Menuju konten utama

Nasib Kelas Menengah Rentan, Pemerintah Harusnya Turun Tangan

Masyarakat kelas menengah adalah penopang ekonomi RI. Pemerintah harusnya membantu, bukan malah mempersulit.

Nasib Kelas Menengah Rentan, Pemerintah Harusnya Turun Tangan
puluhan ribu pencari kerja mengantre untuk dapat masuk kedalam lokasi bursa kerja di komplek gelora bung karno, jakarta, selasa (11/8). pertumbuhan ekonomi indonesia yang terus melambat pada tahun 2015 dikhawatirkan akan memunculkan semakin banyak pengangguran. antara foto/akbar nugroho gumay/foc/15.

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk kelas menengah pada 2024 mencapai 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi Indonesia. Jumlahnya mengalami penurunan dibanding periode sebelum Pandemi COVID-19. Pada 2019, porsi penduduk kelas menengah masih sebesar 21,45 persen atau sekitar 57,33 juta jiwa dan turun menjadi 19,82 persen (53,83 juta jiwa) di 2021.

Sementara itu, penduduk menuju kelas menengah (aspiring middle class)saat ini jumlahnya justru bertambah dari tahun ke tahun. Di masa Prapandemi COVID-19, jumlah masyarakat menuju kelas menengah sebanyak 128,85 juta jiwa atau sekitar 48,20 persen dari total populasi.

Lalu pada 2023, jumlahnya tercatat sebesar 136,92 juta jiwa atau sekitar 49,47 persen dari total populasi. Kini, jumlahnyanaik menjadi 137,5 juta orang atau sebesar 49,22 persen.

“[aspiring middle class] ini kategorinya adalah kelompok masyarakat yang pengeluarannya antara 1,5 sampai dengan 3,5 kali garis kemiskinan. Kalau yang pengeluarannya 1 sampai dengan 1,5 kali garis kemiskinan itu artinya rentan miskin,” jelas Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam Konferensi Pers Menjaga Daya Beli Kelas Menengah sebagai Fondasi Perekonomian Indonesia, di Kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (30/8/2024).

Berdasarkan kelompok umur, mayoritas penduduk kelas menengah adalah Gen X (lahir di periode 1965-1980)yang sebesar 24,77 persen. Generasi Milenial (kelahiran 1981-1996)menempati posisi kedua dengan persentase 24,60 persen.

Sementara itu, mayoritas penduduk menuju kelas menengah merupakan Gen Z dengan persentase sebesar 25,45 persen. Disusul kemudian oleh Milenial sebesar 24,08 persen, Gen X sebesar 21,55 persen, Gen Alpha 16,58 persen, dan Pre-boomers 11,09 persen.

Berdasarkan jenis pekerjaannya, kelas menengah yang bekerja di sektor jasa sebanyak 57,05 persen, di sektor industri sebesar 22,98 persen, dan 19,97 persen bekerja di sektor pertanian.

Selama lima tahun terakhir, masyarakat kelas menengah yang bekerja di sektor formal tercatat menurun. Pada 2019, jumlahnyatercatat sebesar 61,71 persen, tapi turun menjadi sebesar 58,65 persen pada 2023.

Penurunan yang sama juga terjadi di kelompok masyarakat kelas menengah yang bekerja di sektor informal. Pada 2019, jumlahnya tercatat sebesar 61,71 persen, lalu menjadi 58,65 persen pada 2023. Peningkatan terjadi pada 2024 ini, yakni menjadi 59,36 persen.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan bahwa komposisi tenaga kerja memang menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan populasi kelas menengah dalam beberapa tahun terakhir. Pasalnya, banyak tenaga kerja di Indonesia yang masih bekerja pada sektor informal.

Sayangnya, kata Yusuf, mereka yang bekerja di sektor informal itu umumnya mempunyai upah yang relatif rendah. Demikian pula pertumbuhan upah mereka. Kondisi ini tidak ideal jika dibandingkan dengan peningkatan atau perubahan harga yang relatif lebih tinggi.

Akhirnya, jika pendapatan kelompok yang bekerja di sektor informal ini relatif rendah, maka mau tidak mau mereka harus melakukan penyesuaian konsumsi untuk berbagai kelompok barang. Pada akhirnya, ini ter-capture dari menurunnya pengeluaran untuk beberapa kelompok komoditas yang dikonsumsi oleh kelas menengah,” jelas Yusuf kepada Tirto, Selasa (3/9/2024).

Selain itu, lanjut Yusuf, mereka yang bekerja di sektor informal juga rentan terhadap guncangan ekonomi. Ketika terjadi guncangan ekonomi, mereka harus merogoh tabungan untuk memastikan bisa tetap bertahan. Di saat yang sama, tidak semua kelompok kelas menengah yang bekerja di sektor informal mendapatkan jaminan sosial—berupa asuransi tenaga kerja, kesehatan, atau bantuan dari pemerintah.

"Sehingga, kondisi guncangan ekonomi seperti Pandemi COVID-19 akhirnya ikut memengaruhi pengeluaran dan pendapatan mereka,” jelas dia.

Penurunan jumlah kelas menengah ini menjadi perhatian BPS dan pemerintah. Pasalnya, kelas menengah merupakan salah satu penyumbang utama pengeluaran konsumsi rumah tangga Indonesia secara agregat.

Pada 2023 saja, jumlah kelas menengah Indonesia yang sebesar 48,27 juta orang atau 17,44 persen dari total populasi itu menyumbang sekitar 38,80 persen terhadap total konsumsi masyarakat.

Kelas menengah Indonesia memiliki peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional. Maka sangat penting untuk memperkuat kebijakan terkait kelas menengah, khususnya terkait dengan penguatan daya beli masyarakat yang merupakan fondasi akselerasi pertumbuhan ekonomi,” tegas Yusuf.

Masalah Baru Kelas Menengah

Alih-alih semakin mapan, kondisi kelas menengah RI ke depan justru diperkirakan bakal semakin terpuruk. Pasalnya, mereka masih dihadapkan pada kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah yang mempersulit. Salah satu di antaranya adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Lainnya adalah wacana perubahan subsidi transportasi publik.

Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Hal yang melatarbelakangi kenaikan PPN tersebut adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP). Pasal 7 Ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwatarif PPN sebesar 12 persen berlaku paling lambat pada awal tahun depan.

Dengan kondisi ekonomi saat ini, nasib kelas menengah di Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan. Ia berpotensi mengalami penurunan signifikan hingga jatuh ke dalam kategori rentan miskin atau bahkan miskin,” ujar Peneliti Institute For Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, kepada Tirto, Selasa (3/9/2024).

Kenaikan PPN dan potensi perubahan subsidi transportasi publik, kata Anwar, bakal menambah beban masyarakat kelas menengah, memperburuk ketidakpastian ekonomi, dan menurunkan daya beli. Kondisi ini tentu kontras dengan kondisi kelas menengah yang selama ini dianggap sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia.

Penurunan dalam kelas menengah berarti penurunan dalam daya beli dan konsumsi yang pada gilirannya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional,” kata dia.

Data dari Bank Indonesia (BI) sendiri, kata Anwar, menunjukkan bahwa kelas menengah merupakan penyumbang sebagian besar konsumsi domestik. Sehingga, penurunan jumlahnya akan berdampak langsung pada perekonomian makro. Ketika daya beli kelas menengah menurun, perekonomian juga akan mengalami penurunan permintaan yang dapat memicu resesi atau stagnasi ekonomi.

Jika kelas menengah terpaksa jatuh ke dalam kategori yang lebih rendah, beban pada sistem jaring pengaman sosial akan meningkat,” ujar dia.

Anwar juga menuturkan bahwa kelas menengah yang jatuh ke dalam kemiskinan akan memerlukan dukungan dari berbagai program sosial pemerintah, seperti bantuan langsung tunai, subsidi kesehatan, dan program kesejahteraan lainnya. Kondisi ini tentu akan meningkatkan tekanan pada keuangan negara dan mengurangi kapasitas pemerintah untuk memberikan dukungan kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan.

Penambahan beban ini pada sistem jaring pengaman sosial dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi kelompok yang paling rentan,” jelasnya.

Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah?

Sebagai jalan tengah, menurut analis kebijakan ekonomi dari APINDO, Ajib Hamdani, pemerintah bisa melakukan dua kebijakan. Pertama, pemerintah bisa menurunkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk tetap menjaga daya beli masyarakat. Sesuai dengan PMK Nomor 101 Tahun 2016, besaran PTKP adalah Rp54 juta per tahun atau ekuivalen dengan penghasilan Rp4,5 juta per bulan.

Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar Rp100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” kata Ajib kepada Tirto, Selasa (3/9/2024).

Kedua, pemerintah bisa fokus mengalokasikan tax cost dengan PPN ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak gerbong ekonomi, misalnya sektor properti. Atau bisa juga untuk sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.

Namun, secara kuantitatif, pemerintah harus betul-betul melakukan kalkulasi. Pasalnya, tax cost ini satu sisi memang bisa memberikan dorongan kepada sektor privatuntuk bisa berjalan baik. Namun di sisi lain, penerimaan negara harus menghasilkan nilai yang sepadan sehingga fiskal bisa tetap prudent.

Prinsipnya, pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan untuk menaikkan tarif PPN. Harus ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan juga sektor usaha agar terus berjalan dengan baik,” pungkas Ajib.

Sementara itu, menurut Anwar dari IDEAS, kelas menengah di Indonesia membutuhkan dukungan yang kuat dari pemerintah dalam menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Itu semata agar mereka tetap dapat bertahan dan berfungsi sebagai pilar utama perekonomian nasional.

Dukungan pertama yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan menerbitkan kebijakan pajak yang adil.

Dalam hal ini, kata Anwar, pemerintah harus mempertimbangkan penurunan tarif PPN pada barang dan jasa esensial. Pengeluaran untuk kebutuhan dasar, seperti makanan dan transportasi, yang merupakan porsi besar dari anggaran rumah tangga kelas menengah.

Dengan menurunkan tarif PPN pada barang-barang esensial, beban pengeluaran dapat dikurangi sehingga meringankan tekanan finansial yang dihadapi oleh keluarga kelas menengah,” ujar Anwar.

Dukungan kedua terkait dengan reformasi subsidi transportasi publik seperti KRL. Subsidi yang tepat sasaran, menurutnya, akan membantu mengurangi biaya mobilitas yang menjadi beban tambahan bagi kelas menengah.

Di samping itu, perluasan program dukungan sosial juga diperlukan, seperti bantuan langsung tunai dan asuransi pengangguran. Setidaknya, program-program itu dapat memberikan dukungan keuangan tambahan yang penting bagi kelas menengah yang mungkin menghadapi penurunan pendapatan.

“Ini akan membantu mereka bertahan dan mengurangi risiko penurunan status ekonomi,” ujar Anwar.

Dukungan kebijakan selanjutnya adalah investasi dalam pendidikan berkualitas dan pelatihan keterampilan. Karena, menurut Anwar, pendidikan yang relevan dan akses ke pendidikan tinggi akan membantu meningkatkan keterampilan kelas menengah dan memperbaiki prospek kerja mereka.

Dengan memberikan pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, seperti keterampilan digital dan teknologi, pemerintah dapat membantu kelas menengah beradaptasi dengan perubahan ekonomi dan meningkatkan daya saing mereka di pasar kerja,” katanya.

Terakhir pemerintah bisa melakukan pengendalian inflasi dan stabilitas harga. Sebab, pengendalian inflasi adalah kunci untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli.

Ke depan pemerintah harus berkoordinasi dengan BI untuk menerapkan kebijakan moneter yang efektif guna mengendalikan inflasi dan mencegah lonjakan harga yang dapat membebani kelas menengah.

Selain itu, pengawasan harga barang-barang kebutuhan dasar harus diperketat untuk mencegah lonjakan harga yang tidak terkendali. Kebijakan ini akan melindungi kelas menengah dari dampak inflasi yang berlebihan dan memastikan akses mereka terhadap barang dan jasa esensial tetap terjangkau.

Baca juga artikel terkait KELAS MENENGAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi