tirto.id - Dengan tinggi rata-rata hanya 158,17 sentimeter, orang Indonesia tergolong bertubuh pendek dibanding penduduk negara lainnya. Konon, semua ini bukan hanya disebabkan faktor genetik. Namun juga dipengaruhi oleh lingkungan, pola makan dan asupan nutrisi seperti susu.
Argumentasi ini didukung oleh beberapa hasil penelitian yang membuktikan dampak nutrisi dari susu dengan pertumbuhan badan. Studi menyebutkan anak-anak yang mengonsumsi susu sesuai ketentuan memiliki tubuh yang lebih tinggi. Penelitian lainnya juga menemukan hasil yang selaras dan menekankan batas konsumsi tak lebih dari dua porsi guna menghindari obesitas.
Susu juga menjadi satu di antara kunci penting dalam upaya menurunkan prevalensi stunting yang tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angkanya berhasil turun 24,4% pada 2021 menjadi 21,6% pada 2022. Meski begitu, persentasenya masih berada di atas standar World Health Organization atau WHO, yakni 20%.
Stunting sendiri merupakan masalah serius lantaran tidak hanya menyebabkan fisik anak menjadi kerdil. Namun juga membahayakan kesehatan mental dan membuat tubuh rentan diserang penyakit. Dengan kata lain, penyakit ini berbahaya terhadap masa depan bangsa.
Selain sumber nutrisi, susu juga menjadi sumber penghidupan bagi jutaan orang di seluruh dunia. Konsumsinya diperkirakan bakal meningkat seiring bertambahnya pendapatan dan populasi global. Selama ini, produksi susu dunia dihasilkan sapi sebanyak 81% dan kerbau 15%. Sisanya berasal dari kambing, domba, dan unta.
Dalam Agricultural Outlook 2023-2032, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Food and Agriculture Organization (FAO) memproyeksikan produksi susu dunia tumbuh 1,5% per tahun.
India dan Pakistan akan memainkan peran penting karena berkontribusi lebih 32% produksi susu dunia pada 2032. Tiongkok menjadi importir terbesar disusul Rusia, Meksiko dan Arab Saudi. Sedangkan Uni Eropa, Selandia Baru, dan Amerika Serikat tetap berstatus eksportir utama.
Industri Susu Segar RI
Meskipun FAO mencatat perdagangan produk susu dunia sempat mengalami penurunan, tetapi permintaan susu diyakini bakal meningkat dari sejumlah negara. Termasuk Indonesia.
Secara umum, Statista memprediksi bahwa pendapatan di industri susu menyentuh USD0,33 triliun pada tahun 2023. Kemudian dalam kurun 2023-2028 pendapatan dari industri ini dianalisa akan tumbuh positif 6,87% secara tahunan.
Dalam analisanya, Statista mencatat bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan capaian pendapatan susu ke-4 tertinggi di dunia pada tahun 2028. Mengalahkan negara-negara maju seperti Jepang, Rusia, dan Jerman.
Perlu dicatat, pendapatan produk susu yang dimaksud dalam analisa ini hanya mencakup produk susu segar dan susu cair. Tidak termasuk susu bubuk, yoghurt, dan olahan susu seperti mentega dan keju.
Lebih lanjut, hasil analisa Statista menyatakan bahwa peningkatan di Indonesia ditopang oleh tren positif permintaan susu domestik. Pasar susu memberi pendapatan USD10,96 miliar pada 2023. Nilainya diperkirakan tumbuh 5,84% per tahun dan volume naik 1,9% pada 2024. Alhasil, konsumsi susu segar penduduk RI diprediksi tumbuh 1 kilogram per kapita pada tahun 2030.
Permintaan susu Tanah Air diperkirakan bakal terus meningkat seiring kenaikan konsumsi. Tren positif ini bahkan telah menarik banyak minat investor. Merujuk reportase Dealstreet Asia pada tahun ini dua perusahaan pengolah susu domestik, KIN Dairy dan PT Cisarua Mountain Dairy mendapat kucuran dana USD70 juta dan USD130 juta berturut-turut.
Sayangnya, terdapat fakta tragis dibalik potensi pendapatan industri susu segar di Indonesia. Walau berada di urutan teratas dari sisi pemasukan, tingkat konsumsi susu segar penduduk kita tergolong rendah.
Studi oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan konsumsi susu segar masyarakat kita hanya di level 4,61 kilogram per kapita di tahun 2021. Jauh di bawah konsumsi Thailand, Vietnam dan China. Sementara dari sisi pendapatan Thailand dan Vietnam jauh di bawah Indonesia, tidak sampai setengahnya.
Fakta miris lainnya adalah, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 20% dari total kebutuhan nasional. Selebihnya bergantung pada impor. Sejatinya, ini tidak hanya menjadi tantangan, namun juga membuka pintu peluang bagi industri susu Indonesia.
Selama ini, kekurangan pasokan ditutup dengan impor. Hingga November 2023, total golongan susu, mentega, dan telur (Kode HS 04) yang masuk ke Indonesia mencapai 361 ribu ton senilai USD1,1 miliar. Produk-produk tersebut berasal dari sejumlah negara. Di antaranya Selandia Baru dan Australia.
Di mata Australia, Indonesia adalah pasar potensial. Merujuk data The Australian Dairy Industry, mereka mengekspor 49.416 ton susu ke negara kita pada 2022-2023. Jumlahnya setara 7% dari keseluruhan ekspor. Dengan nilai mencapai USD303 juta, Indonesia menjadi pangsa terbesar ketiga bagi negara tersebut.
Nilai itu tercatat lebih besar ketimbang ekspor Australia ke Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina yang masing-masing tercatat USD181 juta, USD168 juta, USD143 juta dan USD134 juta. Selain Indonesia, pangsa ekspor susu terbesar bagi Australia adalah Tiongkok. Pada 2022-2023, volumenya tercatat 261,6 ribu ton senilai USD1.377 juta.
Kendala produksi susu lokal
Pemerintah Indonesia menetapkan target peningkatan produksi susu dalam negeri hingga 2,4 juta ton per tahun pada 2028. Di saat yang sama pemerintah juga berambisi untuk memenuhi 60% kebutuhan konsumsi nasional pada 2025, dari yang saat ini (2021) hanya 22%.
Berdasarkan analisa CIPS, untuk mencapai target tersebut, perlu ada peningkatan populasi sapi perah hingga 1,8 juta ekor atau tiga kali lipat dari populasi saat ini. Kemudian harus ada peningkatan target produktivitas harian sebesar 20 liter per ekor atau naik 30% dari produktivitas saat ini.
Agar ambisi ini tercapai, perlu ada investasi pada teknologi terutama untuk peningkatan produktivitas. Akan tetapi, peternak menghadapi tantangan dalam adopsi teknologi.
Studi CIPS menjelaskan bahwa tantangan pertama berkaitan dengan profitabilitas. Secara umum, untuk mengantongi keuntungan yang lebih besar, peternak memilih memotong biaya, bukan mendongkrak pendapatan dengan meningkatkan produktivitas melalui penggunaan teknologi.
Selanjutnya, rendahnya adopsi teknologi juga berkaitan dengan kurangnya kesadaran. Hampir 70% petani tidak mengetahui praktik terbaik dan teknologi untuk memastikan produktivitas dan kualitas susu.
Mayoritas peternak di Indonesia hanya lulusan sekolah dasar (SD), mengelola kurang dari 10 sapi perah, tidak ikut serta dalam kegiatan koperasi atau kelompok peternak, dan jarang sekali mendapat kunjungan dari petugas.
Pemerintah RI telah melakukan berbagai upaya. Meskipun begitu, banyak dari regulasi dan program teknologi transfer pemerintah belum tepat sasaran. Pasalnya, program yang berlangsung kebanyakan berfokus pada penelitian dan pendampingan yang menyediakan subsidi dan hibah.
Lebih lanjut, kekurangan lainnya dari strategi pemerintah adalah di sisi penerapan. Pemberian subsidi dan hibah teknologi hanya efektif dalam jangka pendek. Selain itu, ini sering kali mengarah pada adopsi semu perilaku, di mana peternak mengadopsi teknologi karena itu gratis.
Program-program seperti ini akhirnya mendorong petani untuk menunggu hibah dari pemerintah, alih-alih melakukan pembelian dan investasi sendiri.
Agar dapat lebih memaksimalkan program transfer teknologi, ada baiknya pemerintah lebih aktif melibatkan peran sektor swasta. Hal ini mengingat banyak perusahaan pengolah susu memiliki program pendampingan dan transfer teknologi yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pasar.
Editor: Dwi Ayuningtyas