Menuju konten utama

Generasi ASI Bukan Generasi Sapi

Anak-anak Indonesia lambat tapi pasti mulai bergeser dari generasi Air Susu Ibu (ASI) ke generasi sapi, alias susu pengganti ASI. Hampir separuh dari jumlah kelahiran saat ini tak mendapatkan ASI. Massifnya iklan susu pengganti ASI, sebagai salah satu biangnya.

Generasi ASI Bukan Generasi Sapi
Sejumlah wanita menyusui anak mereka pada kegiatan gerakan Ibu Indonesia Menyusui di halaman Istana Maimun, Medan, Sumatra Utara. [Antara Foto/Irsan Mulyadi]

tirto.id - Setiap 1-7 Agustus, dunia memperingati pekan Air Susu Ibu (PAS) sedunia. Tahun ini tema PAS internasional adalah “Brastfeeding A Key to Sustainable Development”. Di Indonesia tema itu diejawantahkan lumayan panjang, “Ibu Menyusui sampai dua tahun lebih hemat, anak sehat dan cerdas; dalam rangka mewujudkan keluarga sejahtera”.

Dalam pedoman PAS tahun ini, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Dr Anung Sugiharto menyampaikan bahwa pihaknya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mendukung pemberian ASI secara eksklusif yakni pemberian ASI saja tanpa menambahkan makanan atau minuman lain sampai bayi berusia enam bulan.

“Sejak usia enam bulan dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI yang tepat dan terus memberikan ASI hingga anak berusia dua tahun atau lebih,” sebutnya.

Anjuran Dirjen Kesmas Kemenkes itu sudah sesuai dengan anjuran dari World Health Organization (WHO). WHO menyebut ASI merupakan makanan pertama alami untuk bayi. Kandungan ASI sudah cukup memberikan semua energi dan nutrisi bagi bayi untuk bulan pertama kehidupan. Kandungan ASI juga menyediakan setengah atau lebih kebutuhan gizi bagi bayi sampai usia dua tahun.

Pemberian ASI Eksklusif di Indonesia

Tapi tidak semua bayi di Indonesia mendapatkan ASI eksklusif seperti itu. Pada 2013, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyebutkan hanya 26 persen bayi di Indonesia mendapat ASI eksklusif. Sayangnya, Menkes era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono itu tak merinci penyebab para bayi di Indonesia tidak mendapatkan ASI eksklusif.

Sementara rilis United Nations Children's Fund (UNICEF) Indonesia pada 21 Mei silam, menyebutkan “dari 5 juta anak yang lahir setiap tahun di Indonesia, lebih dari setengahnya tidak mendapatkan ASI secara optimal pada tahun-tahun pertama kehidupannya.”

“Terdapat peningkatan berarti pada angka menyusui dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun begitu, jutaan bayi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan awal kehidupan yang terbaik ini karena orang tua menerima informasi yang tidak tepat tentang apa yang terbaik bagi anak-anak mereka,” kata Harriet Torlesse, Kepala Gizi, UNICEF Indonesia.

Menurut UNICEF, meskipun 96 persen ibu di Indonesia menyusui bayi-bayinya, hanya 42 persen saja bayi usia kurang dari enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Sementara pada bayi usia menjelang dua tahun, hanya 55 persen yang masih diberi asupan ASI.

Untuk diketahui, sebagaimana disampaikan WHO, ASI membantu perkembangan sensorik dan kognitif bagi bayi serta melindungi bayi terhadap penyakit menular dan kronis. ASI eksklusif mengurangi angka kematian bayi akibat penyakit yang lazim diderita anak seperti diare atau pneumonia, dan membantu untuk pemulihan kesehatan lebih cepat selama sakit.

Tapi fakta lain menyebutkan rendahnya pemberian ASI eksklusif ternyata sejalan dengan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia. Mengutip laporan “Committing to Child Survival: A Promise Renewed (Progress Report 2015)", World Breastfeeding Trends Initiative (WBTI), AKB di Indonesia untuk anak-anak di bawah usia lima tahun mencapai 27 kematian per 1.000 kelahiran. Angka ini membaik dibanding data pada 1990, di mana AKB mencapai 85 kematian per 1.000 kelahiran. Tapi prestasi itu masih di bawah target Millenium Development Goal (MDGs) 2015, yakni 23 kematian per 1000 kelahiran.

Ibu-ibu yang Tak Ma(mp)u Menyusui

Untuk menekan AKB—terutama dengan meningkatkan pemberian ASI eksklusif dihadapkan pada persoalan mendasar. Contohnya para ibu yang tak mampu atau dilarang menyusui karena indikasi medis, sang ibu meninggal atau ibu-ibu pekerja sehingga terpisah dengan bayi. Data spesifik untuk dua persoalan pertama belum terdeteksi.

Sementara untuk persoalan ketiga, survei BPS 2013 menyebutkan angkatan kerja perempuan terus meningkat. Pada 2013 lalu dari ada 43,3 juta perempuan, 25 juta di antara pekerja perempuan usia produktif.

Indonesia sudah memiliki regulasi untuk mengatur persoalan ini. UU Kesehatan No.39/2009 pasal 128, UU Ketenagakerjaan No. 13/2009 pasal 83, Peraturan Pemerintah No 33/2012 tentang pemberian ASI Eksklusif dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu di tempat kerja. Namun, lagi-lagi, implementasinya masih jauh. International Labour Organization (ILO) 2015 menyebutkan, baru 85 perusahaan dari 142 perusahaan di Jakarta yang memiliki ruang pemberian ASI.

Terkait persoalan ini Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) terus mendorong agar perusahaan menciptakan tempat kerja yang ramah bagi ibu menyusui.

"Pada saat aktivitas mencari nafkah, perempuan bisa bekerja pada lingkungan informal ataupun sektor formal. Di manapun ia bekerja, pemilik tempat kerja harus bertindak pada tiga area yakni waktu, ruang atau jarak dan dukungan, untuk menciptakan tempat kerja yang ramah bagi ibu menyusui," kata Wakil Ketua AIMI Pusat Nia Umar, kepada Antara.

Persoalan lain, iklan-iklan produk susu pengganti ASI (dalam bahasa industrial disebut susu formula)—termasuk makanan pendamping ASI—dituding telah “menghasut” ibu-ibu untuk meninggalkan pemberian ASI eksklusif. “Ini sangat mengganggu karena informasi yang salah dan menyesatkan melalui iklan dan promosi oleh perusahaan susu bayi dan retailer membingungkan orang tua dan menurunkan percaya diri para ibu untuk menyusui” kata Harriet Torlesse, Kepala Gizi, UNICEF Indonesia dalam keterangan pers Mei 2016 silam.

UNICEF yang mengutip penelitian Global Index 2016 bahkan menyebut bisnis susu pengganti ASI ini menjadi tantangan bagi kampanye pemberian ASI. Alasannya sederhana, penjualan susu pengganti ASI di Indonesia pada 2016 diperkirakan mencapai Rp25,8 triliun. Angka ini menunjukkan betapa besar peredaran susu pengganti ASI di Indonesia.

Padahal, sebut UNICEF, jika bayi-bayi mendapatkan ASI, negara akan menghemat Rp20 triliun setiap tahunnya untuk biaya perawatan kesehatan dan upah. Selain itu menurut kajian terbaru UNICEF dan Universitas Padjajaran, pemberian ASI juga dapat menyelamatkan 5.377 nyawa anak-anak. Dengan ASI pula negara bisa berhemat Rp 17 triliun untuk upah setiap tahun karena perbaikan dalam kemampuan kognitif dan peningkatan pendapatan di kemudian hari.

Lalu, apa peran bapak di sini? Wakil Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar menyampaikan dukungan suami menjadi salah satu kunci keberhasilan seorang ibu dalam menyusui bayinya.

"Ternyata keberhasilan menyusui itu menurut riset tergantung dukungan suami, jadi kalau tidak bisa menyusui itu bukan salah ibu semata," katanya kepada Antara.

Baca juga artikel terkait PEKAN ASI SEDUNIA 2016 atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti