Menuju konten utama
Maskapai Penerbangan

Prospek Industri Penerbangan di Tengah Munculnya Maskapai Baru

Kehadiran maskapai baru di industri penerbangan saat ini dibutuhkan, terutama untuk menambah jumlah pesawat yang ada usai pandemi COVID-19.

Prospek Industri Penerbangan di Tengah Munculnya Maskapai Baru
Surya Airways. (Instagram/@bennyrustanto)

tirto.id - Industri penerbangan di Tanah Air terindikasi pulih setelah melewati tiga tahun pandemi COVID-19. Kondisi pemulihan ini ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah penumpang penerbangan udara baik domestik, maupun internasional.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penumpang angkutan udara domestik pada Agustus 2023 mencapai 5,2 juta orang. Jika diakumulasi sejak Januari-Agustus 2023, total penumpang mencapai sebanyak 41,6 juta orang. Posisi ini naik 22,46 persen dibanding kondisi pada periode yang sama tahun lalu yang berada di 33,9 juta orang.

Besarnya potensi dan peluang pasar domestik tersebut, ditangkap oleh Surya Airways. Sebagai pendatang baru yang muncul setelah pandemi COVID-19, maskapai milik pengusaha sekaligus mantan petinggi Citilink, Benny Rustanto siap meramaikan industri penerbangan Tanah Air.

Belum lama ini, Benny mengumumkan bila Surya Airways sudah mengantongi izin dan Sertifikat Standar Angkutan Udara Niaga Berjadwal (SS-AUNB) dari pemerintah. Izin usaha dan sertifikat tersebut resmi turun pada 9 Oktober 2023.

“Alhamdulillah, tinggal tunggu kami dan kedatangan penumpang Airlines-Surya Airways segera hadir untuk Anda,” tulis Benny Rustanto melalui Instagram @Bennyrustanto, Senin (16/10/2023).

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Kristi Endah Murni menyampaikan, maskapai Surya Airways dalam proses yang merujuk pada ketentuan pembentukan maskapai penerbangan baru. Proses pengajuan izin maskapai baru itu berjalan sesuai dengan ketetapan peraturan yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.

“Saat ini, maskapai tersebut sudah memiliki Sertifikat Standar Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal (SS-AUNB)," ujar Kristi dalam pernyataannya kepada Tirto, Jumat (20/10/2023).

Meski sudah memiliki SS-AUNB, tapi Surya Airways wajib memenuhi seluruh persyaratan serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebelum beroperasi. Di mana terdapat lima tahap prosedur penerbitan Sertifikat Operasi Angkutan Udara (AOC).

Pertama tahap pra-permohonan, kedua tahap permohonan resmi, ketiga evaluasi dokumen untuk pemenuhan regulasi, keempat inspeksi dan demonstrasi, dan kelima tahap sertifikasi

Kristi menjelaskan, pengurusan penerbitan AOC pun memiliki jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari minimum tergantung dari kesiapan applicant dalam memenuhi tahapan yang berlaku.

Setelah penerbitan AOC, calon maskapai baru diharuskan untuk mengajukan izin rute, serta Standar Operasional Prosedur pelayanan penumpang kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, sesuai ketentuan pada Permenhub Nomor PM 35 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.

Penerbangan perdana Super Air Jet di Ternate

Pesawat Super Air Jet disambut tradisi ' water salute' setibanya di Bandara Sultan Babullah, Ternate, Maluku Utara, Rabu (31/5/2023). ANTARA FOTO/Andri Saputra/rwa.

Ketentuan terkait dengan penyampaian SOP pelayanan kepada pengguna jasa juga harus sesuai ketentuan pada Permenhub Nomor PM 30 tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Minimal Penumpang Angkutan Udara.

“Setelah melalui prosedur panjang yang harus dilaksanakan, kami harapkan, nantinya maskapai baru Surya Airways dapat bersaing sehat dengan maskapai nasional lainnya sehingga industri penerbangan di Indonesia terus meningkat," ujar Kristi.

Rencananya, Surya Airways akan melayani sejumlah rute penerbangan domestik seperti Jakarta Halim-Yogyakarta, Gunung Sitoli-Medan, hingga Surabaya-NTT. Sedangkan rute internasionalnya adalah tujuan Medan-Penang (Malaysia).

Maskapai Surya Airways diperkirakan mulai beroperasi pada 2024 dan kemungkinan memakai pesawat ATR 72-600 atau Boeing 777-300ER.

Surya Airways memang menjadi satu dari dua maskapai lainnya yang juga merupakan pendatang baru pasca pandemi COVID-19. Dua maskapai sudah lebih dulu adalah Super Air Jet dan Pelita Air.

Super Air Jet, resmi diluncurkan pada Maret 2021. Maskapai ini memperoleh Sertifikat Operator Penerbangan dari Kementerian Perhubungan pada 30 Juni 2021 dan pada tahun yang sama meluncurkan 11 tujuan di Indonesia.

Sementara Pelita Air merupakan maskapai penerbangan yang beroperasi di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina. Pelita Air sendiri sebetulnya bukan maskapai baru di Indonesia. Dikutip dari situs resmi Pelita Air, maskapai ini sudah berdiri sejak 1963 dengan nama Pertamina Air Service.

Ia kemudian berganti nama menjadi Pelita Air pada 1970 menyusul didirikannya PT Pelita Air Service yang menjadi anak perusahaan Pertamina. Meskipun cukup sukses beroperasi selama beberapa dekade, Pelita Air harus menghentikan penerbangan regulernya pada 2005.

Namun pada 2022, Pelita Air kembali membuka penerbangan terjadwal. Pelita Air saat ini mulai melayani penerbangan rute domestik. Peristiwa dibukanya kembali rute penerbangan Pelita Air setelah sekian tahun sempat dikira untuk menjadi pengganti Garuda Indonesia.

PENERBANGAN PERDANA MASKAPAI PELITA AIR

Petugas memeriksa kesiapan pesawat Airbus A320-200 maskapai Pelita Air sebelum melakukan penerbangan perdana di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (28/4/2022). ANTARA FOTO/Fauzan/tom.

Pasar yang Besar & Ketatnya Persaingan

Pengamat penerbangan, Gatot Raharjo menilai, kehadiran maskapai baru di industri penerbangan saat ini memang dibutuhkan. Terutama untuk menambah jumlah pesawat yang ada di Tanah Air pasca pandemi COVID-19.

Berdasarkan laporan Kementerian Perhubungan pada 2021, jumlah pesawat yang terdaftar di Indonesia sebanyak 1.499 unit. Jumlah tersebut turun 4,03 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 1.562 unit.

Sementara, jumlah pesawat di Tanah Air yang beroperasi sebanyak 1.133 unit pada 2021. Angkanya juga turun 6,29 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 1.209 unit.

Penurunan jumlah pesawat yang terdaftar dan beroperasi disebabkan oleh pandemi COVID-19. Hal tersebut pun membuat banyak rute-rute penerbangan yang hilang.

Alhasil, maskapai menjadi lebih fokus terbang di rute-rute ramai, sehingga konektivitas ke banyak daerah terhambat. Padahal, pengguna pesawat terbang mulai meningkat imbas pelonggaran aturan perjalanan.

“Saat ini jumlah penumpang terus meningkat, hampir sama dengan sebelum pandemi, tapi jumlah pesawatnya berkurang karena berbagai hal misalnya sparepartnya tidak ada dan lainnya,” kata Gatot kepada Tirto, Jumat (20/10/2023).

Dari sisi pasar memang diakui masih cukup besar. Namun, dari segi persaingan masih cukup berat karena komposisi penguasa pasarnya kurang menguntungkan, terutama untuk maskapai baru.

Agar maskapai ini bisa terus berkembang, kata Gatot, seharusnya tahap awal ada bantuan kebijakan dari pemerintah. Selain itu, ada baiknya maskapai baru juga melakukan kerja sama dengan maskapai existing untuk membentuk pasar.

Bantuan kebijakan bisa diberikan oleh pemerintah misalnya untuk slot penerbangan. Dalam hal ini, pemerintah bisa memberi kebijakan slot yang bagus waktunya untuk sementara waktu, sebelum kemudian mengikuti aturan slot yang ada.

Jika maskapai pendatang baru mau menerbangi rute baru yang selama ini tidak ada penerbangan, maka kebijakan virgin route harus diberlakukan. Maskapai diberi keleluasaan terbang di rute tersebut dan tidak boleh ada pesaing sampai batas waktu tertentu.

Hal lainnya bisa dilakukan pemerintah adalah memberikan bantuan free landing fee, biaya-biaya bandara, biaya navigasi dan lainnya untuk waktu tertentu. Serta kemudahan impor spareparts.

“Dengan demikian, di tahap awal maskapai baru itu bisa berkembang. Baru kemudian selanjutnya ikut mekanisme persaingan pasar,” kata Gatot yang juga analis independen bisnis penerbangan nasional.

Bagaimana Prospek Penerbangan Saat Ini?

Jika merujuk data Kemenhub pada 2023, ‘recovery rate’ penumpang domestik (jumlah penumpang tahun ini relatif terhadap 2019 untuk periode yang sama) secara bulanan menunjukkan tren yang meningkat sejak awal tahun.

Pada Januari misalnya, sebesar 73,57 persen (4,9 juta), Februari 78,15 persen (4,4 juta), Maret 81,26 persen (4,9 juta), April 88,69 persen (5,02 juta), dan memuncak pada Mei sebesar 107,5 persen (5,7 juta), akan tetapi menurun kembali pada Juni, yakni sebesar 77,67 persen (5,46 juta).

Tingginya recovery rate pada Mei 2023 terjadi karena jumlah penumpang yang menurun pada Mei 2019 akibat tingginya harga tiket pesawat pada Mei 2019. Menurun dia, recovery rate pada Juni 2023 terhadap Juni 2019 adalah karena lonjakan jumlah penumpang pesawat domestik pada Juni 2019 pasca penurunan TBA (Tarif Batas Atas) Mei 2019.

Pasca pencabutan status pandemi pada Juni 2023, recovery rate tampak beranjak naik pada Juli, yakni sebesar 83,94 persen (5,96 juta). Namun demikian, harga tiket pesawat pada Juli 2019 relatif tinggi, sehingga dampak ‘kebebasan bermobilitas’ belum optimal.

“Tentu sangat diharapkan recovery rate penerbangan domestik akan meningkat lagi untuk bulan-bulan selanjutnya," ujar Kristi kepada Tirto.

Sementara itu, tren recovery rate untuk penumpang penerbangan internasional secara umum juga positif dengan jumlah di atas 1 juta orang penumpang per bulan, yakni Januari sebesar 70,10 persen (1,05 juta), Februari 78,57 persen (1,1 juta), Maret 77,42 persen (1,2 juta), April 73,83 persen (1,1 juta), dan memuncak pada Mei sebesar 90 persen (1,2 juta). Recovery rate relatif sama pada Juni, yakni sebesar 89,74 persen (1,4 juta), tapi sedikit menurun menjadi 82,5 persen pada Juli (1,32 juta).

Selama periode Januari -Juli 2023, dari 256 rute domestik terdapat 127 rute dengan recovery rate di bawah 80 persen terhadap 2019. Sementara untuk sektor penerbangan internasional, dari 112 rute internasional, terdapat 43 rute dengan recovery rate kurang dari 80 persen terhadap 2019.

“Dengan mencermati tren recovery rate hingga Juli 2023, tampak pemulihan penerbangan domestik sedikit lebih cepat, akan tetapi belum optimal, khususnya jika dibandingkan dengan situasi normal sebelum pandemi, yakni 2019," kata dia.

Menurut Kristi, pencabutan status pandemi yang berimplikasi pada normalisasi aturan perjalanan belum menunjukkan peningkatan signifikan terhadap demand perjalanan dengan pesawat terbang, akibat masih relatif tingginya harga tiket pesawat. Selain faktor harga tiket pesawat, terdapat pengaruh musiman, yakni low season dan peak season dalam perjalanan melalui jalur udara dan kunjungan wisata.

Kristi menuturkan, masih terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan belum optimalnya recovery rate, khususnya pada periode pasca pencabutan status pandemi Juni 2023. Pertama, dari sisi demand, tarif angkutan udara masih relatif tinggi akibat harga avtur, tingginya biaya leasing dan biaya operasional lainnya.

“Di sini diperlukan kebijakan menyeluruh terkait dengan harga bahan bakar avtur bagi penerbangan domestik, mengingat biaya bahan bakar merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya operasi pesawat udara," ujar dia.

Kedua, dari sisi supply, adanya keterbatasan armada pesawat yang dapat dioperasikan. Data Kementerian Perhubungan menunjukkan hingga 30 Agustus 2023, jumlah armada pesawat yang beroperasi untuk penumpang niaga berjadwal sebanyak 393 unit pesawat beroperasi dan 173 unit pesawat yang sedang dalam kondisi perawatan (maintenance).

Selain itu, masih ada kendala rantai pasok suku cadang pesawat. Pengiriman suku cadang pesawat untuk menunjang maintenance, repair and overhaul (MRO) belum normal, baik karena pemulihan pasca pandemi maupun dampak perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan terhadap ketersediaan suku cadang tersebut.

“Perawatan pesawat dan keselamatan penerbangan menjadi isu krusial akhir-akhir ini,” kata Kristi.

Kehadiran Maskapai Baru Dibutuhkan

Pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman melihat, kehadiran maskapai baru saat ini memang dibutuhkan. Mengingat kondisi pasar sekarang sudah pulih, tetapi armada aktif untuk maskapai mengoperasikan ATR dan Jet, masih disekitar 370-an pesawat. Posisi ini jauh dibanding armada pra-pandemi yang berjumlah 550-600 pesawat.

“Jadi tentu ada gap di demand dan ini mengakibatkan beberapa kekurangan kapasitas khususnya di bandara-bandara sekunder, karena armada ATR se-Asia Tenggara sedang kesusahan mencari pengganti mesin yang sudah due for replacement atau overhaul,” kata Gerry kepada Tirto, Jumat (20/10/2023).

Menurut Gerry, kehadiran Surya Airways memiliki kesempatan yang bagus jika strateginya tepat. Sebab, maskapai baru merupakan investasi baru ke industri airline dan ini bisa meningkatkan kapasitas.

Namun sebaliknya, jika strateginya tidak tepat dan perencanaan serta pengadaan sparepart-nya tidak diantisipasi dengan baik, maka posisinya akan sangat ringkih. Karena maskapai baru tidak akan memiliki reputasi yang kokoh sehingga jika terjadi flight/schedule disruption akibat kurangnya spare parts.

“Maka dampaknya kepada konsumen akan jauh lebih besar dibanding maskapai yang reputasinya sudah kokoh,” ujar Gerry.

Gerry menuturkan, faktor-faktor yang memberatkan maskapai sekarang selain spareparts juga masalah pengadaan pesawatnya. Karena demand di dunia tengah pulih mengakibatkan semua maskapai berebutan mencari pesawat untuk menambahkan armada mereka.

Kondisi ini membuat pemain baru, ekspansi armada yang dibutuhkan untuk menjalankan ekspansi rute sesuai business plan-nya lebih berat dibanding maskapai yang sudah established. Hal ini karena mereka sudah ada market and demand inertia yang belum dimiliki maskapai baru.

“Harga avtur juga memengaruhi, dan ini yang menjadi keluhan konsumen,” ujar dia.

Faktor non-airline yang juga harus dicermati adalah, meskipun demand berdasarkan faktor ekonomi makro Indonesia sangat bagus, faktor-faktor ekonomi mikro sedang cukup berat bagi konsumen secara individu. Dalam kondisi tersebut, meskipun keinginan untuk melakukan perjalanannya tinggi, namun propensity to travel para konsumen belum pulih dibanding pra-pandemi.

Baca juga artikel terkait MASKAPAI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz