tirto.id - Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 98 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) pada tahun 2021 silam. Tujuannya untuk mengendalikan penurunan emisi karbon sampai 2030. Targetnya cukup ambisius, yakni 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan bantuan dari dunia internasional.
Namun untuk mencapai target net-zero emission, pemerintah Indonesia memperpanjang target mereka sampai dengan tahun 2060. Padahal, banyak negara lain yang sudah menyetujui Paris Agreement pada 2015, bahwa emisi karbon perlu ditekan hingga 45 persen di tahun 2045 dan mencapai net-zero emission pada tahun 2050. Indonesia termasuk yang ikut tanda tangan.
Tinggi emisi karbon, menurut Staf Bidang Komunikasi Yayasan CERAH, Arie Rostika Utami, menjadi salah satu penyebab perubahan iklim dan menjurus pada krisis iklim. Hasilnya, bukan saja peningkatan suhu global, tetapi juga kenaikan permukaan air laut dan ekosistem yang justru juga merugikan masyarakat Indonesia.
“Baseline Indonesia dalam penurunan emisi masih belum jelas karena target penurunan GRK (Gas Rumah Kaca) diambil berdasar prediksi kenaikan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi. Padahal, pertumbuhan ekonomi bisa naik dan turun,” kata Arie dalam diskusi di Jakarta akhir Maret 2023.
Indonesia juga masih mengandalkan energi batu bara untuk kehidupan sehari-hari yang menyulitkan transisi energi ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Negara Eropa, seperti Denmark misalnya, sudah melakukan transisi itu jauh sebelum Indonesia.
Pada 1970 akibat kesulitan bahan bakar, Denmark terpaksa mengganti bahan bakar minyak ke gas alam. Hasilnya, sampai sekarang energi di Denmark dihasilkan dari energi terbarukan seperti energi matahari dan angin. Denmark juga sudah mengurangi emisi GRK hingga 51 persen sepanjang 1990-2020.
Menurut Kepala Kerja Sama Sektor Energi Kedutaan Besar Denmark di Indonesia, August Axel Zacharie, ada beberapa sebab mengapa akhirnya Denmark berhasil melakukan transisi energi. Salah satunya karena adanya desentralisasi produksi energi. Jadi pembangkit listrik bukan lagi merupakan kewenangan pusat seluruhnya, tapi daerah juga bisa membangun sumber energi sesuai kemampuan daerahnya.
Denmark juga didukung oleh aturan hukum yang memang mendorong terjadinya transisi energi.
“Tujuan kami satu, yaitu kami bertanggung jawab kepada generasi mendatang yang akan mendiami bumi ini,” kata Zacharie lagi.
Indonesia sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Air, Panas, Bumi, Surya, Bayu, Biomassa, Biogas, Tenaga Air Laut, dan Bahan Bakar Nabati demi transisi energi.
Pemerintah juga membuat rencana pensiun bagi PLTU di Indonesia sebesar 9,2 Gigawatt (GW), tapi kapasitas PLTU di Indonesia yang terpasang di 2022 tetap lebih besar dengan angka 42,1 Gigawatt (GW).
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Gilang Ramadhan