Menuju konten utama

Seabad Silam, Kendaraan Listrik Pernah Kuasai Jalanan Eropa & AS

Pengembangan kendaraan listrik sebenarnya sudah dimulai pada abad ke-19. Menjadi kendaraan populer di Eropa dan Amerika pada awal abad ke-20.

Seabad Silam, Kendaraan Listrik Pernah Kuasai Jalanan Eropa & AS
Iring-iringan mobil listrik tiba di Nusa Dua, Badung, Bali, Senin (2/10/2023). Ratusan mobil listrik yang akan digunakan delegasi saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Archipelagic and Island States (AIS) Forum 2023 mulai tiba di Bali. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/tom.

tirto.id - Pada tanggal 20 Mei 1899, terjadi sebuah peristiwa sejarah nan menarik yang mungkin tak banyak orang tahu. Di wilayah Manhattan, New York, Amerika Serikat, seorang laki-laki bernama Jacob German ditilang karena mengebut. German yang kala itu berusia 26 tahun kedapatan melanggar batas kecepatan lalu lintas setelah melajukan mobilnya dengan kecepatan... 19,3 km/jam.

Anda mungkin bertanya-tanya, di mana sisi menariknya? Baiklah, mari saya perjelas.

Namun, sebelum itu, Anda mesti paham bahwa Manhattan saat itu adalah Manhattan yang sepenuhnya berbeda ketimbang sekarang. Laman Gizmodo menyebut bahwa dulu maupun sekarang, Manhattan memang sama-sama padat dan bising. Namun, penguasa jalanan di akhir abad ke-19 itu bukanlah mobil, melainkan kuda, kereta kuda, dan pejalan kaki.

Jadi, hal menarik pertama adalah bahwa New York Times mendaku German sebagai "orang pertama yang ditilang karena mengemudikan mobil terlalu cepat.” Fakta tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu mobil sudah cukup jamak ditemukan di jalanan kota di Amerika. Kuantitasnya mungkin tak signifikan untuk memenuhi jalanan, tapi agaknya cukup untuk membuat kepolisian berpikir bahwa ia berbahaya bagi kerumunan orang di jalan jika tak diatur.

Hal menarik selanjutnya adalah mobil yang dikendarai German. Itu bukanlah mobil biasa karena itu adalah mobil listrik. Uniknya lagi, eksistensi mobil listrik di akhir abad ke-19 bukanlah sebuah keanehan.

Mobil listrik yang dikendarai German bukanlah kendaraan pribadi, melainkan taksi. Saat itu, taksi-taksi di New York (dan London) umumnya adalah mobil listrik. German sendiri adalah seorang sopir di sebuah perusahaan taksi di bawah naungan Electric Vehicle Company milik taipan bernama William C. Whitney.

Gizmodo bahkan menyebut bahwa jumlah kendaraan listrik pada saat itu lebih banyak daripada jumlah kendaraan berbahan bakar bensin.

Ya, mobil listrik rupanya bukan barang baru. Meski terkesan baru belakangan ini booming, mobil listrik sebenarnya pernah jadi kelaziman pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Keberadaan taksi listrik di New York pada 1899 tadi adalah buktinya.

Satu lagi hal menarik adalah bahwa polisi New York yang mengejar German saat itu tidak menggunakan kendaraan bermotor, melainkan sepeda. Artinya, kendati populer, mobil listrik pada zaman itu sama sekali tidak menjual kecepatan. Lalu, apa yang membuatnya begitu populer?

Tiga Penggerak Mesin

Uap bisa jadi merupakan penggerak mesin paling tua yang ada di dunia. Pertama kali ditemukan pada abad ke-18, mesin uap langsung jadi penggerak Revolusi Industri. Ia menjadi tulang punggung mesin-mesin pabrik hingga lokomotif kereta api.

Setelah itu, mulailah muncul berbagai upaya untuk menggunakan mesin uap sebagai penggerak kendaraan yang lebih kecil alias kendaraan pribadi.

Pada 1769, seorang tentara Prancis bernama Nicolas Cugnot menciptakan traktor artileri bertenaga uap yang bisa bergerak dengan kecepatan 4,5 km/jam. Lalu pada dekade pertama abad ke-19, Robert Anderson dari Skotlandia sukses menciptakan "mobil" pertama bertenaga uap.

Meski demikian, mesin uap tidak pernah populer sebagai penggerak kendaraan pribadi. Pasalnya, butuh upaya ekstra untuk menyalakan dan menjaga agar mesin uap tetap menyala. Terlebih, dalam kondisi cuaca yang tak bersahabat, menyalakan mesin uap butuh lebih banyak kerja keras.

Di musim dingin, misalnya, waktu yang diperlukan untuk menyalakan mesin uap bisa mencapai 45 menit. Sudah begitu, selama perjalanan, ia harus diisi air secara konstan agar tetap menyala. Sungguh sangat tidak efisien untuk penggunaan pribadi.

Oleh karena itu, terobosan teknologi baru perlu dibuat sebelum memikirkan soal kendaraan pribadi. Kabar baik terbit pada 1828, kala seorang pendeta sekaligus ahli fisika asal Hongaria, Ányos Jedlik, sukses menciptakan motor elektrik pertama.

Mulanya, Jedlik menggunakan motor listrik tersebut untuk menggerakkan purwarupa sebuah kendaraan. Upayanya itu berhasil dan itu membuka peluang penciptaan kendaraan pribadi yang lebih efisien. Namun, baru pada 1880, kendaraan pribadi bertenaga baterai diciptakan oleh seorang Prancis bernama Gustave Trouvé.

Meski begitu, kendaraan ciptaan Trouvé itu lebih pas jika disebut sebagai sepeda motor listrik karena ia beroda tiga. Selain mengaplikasikannya di darat, Trouvé kemudian juga menggunakan mesin yang sama untuk menggerakkan perahu. Perahu ini pun akhirnya dipamerkan di Pameran Listrik Paris 1881.

Temuan Trouvé itu seakan menjadi pemantik bagi para inovator di Eropa dan Amerika. Perlombaan menciptakan kendaraan bertenaga listrik pun dimulai.

Di saat yang bersamaan, mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) berhasil diciptakan. Tekonologi ini pun membuat orang berlomba-lomba menciptakan kendaraan berbahan bakar bensin. Salah satunya adalah Gottlieb Daimler dari Jerman yang mendirikan cikal bakal raksasa otomotif dunia, Mercedes-Benz.

Pada paruh kedua abad ke-19 itu, mesin uap sudah tak dilirik lagi. Para industrialis berpacu untuk menciptakan mesin bertenaga listrik dan mesin bertenaga bensin. Hasilnya, kendaraan bertenaga listrik muncul sebagai pemenang.

Ada beberapa alasan mengapa mobil bensin kalah pamor. Pertama, untuk menghidupkan mesin, pengguna mesti mengengkolnya terlebih dahulu. Kedua, tidak semua orang bisa mengoperasikan mobil bensin karena harus berganti persneling untuk mengatur kecepatannya. Ketiga, polusi udara dan suara yang dihasilkan membuat orang tidak nyaman.

Di sisi lain, mobil listrik tidak memiliki masalah-masalah tersebut. Ditambah lagi, pada masa tersebut, negara-negara Barat tengah mengalami proses elektrifikasi besar-besaran sehingga mudah bagi siapa pun untuk mengisi ulang baterai mobil listriknya, terutama di perkotaan. Mobil listrik secara khusus memang populer di wilayah perkotaan yang jalannya mulus dan sebagian besar areanya sudah teraliri listrik.

Popularitas mobil listrik pada masa itu memacu para industrialis untuk berinvestasi pada pengembangannya. Ada Ferdinand Porsche, ada Thomas Edison, ada pula Henry Ford yang jadi pemain besar di industri mobil listrik saat itu. Edison dan Ford, yang memang berkawan dekat itu, bahkan sempat berkolaborasi untuk riset mobil listrik murah.

Pada masa itu, di Amerika Serikat, satu dari tiga mobil baru adalah mobil listrik. Mobil-mobil itu pun pada akhirnya digunakan pula untuk jasa transportasi seperti taksi. Selain itu, ada pula mobil ambulans yang digerakkan mesin bertenaga listrik. Artinya, pada masa itu, mobil listrik bisa dibilang merupakan (salah satu) raja jalanan.

Mengapa Hilang Pamor?

Meski sempat populer di jalanan Amerika pada awal abad ke-20, eksistensi mobil listrik tak bertahan lama. Dominasi akhirnya diambil alih oleh mobil bertenaga bensin. Bagaimana bisa?

Biangnya adalah Henry Ford. Sebelum bekerja sama dengan Edison pada 1914 untuk menciptakan mobil listrik murah, Ford sudah merilis mobil Model T yang berbahan bakar bensin. Pelan tapi pasti, Model T lebih banyak dipilih lantaran harganya jauh lebih murah.

Murahnya harga Model T itu pun memicu pabrikan lain untuk merilis model-model baru yang harganya juga terjangkau. Sebagai gambaran, menurut Departemen Energi Amerika Serikat, pada 1912, harga mobil bensin hanya 650 dolar, sementara harga mobil listrik mencapai 1.750 dolar.

Selain itu, demam minyak Texas pada dekade pertama abad ke-20 juga membuat bensin semakin murah. Ditambah lagi, Pemerintah Amerika Serikat terus membangun jalan antarkota dan antarnegara bagian. Jalan-jalan ini banyak melewati wilayah yang belum berpenghuni sehingga mustahil untuk mengisi daya mobil listrik di area-area tersebut. Pada akhirnya, mobil berbahan bakar bensin pun (untuk sementara) memenangi pertarungan.

Mobil listrik sebetulnya tidak mati seketika kala itu. Baru pada 1935 mobil-mobil tersebut tak lagi terlihat di jalanan. Mobil berbahan bakar bensin, yang lebih murah dan bertenaga, pun mendominasi jagat raya. Sampai-sampai, mendengar mobil bertenaga listrik pun jadi sesuatu yang aneh.

Perlahan, dominasi mobil berbahan bakar bensin (dan solar) itu disadari sebagai salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Pada dekade 1970-an, Pemerintah Amerika Serikat sebenarnya sudah mulai menggalakkan riset pengembangan kendaraan listrik. Bahkan, NASA pun ikut terlibat di dalamnya.

Namun, baru pada abad ke-21 inilah wacana menggantikan mobil berbahan bakar minyak dengan mobil listrik kembali jadi perbincangan serius.

Kemunculan Toyota Prius (yang merupakan mobil hybrid) dan Tesla menjadi dua faktor utama di balik menghangatnya perbincangan mengenai mobil listrik ini. Semakin lama, popularitas mobil listrik pun semakin meningkat, termasuk di Indonesia.

Menurut data Gaikindo yang dilansir Kontan, penjualan wholesales (pabrik ke dealer) mobil listrik atau battery electric vehicle (BEV) nasional tercatat sebanyak 17.062 unit pada Januari-Desember 2023 atau melonjak 65,22% year-on-year (YoY) dari capaian tahun sebelumnya yakni 10.327 unit.

Ada dua alasan di balik lonjakan tersebut. Pertama, makin banyaknya model yang tersedia di pasaran sehingga membuat konsumen bergairah. Kedua, insentif pemerintah untuk pembelian mobil (serta sepeda motor) listrik membuat pembeli merasa diuntungkan. Pemerintah pun sampai saat ini terus menggenjot pembangunan infrastruktur pendukung ekosistem kendaraan listrik.

Tentu saja, jalan bagi kendaraan listrik untuk jadi raja jalanan seperti pada awal abad ke-20 masih sangat panjang. Ada banyak sekali tantangan yang dihadapi mulai dari kebiasaan masyarakat sampai kuatnya lobi dari perusahaan minyak. Belum lagi, masih banyak pabrikan mobil dan motor yang belum mau masuk ke industri kendaraan listrik.

Agak sulit bagi kendaraan listrik untuk bisa kembali merajai industri otomotif tanpa bantuan berupa regulasi dari pemerintah. Pemerintah Indonesia sudah melakukannya, begitu pula dengan pemerintah negara bagian California yang melarang penjualan mobil berbahan bakar minyak mulai 2035.

Namun, soal apakah kendaraan listrik benar-benar merupakan masa depan mobilitas umat manusia, rasanya masih bisa diperdebatkan. Di Indonesia, misalnya, di tengah gencarnya upaya pemerintah memasyarakatkan kendaraan listrik, muncul banyak tentangan dari pihak-pihak yang merasa bahwa kendaraan listrik bukanlah solusi dari kemacetan serta polusi.

Kemacetan akan tetap ada seandainya semua kendaraan berbahan bakar minyak yang ada saat ini digantikan dengan kendaraan listrik. Polusi pun tidak akan berkurang karena, sampai sejauh ini, listrik yang dihasilkan Indonesia sebagian besar berasal dari batu bara. Dengan situasi seperti ini, bisa jadi kendaraan listrik takkan pernah kembali ke masa kejayaannya seperti dulu kala.

Namun, hei, tak ada yang tak mungkin, bukan?

Baca juga artikel terkait MOBIL LISTRIK atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Otomotif
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi