Menuju konten utama

Apindo Minta Pemerintah Tanggung PPh 21 Sektor Padat Karya

Pemberian insentif ini perlu dilakukan untuk mengerek daya beli masyarakat, utamanya para pekerja di sektor padat karya.

Apindo Minta Pemerintah Tanggung PPh 21 Sektor Padat Karya
Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT. Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.

tirto.id - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan kepada pemerintah untuk meninggikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) atau menanggung pajak penghasilan (PPh 21) para pekerja di sektor padat karya yang saat ini tengah mengalami perlambatan kinerja.

Dengan sifat PPh 21 yang wajib, pemberian insentif ini perlu dilakukan untuk mengerek daya beli masyarakat, utamanya para pekerja di sektor padat karya.

“Ini yang lebih penting adalah untuk pekerjanya karena PPh 21 wajib. Wajib pungut di kami, tapi bebannya beban pekerja,” kata Ketua Bidang Perdagangan Apindo, Anne Patricia Sutanto, usai Konferensi Pers Industri Padat Karya di Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2024).

Pemberian insentif pajak, terutama PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP), juga dinilai akan lebih efektif ketimbang pemberian bantuan sosial (bansos) yang hanya dirasakan dampaknya oleh masyarakat berpendapatan rendah (MBR) saja.

Pasalnya, semua pekerja yang pendapatannya sudah di atas PTKP akan langsung dipungut pajak oleh pemerintah. Inilah yang kemudian mengurangi pendapatan masyarakat untuk berbelanja.

Nah, itu juga bisa membuat ekonomi cair lagi daripada, mohon maaf ya, melalui bansos. Ini [PPh 21 DTP] lebih efektif karena orangnya bekerja, tapi PPh 21 gak dipungut pemerintah, tapi bisa dinikmati pekerjanya sendiri untuk membeli produk atau barang lebih banyak untuk kebutuhan rumah tangganya," terang Anne.

Layaknya saat Pandemi COVID-19, insentif itu juga cukup diberikan saat industri kontraksi saja. Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal II 2024, industri pengolahan/manufaktur berkontribusi sebesar 0,79 persen terhadap ekonomi Indonesia yang tumbuh di level 5,05 persen.

Kontribusi ini lebih lambat dari kuartal sebelumnya yang sebesar 0,86 persen dari pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,11 persen. Selain itu, kontribusi ini juga lebih rendah dari kuartal II 2023 yang sebesar 0,98 persen dan dengan pertumbuhan ekonomi di angka 5,17 persen.

Ini [insentif] pada saat [industri] kontraksi ya. Nanti setelah normal kembali, ya kembali ke normal. Ini persis seperti waktu pandemi pernah ada insentif dari pemerintah karena itu tujuannya untuk pekerja, bukan pengusaha,” imbuh dia.

Sementara itu, untuk industri padat karya, pengusaha hanya berharap agar kondisi ekonomi nasional dapat stabil guna menekan pengurangan tenaga kerja. Pada saat yang sama, perlindungan terhadap illegal dumping yang masih banyak terjadi di berbagai lini industri padat karya, termasuk elektronik, kosmetika, hingga produk tembakau penting untuk dilakukan.

Jadi, kami mengharapkan pemerintah, bukan hanya melulu ke Menaker atau Kemenko, tapi juga aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, bea cukai, dan BIN kalau perlu, yang menggerebek urusan ini. Karena, illegal[dumping] ini pasti enggak bayar pajak, pasti enggak bayar UMK. Namanya juga ilegal kan. Segala sesuatu yang ilegal kelihatannya benefit untuk konsumen, tapi sebenarnya ujung-ujungnya enggak benefit untuk konsumen,” jelas Anne.

Baca juga artikel terkait INSENTIF PAJAK atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi