tirto.id - Pembentukan angkatan siber Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai matra keempat tampaknya segera terealisasi. Pemerintah dan TNI tengah menggodok rencana pembentukan matra siber untuk melengkapi peran pertahanan TNI di jagat maya. Mandat pembentukan angkatan siber TNI juga sudah mendapat lampu hijau dari Presiden Jokowi.
Ancaman siber terhadap sistem pertahanan negara memang bukan hal remeh. Belakangan, peretas berhasil menjebol Pusat Data Nasional (PDN) Sementara dan data BAIS TNI. Meski demikian, pembentukan matra siber TNI dinilai sejumlah kalangan perlu dikaji mendalam agar menghasilkan pasukan ideal dengan tugas yang efektif.
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, menilai angkatan siber TNI harus memiliki struktur yang fleksibel dan terintegrasi dengan tiga matra TNI yang sudah ada (Darat, Laut, dan Udara). Selain itu, matra keempat ini perlu didukung infrastruktur berteknologi tinggi yang terus diperbarui sesuai perkembangan ancaman siber global.
“Mereka harus fokus pada pertahanan siber strategis, intelijen siber, serta kemampuan ofensif dan defensif di dunia maya. Kemitraan erat dengan sektor swasta dan akademik juga penting untuk memastikan mereka dapat memanfaatkan talenta terbaik dalam teknologi,” kata Beni kepada Tirto, Senin (9/9/2024).
Selain itu, menurut Beni, angkatan siber perlu dilengkapi sistem pelatihan yang kuat dalam meningkatkan keterampilan teknis anggota. Anggota matra siber TNI harus dipastikan bisa memahami ancaman siber yang terus berkembang.
“Fleksibilitas dalam merespons insiden siber harus menjadi keutamaan, dengan tim respons siber yang dapat beroperasi 24/7,” tambahnya.
Di sisi lain, pembentukan angkatan siber wajib memperhatikan aspek adaptasi kultural dan struktural di tubuh TNI. Pembentukan matra keempat bidang siber tentu bakal menggeser konsep Trimatra yang sudah lama melekat di TNI. Doktrin Tridarma Ekakarma sebagai jati diri TNI mau tak mau akan mengalami penyesuaian.
“Doktrin Tridarma Ekakarma, yang menekankan darat, laut, dan udara, harus diperluas mencakup cyber warfare sebagai dimensi baru perang. Ini berarti bahwa konsep-konsep dasar seperti ruang pertempuran, ancaman, dan strategi akan membutuhkan revisi substansial,” ujarnya.
Menurut Beni, rekrutmen matra siber perlu menargetkan talenta muda yang mempunyai pemahaman mendalam tentang dunia siber. Anggota angkatan siber diharapkan bersifat inklusif, dapat diisi kalangan militer maupun sipil. Selain itu, diperlukan kolaborasi dengan perguruan tinggi dan sektor teknologi swasta untuk menemukan talenta yang tepat.
“Proses screening yang ketat harus diberlakukan untuk memastikan integritas dan keamanan individu yang akan bekerja di bidang yang sensitif seperti pertahanan siber,” ucapnya.
Diberitakan sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, diperintahkan Presiden Jokowi untuk membentuk angkatan siber. Ia mengatakan, saat ini TNI memang sudah memiliki satuan siber yang masih sangat bergantung soal sumber daya manusia.
Ke depan, TNI berencana membuat pusat siber di Markas Besar TNI dan setiap matra. Panglima TNI menyatakan angkatan siber berpeluang merekrut lulusan SMA dan universitas sesuai keahlian di bidangnya.
"Memang kalau siber itu berbeda dengan satuan lain, mungkin akan lebih banyak orang sipilnya," kata Agus di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (3/9/2024).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Hadi Tjahjanto, turut menyatakan pentingnya Indonesia memiliki angkatan siber TNI. Ia menilai ancaman pertahanan dan keamanan saat ini tidak lagi berbentuk konvensional, namun meluas ke dunia maya atau siber.
“Tidak hanya memerlukan kekuatan seperti pesawat tempur, kapal perang, tank dan sebagainya. Saat ini perang sudah masuk ke ranah-ranah perang-perang siber,” kata Hadi usai menghadiri Forum Koordinasi dan Konsultasi di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, setuju perlu ada penguatan dalam ranah pertahanan siber di Indonesia untuk merespons bentuk ancaman ketahanan negara yang terus berkembang. Namun, pembentukan matra keempat semestinya dikaji mendalam dan tidak terburu-buru dibentuk.
Gufron menilai sudah banyak negara yang mengembangkan dan membentuk matra siber dalam angkatan militer mereka, seperti Singapura dan Amerika Serikat. Namun, Indonesia sebaiknya tidak berprinsip ikut-ikutan atau latah dalam membentuk matra siber jika berbagai persiapannya masih minim.
“Memerlukan kajian yang mendalam terlebih dahulu, mulai dari aspek urgensinya, kesiapan infrastruktur, sumber daya, anggaran, kebijakan, dll. Jangan sampai pengembangan Matra baru ini justru mengganggu prioritas kebijakan penguatan Tiga Matra yang ada,” kata Gufron kepada Tirto, Senin.
Menurutnya, banyak hal yang perlu disesuaikan dan dipersiapkan dalam pembentukan angkatan siber TNI, termasuk soal perubahan tataran regulasi pertahanan. Hingga saat ini, Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang TNI hanya mengenal tiga matra yakni angkatan darat, udara, dan laut. Pembentukan matra keempat tentu akan membutuhkan perombakan landasan hukum.
“Penting melakukan pembenahan dan mengoptimalkan satuan siber yang saat ini sudah dimiliki TNI. Sehingga dapat mendukung tugas TNI dalam menjaga pertahanan negara,” ujar Gufron.
Tantangan Membentuk Matra Baru
Pengamat militer sekaligus Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi, memandang tantangan utama membentuk matra keempat adalah mengintegrasikan konsep peperangan generasi kelima yakni perang siber ke dalam doktrin Tridarma Ekakarma. Fahmi menilai, tanpa membentuk angkatan siber sekalipun, doktrin yang selama ini mendasari operasi TNI di tiga matra (darat, laut, udara) tersebut, pasti menghadapi tantangan besar dan membutuhkan adaptasi untuk implementasinya di masa depan.
“Perubahan ini membutuhkan pergeseran cara pandang dari operasi fisik ke operasi virtual yang lebih abstrak dan cepat berubah,” kata Fahmi kepada Tirto, Senin.
Selain itu, tantangan yang perlu dilalui adalah penyesuaian regulasi terkait operasi siber yang perlu diselaraskan oleh TNI. Termasuk, kata Fahmi, ketentuan itu harus mengacu pada peraturan hukum internasional tentang cyber warfare, penggunaan kekuatan di dunia maya, dan perlindungan data.
Alhasil, pembentukan matra keempat atau angkatan siber menuntut amandemen konstitusi terkait perubahan atau penambahan matra TNI. Konsekuensinya, bakal mengubah aturan yang sudah ada saat ini semisal UU Pertahanan Negara, UU TNI, hingga UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara ( PSDN). Selain itu, juga harus menyusul dengan pembentukan UU Keamanan Siber.
“Untuk mengakomodasi aturan mengenai peran dan tanggung jawab angkatan siber dalam konteks operasional dan strategis,” ujar.
Sejatinya, kata Fahmi, Indonesia sudah memiliki Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bertugas mengkoordinasikan kebijakan keamanan siber nasional, baik untuk sektor sipil maupun swasta. Jika diwujudkan, pembentukan angkatan siber sebagai matra keempat juga menimbulkan konsekuensi anggaran yang tidak sedikit.
Biaya pembangunan infrastruktur, rekrutmen, pelatihan, dan operasional akan membengkak secara signifikan. Namun, menurut Fahmi, dalam konteks pertahanan negara, pengeluaran itu dapat dinilai sebagai investasi yang perlu, seiring meningkatnya kompleksitas ancaman siber yang dihadapi.
Tidak hanya itu, tantangan lain adalah rekrutmen anggota dan pelatihan personel angkatan siber TNI yang harus memiliki keahlian tinggi di bidang teknologi informasi, kriptografi, intelijen, dan pengembangan perangkat lunak. Adapun pengembangan doktrin, strategi, dan kerangka hukum untuk operasi siber militer juga memerlukan waktu yang tidak sebentar.
“Jika memperhitungkan semua faktor di atas, proses menuju matra siber yang sepenuhnya operasional bisa memakan waktu antara 15 hingga 20 tahun. Kecepatan ini bisa lebih singkat jika didukung oleh komitmen kuat dari pemerintah, ketersediaan anggaran yang memadai, dan kebijakan yang jelas,” ungkapnya.
Salah satu kekhawatiran utama terkait pembentukan angkatan siber TNI adalah potensi mempersempit hak-hak ruang siber warga sipil. Maka, TNI dan pemerintah harus bisa memastikan keberadaan matra siber tidak akan membatasi kebebasan dan hak-hak privasi warga negara dengan regulasi yang komprehensif.
Tugas TNI di bidang siber harus tetap mengacu pada tugas dan fungsi pertahanan negara. Jangan sampai ada wilayah abu-abu antara pertahanan dan keamanan negara yang dapat mengancam kedaulatan sipil.
“Langkah bertahap dengan memperkuat satuan siber yang ada adalah pilihan yang lebih bijaksana. Sembari mempersiapkan pondasi bagi pembentukan matra baru yang tangguh di masa depan,” ujar Fahmi.
Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigadir Jenderal Hariyanto, menyampaikan hingga saat ini Mabes TNI dan pemerintah masih menggodok aturan yang akan menjadi landasan hukum pembentukan angkatan siber TNI. Dia menyebut, matra keempat atau angkatan siber TNI merupakan perluasan dari Satuan Siber (Satsiber) Mabes TNI yang sudah ada saat ini.
“Ini akan kita tingkatkan statusnya [jadi matra baru], sedang dalam kajian dan akan diuji teori dan uji naskah untuk mendapatkan persetujuan pimpinan,” kata Hariyanto kepada Tirto.
Hariyanto belum bisa membeberkan tugas pokok dan fungsi dari angkatan siber ke depan. Namun, ia menyatakan TNI dan pemerintah memastikan terus mengkaji rencana ini.
“Ini yang sedang digodok oleh tim yg dibentuk Mabes TNI,” lanjutnya.
Sementara itu, Ketua Komtap Cyber Security Awareness Asosiasi Pengusaha TIK Nasional (Aptiknas), Alfons Tanujaya, menyatakan dalam ketahanan siber kemampuan pasukan siber tidak identik dengan biaya besar. Anggaran gemuk dan perangkat keras mahal memang membantu, namun tidak menjamin kekuatan siber.
“Kekuatan siber ditentukan oleh kebijakan yang tepat, kemampuan pasukan siber yang terlatih dan keahlian menggunakan perangkat dan piranti lunak yang ada,” kata Alfons kepada Tirto, Senin.
Ia setuju jika TNI membuka peluang warga sipil yang ahli di bidang siber menjadi anggota matra keempat. Matra siber sangat padat teknologi dan membutuhkan sumber daya yang mengerti dan dapat beradaptasi dengan tantangan siber yang berubah sangat cepat.
Karena itu perlu diprioritaskan anggota dari generasi muda dan sangat mengerti di bidang IT serta teknologi, khususnya cyber security. Negara dengan matra siber lemah, berpotensi mengalami kerugian dengan tereksposnya informasi rahasia negara.
“Asalkan seleksi memastikan background calon angkatan siber. Jangan sampai ditempatkan di posisi strategis menjaga data, malah membocorkan atau menjual data penting ke negara asing,” tegas Alfons.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi