Menuju konten utama
Irma Hidayana

"Produsen Susu Formula Tidak Takut pada Kode Etik Internasional"

Sisi agresif dari produsen susu formula adalah bisa melakukan upaya apa saja, termasuk memengaruhi kebijakan.

Irma Hidayana, peneliti kontra pemasaran susu formula. Tirto/Sabit

tirto.id - Pada Mei 2016, Irma Hidayana, kandidat doktor kesehatan dan perilaku di Universitas Columbia, Amerika Serikat, merilis laporan berjudul "Violations of the International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes: Indonesia Context." Laporan ini menyebutkan 15 persen responden dari 874 perempuan yang diwawancarainya berkata pernah mendapatkan sampel gratis susu formula dari tenaga kesehatan.

Tak hanya pemberian sampel gratis, pelanggaran kode etik pemasaran dapat ditemui lewat pemasangan sejumlah poster hingga banner di sejumlah fasilitas kesehatan.

Laporan ini menunjukkan kendati sudah ada PP 33/2012 tentang pemberian ASI eksklusif dan Permenkes 39/2013 tentang susu formula, pelanggaran kode etik itu masih jamak dilakukan karena kekuatan hukum yang lemah.

“Mereka tidak takut. Mereka paham ada kode internasional itu tetapi mereka bisa melihat celah dalam peraturan di negara tempat mereka berekspansi,” ujar Irma dari New York ketika saya mengontaknya lewat pesan WhatsApp.

Irma juga menulis makalah mengenai pentingnya kita memahami pemasaran agresif produsen susu formula lewat pasar daring, dan membantah sejumlah klaim saintifik yang kerap diumbar produsen susu formula kepada konsumen. Berikut wawancaranya.

Mengapa pelanggaran kode internasional yang dilakukan produsen susu formula ini menjadi krusial?

Pondasi berpikirnya adalah International Code of The Marketing of Breastfeed Substitute, aturan kode etik yang dibuat WHO, yang sayang sekali, memiliki kekuatan hukum yang lemah. Jadi bukan konvensi yang bisa diratifikasi secara langsung. Kalau mau tanya tentang apa konsekuensi hukumnya di Indonesia, jawabannya sangat lemah. Pemerintah tidak memiliki undang-undang atau peraturan yang mumpuni. Ada PP tapi tidak kuat.

Padahal kode internasional itu seharusnya menjadi landasan paling minimal. Jadi cakupannya itu pada pemasaran apa pun yang bisa menggantikan ASI, baik sebagian maupun seluruhnya itu tidak tertera beberapa tahun. Akibatnya banyak multiinterpretasi.

Kedua, ada indikasi bahwa perdagangan internasional, pada saat kode etik itu terbentuk, yang ikut membahas bukan hanya negara tapi juga perusahaan makanan bayi, artinya ada kompromi. Sidang WHO tiap tahun akan ada update, yakni menghentikan segala bentuk pemasaran, dalam hal ini sampai tiga tahun tidak boleh ada iklan atau pemasaran dalam bentuk apa pun. Nah, di forum pembentukan kode itu ada perusahaan yang tentu memiliki kepentingan.

Sekarang ini komunitas dunia ingin memperbaiki pola hidup, termasuk mengevaluasi kembali dampak yang ditimbulkan susu formula. Riset-riset juga sudah banyak, sehingga hasilnya ada beberapa gerakan seperti promosi ASI yang mulai digalakkan di seluruh dunia. Ada pula pembatasan kode seperti di Hong Kong. Di Thailand ada semacam kode marketing susu formula versi Thailand. Di Malaysia sedang didraf. Nah, di Indonesia ada RPP Label dan Iklan Pangan.

[Catatan: Rancangan peraturan pemerintah terkait label dan iklan pangan tengah digodok Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan sudah sampai di meja Kementerian Hukum dan HAM. Namun, hingga saat ini belum juga disahkan.]

Apakah RPP Label dan Iklan Pangan itu cukup?

Tidak juga. Karena Indonesia masih punya masalah, seperti ternyata untuk promosi iklan susu formula hanya dibatasi untuk usia 1 tahun. Menurut saya, mereka itu tidak takut. Karena mereka tahu pasti, secara hukum internasional aturan itu ada. Tapi ketika mereka beroperasi di Indonesia, mereka mesti tunduk pada aturan yang berlaku di Indonesia.

Ada sebuah laporan dari Euromonitor International yang menjelaskan mengapa perusahaan susu formula berekspansi ke beberapa negara, antara lain ke Indonesia. Dari riset Euromonitor 2016: 1) pertumbuhan populasi anak-anak di Indonesia itu cukup tinggi; 2) peraturan tidak terlalu kuat meskipun gerakan advokasi untuk mempromosikan ASI mulai kuat. Mereka masih melihat ada peluang bisnis yang cukup tinggi untuk memasarkan produk susu formula atau makanan bayi di Indonesia. Sekitar 50 juta lebih angka kelahiran anak itu dijadikan peluang.

Kalau ditanya mengapa ini bahaya sekali, menurut saya karena mereka tidak takut terhadap kode internasional, karena kode ini tidak memiliki landasan hukum yang kuat di Indonesia.

Presiden Donald Trump pernah mengeluarkan aturan US Trade Report, yang menyatakan draf RPP Pangan dan Label di Indonesia, juga di Malaysia, Hong Kong Code, dan Thailand, membahayakan industri makanan bayi Amerika.

Tetapi Kementerian Perindustrian bilang ini bukan investasi negatif.

Nah, itu wajar kalau banyak yang berpendapat itu bukan negative invest karena memang tidak banyak yang tahu dampak buruk susu formula terhadap bayi dan anak.

Banyak riset yang sudah membuktikan bahwa anak di bawah enam bulan itu sangat rentan mengalami kematian. Sebanyak 800 ribu anak di dunia tiap tahun meninggal karena artificial feeding termasuk di antaranya pemberian susu formula.

Wajar kalau mereka berpendapat seperti itu, karena mereka tidak terpapar informasi yang sebenarnya. Susu formula itu tidak seperti racun yang begitu diminum langsung meninggal atau sakit keras. Jadi melihat bahayanya itu seperti apa yang relevan dengan investasi, mungkin definisi investasi yang berbahaya bagi kementerian tidak bisa menjangkau definisi bahayanya susu formula.

Klaim-klaim produk susu formula yang membuat anak cerdas, menghilangkan kolik dan sebagainya ... Banyak penelitian independen yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan tidak memiliki kepentingan dengan perusahaan produk makanan bayi, yang membuktikan bahwa klaim tersebut tidak benar. Karena semata-mata bahaya susu formula itu tidak seperti narkoba.

Orang kementerian misalnya melihat ... OK, Danone datang membawa investasi, bangun pabrik, ada buruh, sehingga terbuka lapangan kerja; itu sisi positif, dan itu tidak apa-apa. Semua produsen susu formula itu boleh membangun pabrik, menjual produknya. Tapi tolong cara memasarkannya diatur. Mesti ada aturan yang sangat kuat, yang perspektifnya harus melindungi bayi dan keluarga, karena sisi bahaya dari promosi dan pemasaran itu bisa bikin ibu kepincut membeli susu formula.

Ada juga promosi yang menggunakan komunitas, seperti Parenting Center di akun fanpage Facebook. Apa dampak psikologisnya terhadap konsumen terutama bagi ibu muda yang baru melahirkan?

Sekarang berapa orangtua yang menggunakan smartphone? Atau Facebook atau media sosial lain? Orang sekarang cenderung mencari informasi secara instan, salah satunya dengan googling. Tidak melalui penyaringan informasi yang lebih dalam lagi. Nah, ini bahaya. Karena dengan permainan algoritma dan permainan diskusi online yang cukup, tentu saja sangat mudah bagi ibu yang jangan-jangan informasi itu salah kaprah. Kita jadi gampang percaya padahal sumbernya tidak kuat dan sebagainya. Budaya seperti itu dimanfaatkan sekali oleh perusahaan untuk memasarkan produknya.

Ada satu hal yang menarik dan harus kita ingat bahwa biasanya perusahaan susu formula itu hire tenaga kesehatan. Ada dokter anak, ahli gizi, dan lain-lain. Seorang ibu yang belum pernah memiliki pengalaman menyusui, selain mencari informasi dari orang terdekat, pasti punya independensi untuk mencari informasi sendiri. Dan informasi dari ahli serta tenaga kesehatan itu yang paling pertama yang dipercaya, baik itu bidan maupun dokter anak.

Dan dalam diskusi parenting, yang pertama dilakukan para dokter pasti selalu bilang bahwa ASI adalah yang terbaik untuk anak. Baru kemudian beralih ke hal lain, yakni pemberian susu formula sebagai pendamping ASI. Jika dimoderasi dengan tenaga ahli seperti itu, konsumen biasanya akan lebih percaya.

Faktanya banyak tenaga kesehatan menjadi perpanjangan tangan pemasaran produsen susu formula. Itu sudah rahasia umum. Tapi bisakah kita menyebutnya sebagai gratifikasi?

Harusnya sih, bisa. Waktu itu saya pernah usulkan ke KPK. Dan kalau sudah pergi haji, pemberian mobil, dan sebagainya itu sudah masuk gratifikasi. Di klinik, banyak poster susu formula atau gambar anak sehat dan aktif karena mengonsumsi susu formula. Tentu saja pasti ada kerjasama dengan pihak perusahaan susu formula.

Pertempuran ini memang susah. Saya optimistis, tapi banyak sekali yang harus dilakukan, karena ini sangat kompleks, apalagi ini terkait investasi. Dan mengubah paradigma berpikir ini susah.

Kedua, budaya gratifikasi juga tinggi. Bagaimana upaya asosiasi perusahaan susu dan makanan bayi memengaruhi proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Misalnya, setiap pembahasan perundang-undangan yang terkait susu formula atau makanan bayi dan anak, bukan cuma melibatkan ahli di bidang gizi bayi dan anak serta penggiat advokasi ASI, tapi juga melibatkan para industri.

Pertimbangan-pertimbangannya: Seberapa besar sih investasi perusahaan susu formula dan makanan bayi ini bermanfaat buat Indonesia? Seberapa besar menyerap tenaga kerja? Lalu dampak lingkungan yang diakibatkan berapa? Yang terakhir dan yang paling penting adalah dampak kesehatan bagi bayi dan anak.

Dampak kesehatan ini tidak hanya ditanggung oleh keluarga saja, tapi juga negara karena BPJS harus menganggarkan untuk pengobatan mereka, seperti diare, flu, dan batuk yang sering dialami bayi. Sementara susu formula tidak mengandung antibodi. ASI-lah yang memiliki kandungan antibodi.

Banyak sekali biaya perawatan yang sebetulnya tak perlu dikeluarkan karena bisa dihindari jika kaum ibu memberi ASI, bukan susu formula.

Baca juga artikel terkait SUSU FORMULA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Indepth
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam