Menuju konten utama

Guru Harus Putus Kultur Kekerasan di Sekolah, Bukan Jadi Pelaku

Nisbi belum ada yang mengimplementasikan Permendikbud Nomor 46/2023 secara komprehensif dan punya keberlanjutan matang.

Guru Harus Putus Kultur Kekerasan di Sekolah, Bukan Jadi Pelaku
Siswa kelas XI MIPA mengikuti kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri 2 Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (26/7/2024). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/foc.

tirto.id - Sebagai guru, Iman Zanatul Haeri, sadar betul bahwa memutus lingkaran kekerasan di sekolah jadi salah satu tugas utamanya. Iman menyebut bahwa guru harus menjadi sentral moral dan etika bagi siswa. Maka saat muncul sejumlah kasus kekerasan yang diduga melibatkan guru di sekolah belakangan ini, Iman merasa miris.

Pada Kamis (26/9/2024), seorang siswa SMP Negeri 1 STM Hilir berinisial RSS dikabarkan wafat setelah menjalani hukuman dari guru agamanya sebab tidak hafal ayat di kitab suci. Karenanya, RSS dihukum seorang guru honorer di sekolah itu untuk melakukan squat jump sebanyak 100 kali.

Setelah dihukum, seperti diwartakan Antara, korban sempat dirawat di Rumah Sakit Sembiring, Kabupaten Deli Serdang. Namun, kondisinya terus menurun hinggakemudian meninggal.

Kejadian lainnya terjadi di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. KAF (13) tewas setelah mengalami pendarahan hebat akibat terkena lemparan kayu dari seorang ustadz di pesantren tersebut.

Kejadian itu diduga terjadi saat ustadz itu memarahi santri lain yang tidak segera bersiap mandi. Ustadz melempar balok kayu kepada santri yang tak bergegas mandi. Namun, nahas korban bertepatan melintas.

Seturut pemberitaan Antara, di balok kayu yang dilempar ustadz itu terdapat paku yang kemudian menancap di kepala korban. KAF tak sadarkan diri setelah paku yang menancap dicabut. Dia tewas setelah sempat dilarikan ke rumah sakit.

Iman yang juga Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai bahwa guru yang melakukan kekerasan terhadap murid perlu mendapat kecaman keras. Menurut Iman, salah satu faktor langgengnya kekerasan di sekolah adalah minimnya pengetahuan guru dan siswa soal bentuk-bentuk kekerasan.

Apalagi kekerasan yang paling mikro, kekerasan yang sifatnya halus, di mana itu belum dianggap kekerasan,” kata Iman saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (1/10/2024).

Permendikbud Nomor 46/2023

Iman mengakui bahwa ekosistem dan lingkungan sekolah saat ini belum mampu menjadi pelindung siswa dari kekerasan.

Menurutnya, Permendikbud Nomor 46/2023 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan memang sudah membawa angin segar. Namun, sekolah-sekolah kebanyakan menerapkan aturan ini secara parsial dan sekadar untuk menggugurkan kewajiban.

Nisbi belum ada yang mengimplementasikan Permendikbud Nomor 46/2023 secara komprehensif dan punya keberlanjutan matang.

Misalnya, Permendikbud Nomor 46/2023 mengamanatkan sekolah untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (Satgas PPKSP). Iman menilai, memang banyak sekolah sudah melaksanakan mandat tersebut. Kendati demikian, setelah tim terbentuk, kebanyakan sekolah tidak terlalu aktif menyosialisasikan dan menjalankan isi Permendikbud Nomor 46/2023.

Jadi, sekolah berlomba-lomba membuat tim, tapi untuk menggugurkan kewajiban saja,” kata Iman.

Padahal, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga pernah mengeluarkan Permendikbud Nomor 82/2015 untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Beleidini berisi pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Namun, aturan ini pun belum terlaksana maksimal sehingga kultur kekerasan di sekolah terus terjadi.

Iman memandang bahwa Permendikbud baru dan lama soal pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan belum maksimal implementasinya sebab tidak diawasi dan kurang mendapat perhatian. P2G, kata dia, memang mendapati banyak sekolah dan guru-guru sudah sadar akan kehadiran beleid ini, tapi mereka tidak diberikan waktu dan pelatihan untuk mempelajarinya.

Guru di sekolah pun, menurut Iman, terbebani waktu dan pikirannya karena kewajiban-kewajiban administratif dari pemerintah. Belum lagi, mereka harus menyiapkan materi untuk mengajar. Maka tak mengherankan bila guru-guru belum sepenuhnya memahami Permendikbud Nomor 46/2023.

Tidak bisa sekadar pelatihan online atau mengisi PMM [platform merdeka belajar]. Harus intensif ada human touch-nya. Kalau tidak begitu, kami pesimistis kekerasan di lingkungan sekolah akan turun,” tegas Iman.

Tirto sudah berupaya menghubungi Kepala Pusat Pendidikan Karakter Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami, dan Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek, Muhammad Hasbi, untuk memperoleh konfirmasi terkait kasus kekerasan yang terus-menerus terjadi di satuan pendidikan. Namun, permintaan wawancara yang dilayangkan tak mendapat respons.

Sementara itu, data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa kasus kekerasan di satuan pendidikan selama Januari-September 2024 sudah mencapai 36 kasus. Di periode yang sama, sudah ada 7 siswa yang tewas karena kekerasan di satuan pendidikan.

Kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kebijakan yang mengandung kekerasan. Tercatat pada September 2024, terjadi lonjakan 12 kasus kekerasan di satuan pendidikan, terdiri dari enam kasus kekerasan seksual, lima kasus kekerasan fisik, dan satu kasus kekerasan psikis.

FSGI mendorong Kemendikbudristek terus melakukan sosialisasi dan bimbingan teknik untuk memastikan Permendikbud Nomor 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) dapat diimplementasikan dengan tepat,” ujar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, lewat keterangan tertulis kepada reporter Tirto.

Data FSGI juga menunjukkan sebanyak 66,66 persen kasus kekerasan terjadi pada satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek, sementara 33,33 persen kasus terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. Pelaku kekerasan yang tercatat mencapai 48 orang dan korban mencapai 144 peserta didik.

Dari data pelaku kekerasan di satuan pendidikan, tertinggi dilakukan pelaku peserta didik teman sebaya (39 persen), guru (30,5 persen), kepala sekolah atau pimpinan ponpes (14 persen), kakak senior (8 persen), pembina pramuka (5,5 persen), dan pelatih ekskul (3 persen).

Retno juga mendorong Kementerian Agama RI menerapkan kebijakan yang sama dengan Kemendikbudristek dengan sosialisasi dan implementasi Bimtek PMA Nomor 73/2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Madrasah dan Pondok Pesantren.

Di sisi lain, FSGI mengapresiasi Direktorat SMP Kemendikbudristek yang tahun lalu sudah melakukan sosialisasi memberikan bimtek bagi tim PPK sekolah agar Permendikbudristek Nomor 46/2023 bisa dipahami dan diimplementasikan.

Retno tetap mendorong agar Tim PPK sekolah terus mempelajari Persekjen Kemendikbudristek Nomor 49/M/2023 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.

Mengingat banyak sekolah yang belum tahu juknis ini dan masih kebingungan dengan penanganan kekerasan di satuan pendidikan,” ucap Retno.

Urgensi Peran Satgas

Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, memandang bahwa kekerasan di sekolah yang dilakukan guru dan kepala sekolah menandakan kekeliruan pemahaman terhadap hakikat pendidikan.

Sekolah seharusnya menjadi tempat dan ruang aman bagi anak-anak untuk belajar, bukan justru jadi penjara yang penuh hukuman fisik jika anak gagal belajar dan gagal disiplin.

Katakanlah kalau pakai punishment, itu sifatnya yang edukatif. Bahkan untuk pelajaran olahraga, juga perlu melihat ketahanan fisik anak didik, tidak boleh sembarangan,” kata Edi kepada reporter Tirto, Selasa (1/10/2024).

Guru hendaknya memberikan perspektif humanis. Di sisi lain, penting juga agar memikirkan psikis-emosional guru. Sebab, bisa jadi guru frustasi dan memberikan hukuman fisik karena sudah terlampau lelah dengan beban kerja yang berlebih.

Edi menilai bahwa memang kesabaran guru sebagai manusia punya batas. Maka kasus kekerasan yang melibatkan guru juga perlu dilihat secara komprehensif akar penyebabnya.

Pendidikan calon guru, terutama kurikulum dan pembelajarannya, yang harus humanis. Lihat juga kondisi gurunya, terutama well being gurunya, juga lingkungan sekolah,” ucap Edi.

Menurut Edi, satgas yang diamanatkan Permendikbud Nomor 46/2023 memang perlu lebih kreatif dalam memberikan sosialisasi tentang bahaya kekerasan di sekolah. Ini tugas yang berat sebab faktor penyebab anak didik melakukan kekerasan cukup banyak.

Satgas, kata Edi, mesti memitigasi potensi kekerasan di sekolah dengan memberikan perhatian khusus ke anak didik yang potensial melakukan tindak kekerasan. Namun, hal itu tetap perlu dilakukan dengan cara-cara yang edukatif.

Problemnya adalah jika pelaku kekerasan sesama guru, maka ada konflik kepentingan di situ,” ungkap Edi.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN DI SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi