tirto.id - Tersembunyi dalam gang di tengah Kota Yogyakarta, sebuah studio diam-diam membakar sampah yang harum sampai ke mancanegara. Studio ini milik Ivan Bestari Minar Pradipta yang beralamat di jalan Ngadimulya, WB 1/265, Pakuncen, Wirobrajan, Kota Yogyakarta, DIY. Saya sampai harus dibantu oleh seorang warga sekitar untuk menemukan lokasi.
Dari luar, studio seni kaca ini nyaris tidak dikenali. Kecuali sebuah papan penanda nama dengan kayu berukuran sedang yang diukir dengan nama Otakatik Creative Work tergantung pada atap seng. Itu pun, papan tertutup oleh juntaian daun pohon belimbing.
Memasuki halaman, saya masih tidak yakin bahwa ada studio seni. Sebab, rerumputan tampak cukup tinggi. Sementara dihadapan saya hanya ada sebuah pintu seng tidak terkunci. Meskipun, ada sebuah sepeda motor terparkir di sana.
Mencoba memanggil beberapa kali, ternyata Ivan tengah bersantap siang. Sembari tertawa dan masih menenteng piring, dia mempersilakan saya masuk. Setelahnya, saya justru merasa sedang berada di sebuah mini museum.
Terpajang beberapa literasi terkait seni kaca pada dinding-dinding yang kusam. Tampak pula berjejer botol-botol bekas yang disusun berdasarkan warnanya. Mengiring itu, tersimpan buah karya Ivan yang berupa ‘anyaman’ kaca.
Ayah satu putri ini merunut ingatan, kapan dia mulai bermain-main dengan kaca. Seingatnya, dia masih anak-anak. Berawal dari buku yang memuat literasi pemanfaatan barang bekas.
“Salah satunya bohlam lampu bekas, kalau dulu yang dari kaca, itu bisa dijadikan kaca pembesar. Terus saya iseng coba-coba bakar ternyata meleleh,” kata dia, mengulang memori, kepada kontributor Tirto, Selasa (3/9/2024).
Rasa penasaran Ivan pada material kaca, terkulik lagi saat dia kuliah. Sekitar 2011, dia menjumpai pembuat tabung kimia dengan teknik tiup saat mencari kebutuhan untuk ikan hias miliknya. Ivan sempat berguru untuk mempelajari teknik tiup ini, meskipun akhirnya dia menyerah karena kesulitan. Tapi beruntung, pembuat tabung ini bersedia membuatkan Ivan alat pembakar kaca.
“Terus coba-coba, ada kaca sisa ternyata bisa ditarik dan diluruskan. Itu saya belajar selama 6 bulan cuma buat menarik-narik kaca. Terus akhirnya saya angkat jadi tugas akhir. Saya ambil jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), (tema tugas akhir) bagaimana limbah kaca bisa dijadikan produk baru,” kata dia.
Rasa penasaran Ivan akan kaca pun membawanya ke Jombang, Jawa Timur, pada sekitar 2012-2013. Berbekal informasi, ada tempat produksi manik-manik kaca.
“Kami bertiga waktu itu, pergi ke sana nekat tanpa kenal siapa-siapa. Kami tidak langsung ke tempat produksi, tapi ke lurah. Akhirnya malah diperkenankan menginap di rumah lurah,” ucapnya diikuti tawa.
Dalam kunjungan itu, Ivan dan teman-temannya tahu bahwa produksi manik-manik ini menggunakan bahan baku berupa batangan kaca yang dibuat secara mandiri dari limbah kaca. Alat bakar yang digunakan pun hasil dari rakitan sendiri. “Beda dengan teknik yang saya gunakan,” kata dia.
Namun, Ivan mendapat pengetahuan baru, bahwa ada teknik tradisional yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko kerusakan kaca usai dibakar. “Mereka memakai teknik tradisional, menyelipkan manik kaca yang masih panas pada abu kayu,” kata Ivan.
Teknik tersebut dapat mengunci panas, sehingga tidak terjadi perubahan suhu cepat yang mengakibatkan kaca pecah akibat pemuaian dan penyusutan.
Ivan mengaku sempat menerapkan teknik pendinginan tersebut dalam karyanya. Kendati kemudian, dia tinggal, karena tidak sesuai dengan teknik ‘perakitan’ karya yang digunakannya.
“Akhirnya saya bisa membuat kaca berdimensi besar dengan volume kecil. Teknik yang saya gunakan dengan jalinan. Itu teknis untuk melampaui batasan. Belum ada definisi untuk karya saya,” kata dia.
Minimnya pelaku seni kaca, kata Ivan, menyulitkannya mendapat literasi. Ivan mengaku sempat tak percaya diri menyatakan diri sebagai seniman kaca. Sebab, dalam pemahaman umum di Indonesia, seni kaca adalah kaca patri atau lukis kaca. Bukan ‘anyaman’ kaca seperti yang dilakukan oleh Ivan. Terlebih lagi, material utama dalam karya Ivan adalah limbah kaca.
Kendati begitu, Ivan terus berkarya. Dia mengunggah potret karyanya ke situs komunitas pelaku dan pecinta seni Deviantart. Karyanya ternyata mendapat apresiasi yang baik.
“Oh ternyata ada glass art, dari situ saya baru mencoba cari tahu tentang glass art, tanya ke teman dan dosen ISI. Kaca sebagai media seni rupa di Indonesia, ternyata tidak banyak ketemunya. Kemudian juga saya tahu teknik yang saya gunakan adalah flameworking,” kata Ivan.
Ivan lantas memperluas jangkauan jejaring. Melalui media sosial Facebook, dia akhirnya menemukan situs glassart.org atau Glass Art Society (GAS). Tergabung di dalamnya, Ivan kemudian menemukan bahwa seniman kaca di dunia, umumnya menggunakan material kaca komersil. Sebab ada berbagai jenis kaca dengan beragam merek, warna, dan ketahanan yang diperdagangkan.
“Di sana, ternyata yang menggunakan kaca limbah tidak banyak,” ujar Ivan.
Sementara itu, Ivan konsisten sejak awal memulai karya seni kacanya menggunakan limbah. Jadi, dapat dikatakan, dia satu dari segelintir seniman kaca di dunia yang berkarya menggunakan limbah. Sementara di Indonesia, dia mungkin satu-satunya seniman kaca.
Jejaring Ivan yang semakin meluas, membuatnya wara-wiri ke luar negeri. Pertama, dia berangkat ke Singapura pada 2014 untuk Makers Block: A Build, Craft & Design. Kemudian pada 2016, dia terbang ke Rusia untuk International Eco Festival.
“Setelah dari Rusia itu, saya percaya diri tumbuh (untuk menyebut diri sebagai seniman kaca). Di sana pemikiran saya juga terbuka. Ternyata kaca bukan hanya untuk fine art atau seni murni, tapi juga bisa jadi terapan,” papar dia.
Kebiasaan umum di Barat, kaca menjadi aksesoris dan cukup digemari. Berbeda dengan pemahaman umum di Indonesia, mengingat kaca merupakan material yang rentan rusak atau pecah. Berdasar pemahaman itu pula, Ivan ingin meluaskan pengetahuannya tentang seni kaca.
Dia pun berupaya menggali sejarah seni kaca yang terputus. Terlebih saat dia menemukan literasi dari arkeolog asal Sumatra Utara yang membeberkan situs pembuatan manik kaca di Pulau Kampai. Berdasar penelusuran tahun, situs ini diperkirakan beroperasi sejak abad ke-11. Teknik yang digunakan pun mirip dengan produksi di Jombang.
“Itu hasil produksi, bahkan sisa produksinya ditemukan,” kata Ivan menunjuk pada salah satu dinding studionya yang memajang informasi situs manik di Pulau Kampai.
Sebagai seniman kaca di Indonesia, Ivan kini telah melanglang buana mendemokan karyanya yang terbuat dari limbah. Pada 2022, dia mendemokan karyanya di Turki. Terbaru dia baru dari New Jersey untuk acara 2024 International Flameworking Conference pada Maret lalu. Dua bulan setelahnya, Ivan ke Berlin, Jerman untuk International Flameworking Exhibition 2024.
Ivan pun berharap, makin banyak orang yang turut terjun dalam seni kaca. Sebab, menurut dia, peluang ‘main’ di seni kaca masih terbuka luas. Seperti salah satu yang digelutinya, yaitu membuat seni terapan dengan memanfaatkan limbah kaca menjadi aksesoris berupa anting.
Aksesoris buatan Ivan dipasarkan pula di Pulau Dewata, tepatnya di Ubud, Bali. Salah satunya ada di Langit Creative Store milik Awan Yozeffani.
Awan mengaku sudah bekerja sama dengan Ivan sejak Februari 2023. Berawal dari Ivan yang mengikuti grup exhibition di Ubud.
“Kami tertarik ketika mengetahui (aksesoris karya Ivan), selain membuat karya fine art dia juga membuat karya terapan seperti jewelry dari limbah kaca,” kata Awan dihubungi kontributor Tirto, Rabu (4/9/2024).
Awan bilang, dia bersedia memasok karya dari Ivan karena tokonya berusaha men-support seniman lokal yang memiliki produk unik, handmade, dan berkualitas bagus.
“Hingga saat ini penjualan dan respons dari pengunjung terhadap produk Mas Ivan masih cukup bagus. Apa lagi market kami di sini lebih banyak adalah turis asing. Mereka sangat tertarik dengan produk-produk yang berbasis recycle,” kata Awan.
Sebagai informasi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tahun 2022 sebagai Tahun Kaca Internasional untuk merayakan kontribusi kaca terhadap perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan.
Dikutip dari BBC, kaca terkadang disebut sebagai bahan yang dapat didaur ulang tanpa batas, tanpa memengaruhi kualitas, kemurnian, atau daya tahannya. Kaca daur ulang dapat dihancurkan menjadi cullet, yang dapat dilebur dan digunakan untuk menghasilkan lebih banyak kaca.
Kaca yang digunakan untuk kemasan memiliki tingkat daur ulang yang tinggi dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya. Di Eropa, tingkat daur ulang kaca rata-rata adalah 76%. Sementara tingkat daur ulang kemasan plastik 41% dan kemasan kayu 31%.
Ketika kaca dibiarkan di lingkungan alami, kecil kemungkinannya menyebabkan polusi daripada plastik. Tidak seperti plastik, yang terurai menjadi mikroplastik yang dapat larut ke dalam tanah dan air kita, kaca tidak beracun.
Namun, botol kaca memiliki jejak ekologi yang lebih tinggi daripada plastik, dan bahan wadah botol lainnya termasuk karton minuman dan kaleng aluminium. Penambangan pasir silika dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, mulai dari kerusakan lahan hingga hilangnya keanekaragaman hayati.
Beberapa penelitian juga menunjukkan paparan debu silika yang berkepanjangan dapat menimbulkan risiko kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan silikosis akut, yaitu penyakit paru-paru jangka panjang dan tidak dapat disembuhkan yang disebabkan oleh penghirupan debu silika dalam jangka waktu yang lama.
Kaca sekali pakai yang dibuang di tempat pembuangan sampah membutuhkan waktu hingga satu juta tahun untuk terurai.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz