Menuju konten utama

Regulasi Ompong Menjerat Produsen Susu Bayi

Kendati berlapis, regulasi promosi susu formula dan pangan bayi tetap tak bertaring. Mekanisme penegakan hukumnya masih kabur.

Regulasi Ompong Menjerat Produsen Susu Bayi
Ilustrasi: Promosi gencar industri pangan bayi melanggar sejumlah peraturan di Indonesia. Tirto/Lugas

tirto.id - Menantu Eni, Reisya Larasanti, melahirkan anak pertamanya di sebuah rumah sakit swasta di Karawang, 22 Desember 2017. Tak ada yang aneh selama proses persalinan normal yang dijalani Reisya. Anaknya terlahir sehat. Hingga tiba saat kepulangan, pihak rumah sakit memberikan produk susu formula.

Singkat cerita, Eni yang merupakan Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, bermaksud melaporkan pelanggaran etik yang dilakukan rumah sakit tersebut sesuai PP 33/2012 tentang pemberian ASI eksklusif dan Permenkes 39/2013 tentang susu formula. Awalnya ia melapor ke Ikatan Dokter Anak Indonesia dan Dinas Kesehatan setempat. Namun, laporannya tak digubris.

Janggalnya, ia sempat melaporkan hal ini ke instansi tempatnya bekerja, tetapi menurut Eni, “Kementerian tidak punya wewenang untuk itu."

Jika pegawai kementerian kesehatan saja tidak tahu, lantas bagaimana dengan masyarakat awam?

Di Indonesia, kode internasional tentang susu formula dan makanan bayi yang digagas Badan Kesehatan Dunia (WHO) memiliki sejumlah landasan hukum. Pertama, Permenkes 39/2013, termasuk di dalamnya pembatasan kegiatan promosi susu formula. Peraturan ini diperkuat dengan Permenkes 15/2014 yang mengatur sanksi untuk tenaga kesehatan serta produsen susu formula.

Kendati sudah cukup lengkap mengatur pengawasan kode etik, tetapi kedua peraturan itu memiliki kekuatan hukum di bawah peraturan pemerintah. Peliknya, PP yang masih berlaku, PP 33/2012 belum cukup mumpuni memberikan sanksi tegas kepada produsen susu.

“Sanksi yang ada hanya ditujukan kepada tenaga kesehatan, sementara industrinya masih bergerak bebas,” ujar Sri Soekotjo, staf gizi Unicef Indonesia.

D sisi lain, implementasi penegakan Permenkes 15/2014 juga tak jelas. Laporan konsumen ke kementerian tak bisa ditindak karena nyatanya kementerian tak punya wewenang untuk melakukan penindakan.

Di Indonesia, promosi gila-gilaan yang dilakukan produsen susu formula jelas melanggar setidaknya enam peraturan, menurut Irma Hidayana, peneliti kontra pemasaran susu formula dan kandidat doktor ilmu kesehatan dan perilaku di Columbia University, AS. Irma menulis mengenai pentingnya para pihak memahami pola agresif pemasaran produsen susu formula di pasar konvensional maupun digital, serta perlunya kita membantah klaim-klaim saintifik pada produk susu formula.

Sederet peraturan yang dilanggar produsen susu formula itu antara lain PP Label dan Iklan Pangan tahun 1999, PP 33/2012, Permenkes 15/2014 dan 39/2013, UU Perlindungan Konsumen, dan etika pariwara. Sayangnya, semua regulasi ini seolah tak punya gigi untuk menjerat produsen dengan sanksi berat.

Untuk mengatasi hal itu, pemerintah lewat Badan Pengawas Obat dan Makanan tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Labelling dan Iklan Pangan. Namun, hingga saat ini RPP tersebut belum juga diteken.

Saat dimintai keterangan oleh Tirto pada Jumat pekan lalu, Kepala BPOM, Penny S. Lukito memastikan draf RPP itu sudah ada di Kementerian Hukum dan HAM.

Pertanyaannya: apakah regulasi yang tengah dirumuskan itu cukup mumpuni menindak para produsen susu formula?

Penny tak cukup jelas menjawab hal ini. “Soal enforcement, kami lihat saja nanti kalau sudah disahkan. Nanti BPOM tentu bergerak,” ujarnya. Saat ditanya lebih lanjut, Penny ogah menjawab dan memilih berlalu.

Meski bisa menengahi polemik etik dalam sisi agresif pemasaran industri susu formula, draf RPP ini kurang tegas melindungi ibu dan bayi. Dalam draf awal, RPP label dan iklan pangan menyebut bahwa iklan produk pangan bayi dan anak dilarang untuk bayi usia satu tahun. Artinya, anak usia setahun ke atas dibolehkan menjadi target promosi dalam bentuk dan produk apa pun.

Karena itulah Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak, dengan menggandeng Kementerian Kesehatan, mendesak agar batasan usia itu diperluas hingga tiga tahun.

Suratmono, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM, mengatakan pada akhirnya RPP tersebut mencantumkan batas usia 2 tahun untuk iklan produk pangan bayi dan anak. Suratmono menampik keputusan itu lantaran ada intervensi, jika tidak bisa dibilang tekanan, dari pihak produsen.

“Angka dua tahun itu bukan jalan tengah. Tapi sudah melalui berbagai kajian dan pertimbangan. Tidak ada tekanan. Siapa yang berani menekan BPOM?” ujar Suratmono tergesa-gesa menyusul atasannya.

Infografik HL 2 Promosi Agresif Susu Formula

RPP Label & Iklan Pangan Ancam Investasi?

Asumsi ada tekanan atau intervensi bukan tanpa alasan. Dalam 2017 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, Amerika Serikat mengakui sejumlah peraturan terkait promosi susu formula dan makanan bayi menyulitkan negaranya dalam berinvestasi di beberapa negara. Dalam konteks Indonesia, peraturan yang dimaksud adalah RPP tentang Label dan Iklan Pangan yang drafnya sudah digodok sejak 2016.

Dalam laporan itu pemerintahan Donald Trump menyatakan sempat meminta pemerintah Indonesia untuk memberikan notifikasi terkait perkembangan draf RPP kepada World Trade Organization sebelum peraturan itu berlaku.

Sebelumnya, asumsi ada campur tangan produsen dalam penyusunan regulasi tentang promosi susu formula dan pangan bayi juga terlihat pada sidang kode etik WHO, yang digelar tiap tahun.

“Ada indikasi bahwa di perdagangan internasional, pada saat kode etik terbentuk, yang ikut membahas bukan hanya negara tapi juga perusahaan makanan bayi, artinya ada kompromi. Nah, di forum pembentukan kode itu ada perusahaan yang tentu memiliki kepentingan,” ujar Irma Hidayana.

Setidaknya, ada dua perusahaan susu formula dan makanan bayi asal Amerika Serikat yang berinvestasi di Indonesia, yakni Abbott dan Mead Johnson.

Menurut Pusdatin Kementerian Perdagangan, total nilai impor Amerika Serikat mencapai 73 juta dolar AS, dan menempati urutan ketiga pengimpor susu formula dan pangan bayi untuk Indonesia. Posisi pertama masih ditempati Selandia Baru, dengan total nilai impor 160 juta dolar AS; disusul Australia dengan nilai impor hingga 90 juta dolar AS.

Kendati demikian, RPP Label dan Iklan Pangan tidak akan mengancam investasi, ujar Abdul Rochim, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian. “Produk mereka tidak hanya susu formula bayi. Ada produk lain. Tentu mereka sudah mempertimbangkan itu,” tambah Rochim.

Pernyataan ini kontraproduktif. Jika mengacu data Euromonitor tahun 2013, draf RPP Label dan Iklan Pangan dapat memengaruhi sekitar 222 juta ton penjualan susu formula di Indonesia. Sementara rangkaian regulasi sebelumnya hanya berdampak pada 27 ton penjualan susu formula untuk bayi usia 0 sampai 6 bulan.

Industri produk makanan bayi bisa kebat-kebit karena jumlah penjualan susu formula adalah yang terbesar, hampir 91 persen, dari total penjualan produk mereka.

Danone dan Nestlé, dua perusahaan raksasa pangan bayi, menanggapinya dengan pragmatis. “Kami mendukung ASI eksklusif untuk bayi usia 0 sampai 6 bulan seperti yang direkomendasikan WHO. Kami patuh terhadap regulasi yang mengatur seluruh proses bisnis kami.”

Baca juga artikel terkait SUSU FORMULA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam