sekolah seharusnya tegas dan tidak tutup mata bahwa kekerasan yang mengakar menjadi tradisi di sekolah kedinasan perlu upaya serius untuk dibenahi.
Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, menilai pewarisan kekerasan di sekolah kedinasan harus diputus.
Bisa dibuat sebuah program dengan meniadakan kewenangan bagi senior untuk mendisiplinkan adik tingkat mereka. Kewenangan itu bisa diberikan kepada dosen/guru atau fasilitator profesional dan tidak memiliki konflik kepentingan pribadi kepada para siswa/mahasiswa.
“Kalaupun melibatkan senior harus dipilih yang tidak berpotensi melakukan kekerasan, juga harus didampingi dan dimonitoring selalu. Selain itu secara kultural perlu dijalankan program yang bisa membangun rasa kebersamaan dan kekeluargaan,” ujar Edi kepada reporter Tirto, Senin (6/5/2024).
Menurut Edi, interaksi antara kakak tingkat dan adik tingkat di lingkup pendidikan sebenarnya potensi positif. Yakni mendekatkan rasa emosional sehingga membangun ikatan kekeluargaan yang erat.
Namun, jika pendekatan yang digunakan semi-militer seperti yang terjadi di sekolah kedinasan, justru membuka ruang kekerasan bagi para junior.
“Pendisiplinannya cenderung ke arah fisik, maka potensial bullying dan kekerasan fisik dan psikis terjadi. Oleh karena itu, kalau bisa aktivitas yang melibatkan senior/kakak tingkat perlu dikelola dengan baik. Harus dibuat aturan yang jelas,” tutur Edi.
Untuk kasus kekerasan di sekolah kedinasan, kata dia, pihak lembaga/kementerian yang paling berwenang dan bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan pencegahan dan penanganan. Pimpinan lembaga harus paham bahwa hal ini penting dan perlu diatur lewat payung regulasi.
“Karena pencegahan kekerasan di dunia pendidikan adalah hal universal yang harus jadi perhatian bersama, bukan hanya yang di lingkungan Kemdikbudristek saja,” tegas Edi.
Selama ini ada kekosongan regulasi soal pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di lingkup sekolah kedinasan. Untuk satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek, sudah memiliki Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, berpendapat absennya regulasi seharusnya tidak menjadi pembenaran kultur kekerasan di lingkup sekolah kedinasan.
Ubaid menilai ada pembiaran dari pihak sekolah kedinasan atas masalah kekerasan yang terus berulang di tubuh mereka.
“Semua PT (Perguruan Tinggi) harusnya tunduk dengan UU PT dan Permendikbud. Jadi mestinya segala peraturan tentang pencegahan kekerasan sudah bisa diterapkan di PT manapun termasuk kedinasan,” ujar Ubaid kepada reporter Tirto, Senin.
Dia menilai, pendekatan kekerasan dalam pendisiplinan harus sudah dibuang dari sekolah kedinasan karena sudah tidak relevan dan kontraproduktif. Senioritas yang semena-mena dan penyalahgunaan kekuasaan harus diberantas dari lingkup pendidikan manapun.
“Ini seperti benalu yang merugikan lembaga pendidikan dan membunuh karakter mahasiswa. Apalagi ini adalah sekolah kedinasan yang setelah lulus, mereka adalah abdi negara, pelayan rakyat, bagaimana kalau mereka menggunakan pendekatan kekerasan juga,” seru Ubaid.
Respons Sekolah: Perbanyak CCTV
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP) Kementerian Perhubungan akan menambah Closed Circuit Television (CCTV) atau kamera pengawas di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Marunda, Jakarta Utara. Hal ini merespons kasus penganiayaan terhadap salah satu taruna di STIP hingga tewas.
Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati, mengatakan nantinya kamera pengawas itu akan dipasang di area yang berpotensi rawan kekerasan. BPSDMP Juga melakukan investigasi untuk mengusut kasus ini.
“Untuk menjamin tidak ada lagi potensi tindak kekerasan di kemudian hari, sekolah juga telah melakukan penambahan CCTV pada blankspot di tiap kampus,” kata Adita dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (6/5/2024).
Adita mengatakan pihaknya juga meniadakan kegiatan yang berpotensi menimbulkan kekerasan. Lalu, meningkatkan peran pengasuh Taruna, serta melibatkan secara aktif stakeholder yang berkaitan erat dengan proses pembentukan karakter, seperti ikatan alumni dan asosiasi profesi pelaut.
“Sanksi tegas juga akan diberlakukan, yakni dikeluarkan dengan tidak hormat dari pendidikan jika ditemukan Taruna yang melakukan tindakan kekerasan,” tutur Adita.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi