Menuju konten utama

Dosa Etik Produsen Susu Formula

Bagi calon ibu: Berhati-hatilah dengan segala cara rumah sakit yang memberi susu formula kepada bayi Anda.

Dosa Etik Produsen Susu Formula
Ilustrasi HL Susu Formula

tirto.id - Irma Suryani, 26 tahun, kesal luar biasa saat mengetahui bayinya yang baru berumur sehari diberi susu formula oleh pihak rumah sakit. Irma melahirkan pada 3 Desember 2016 di sebuah rumah sakit swasta di kawasan Kelapa Dua, Depok.

Hari pertama dan kedua setelah melahirkan, ia dan bayi laki-lakinya dipisahkan. Kecurigaan Irma muncul lantaran saban pagi saat waktu menyusu, bayinya tak pernah menangis. Padahal ia sama sekali belum menyiapkan ASI perah.

Kecurigaan itu baru terjawab setelah ia hendak pulang dari rumah sakit. Ia diberikan bingkisan perlengkapan bayi serta sekaleng susu formula merek Nestlé NAN yang sudah habis setengah, yang terang bikin ia terkejut. Lebih terkejut lagi, pemakaian susu formula ini disertakan dalam tagihan persalinan. Biayanya dipatok sekitar Rp300 ribu.

“Nanti beli susu ini ya, Pak,” kata suster yang merawatnya waktu itu kepada sang suami.

Keluarga itu merasa ditipu. Pihak rumah sakit tak memberitahu akan memberikan susu formula kepada sang bayi, apalagi meminta persetujuan kepada sang ibu. Irma dan anak pertamanya dalam kondisi stabil untuk melakukan inisiasi menyusu dini. Tak jelas apa pasal ia sampai harus dipisah dengan anaknya waktu itu.

“Saya enggak sempat tanya. Karena pikiran saya fokus ke anak waktu itu. Setelahnya saya langsung genjot pakai ASI. Alhamdulillah mau,” ujar Irma.

Masih di rumah sakit yang sama, setahun sebelumnya, Ana Rochmawati, 28 tahun, mengalami kejadian serupa. Saat ia pulang usai melahirkan anak kedua, pihak rumah sakit memberi bingkisan berupa perlengkapan bayi seperti alat mandi, bedak, termasuk satu kardus susu formula SGM, yang diproduksi Sarihusada.

Sementara pada waktu melahirkan anak pertama pada 2012, Ana juga diberi sampel gratis susu formula dengan merek yang sama oleh seorang bidan.

Nestlé, perusahaan multinasional dalam makanan dan minuman berbasis di Swiss, juga diketahui melakukan promosi di salah satu rumah sakit swasta di Rawamangun, Jakarta Timur. Vega Amanda, 26 tahun, mendapatkan satu kaleng sampel gratis dari merek susu NAN usai melahirkan anak pertamanya pada Oktober 2016.

Promosi macam ini faktanya jamak dilakukan oleh perusahaan susu formula melalui rumah sakit maupun bidan. Modusnya beragam, dari memberikan sampel gratis kepada ibu sesudah melahirkan hingga mensponsori riset para dokter.

Praktik ini tak hanya terjadi di rumah sakit di Jakarta, tetapi juga ke sejumlah daerah di Indonesia.

Misalnya saja Marni, bukan nama sebenarnya, yang berdomisili di Yogyakarta. Ia melahirkan anak pertamanya di sebuah rumah sakit ibu & anak pada 28 Februari 2017. Marni memang sempat melakukan apa yang disebut "inisiasi menyusu dini", sebuah tahapan penting untuk memudahkan bayi memulai proses menyusui, dengan meletakkan bayi pada dada atau perut sang ibu sehingga secara alami dapat mencari sendiri sumber air susu ibu dan menyusu.

Marni juga diizinkan untuk rawat gabung oleh pihak rumah sakit. Namun, begitu hendak pulang, ia menerima hadiah persalinan dari pihak rumah sakit berupa pembalut untuk nifas, popok bayi sekali pakai, biskuit bayi, dan satu kardus susu SGM Ananda untuk usia 0-6 bulan.

Sementara Putri terpaksa harus merelakan sang buah hatinya menyesap susu formula dalam dua hari pertama karena ia harus menjalani observasi selama 48 jam akibat pendarahan usai operasi caesar.

Prosedur inisiasi menyusu dini lumrah saja tidak dilakukan jika ibu atau bayi dalam kondisi tidak stabil. Dalam penyuluhan inisiasi menyusu dini (IMD) di RS St. Carolus, Jakarta Pusat, dokter Utami Roesli menegaskan IMD tetap dapat dilakukan kendati ibu menjalani operasi caesar. Meski begitu, tentu ada pertimbangan lain dari dokter terkait kasus ini sehingga harus memisahkan sementara ibu dan sang bayi.

Dalam kasus Putri, perkara tak lazim adalah saat ia pulang pada hari ketiga, rumah sakit memberinya dua kotak susu formula merek Bebelac (produk Danone), satu kotak yang sudah habis setengah, dan satu kotak dalam kondisi utuh.

“Anak saya kesulitan mencari puting karena lebih dulu kenal dot. Menyusui jadi lebih sulit,” keluh Putri.

Hubungan Terlarang Produsen Sufor dan Rumah Sakit

Tak ada makan siang gratis. Modus memberi sampel susu formula secara cuma-cuma kepada pasien yang baru melahirkan mengindikasikan kerjasama antara pihak rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lain dan perusahaan susu formula.

Nia Umar, Wakil Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia, mengatakan model transaksi macam itu pasti ada. Namun, tiap perusahaan dan rumah sakit akan berbeda bentuk kerjasamanya.

“Dalam satu rumah sakit bisa bekerjasama dengan beberapa perusahaan sufor. Tergantung kontraknya seperti apa,” ujar Nia saat saya menemuinya di kawasan Kemang, medio Maret 2018.

Promosi susu formula di fasilitas kesehatan tak hanya lewat pemberian sampel gratis, tetapi juga pemasangan label produk pada boks bayi, pintu kamar, dan lain-lain. Ibarat slot iklan, label ini dapat berganti tiap minggu dengan merek yang berbeda. Sekali lagi, tergantung kontrak yang dibuat dengan pihak rumah sakit.

Menurut Sri Sukotjo, spesialis nutrisi UNICEF Indonesia, kerjasama tersebut bisa jadi bukan antara perusahaan susu formula dan manajemen rumah sakit, melainkan langsung dengan tenaga kesehatan seperti dokter atau bidan.

Gambaran cerita soal kerjasama antara produsen susu formula dan bidan diungkapkan oleh Mutmainah, Ketua Ikatan Bidan Indonesia Klaten. Pada 2013, lima tahun setelah Perda ASI di Klaten diteken, ia disambangi oleh pihak produsen susu formula. Mutmainah enggan menyebut nama perusahaannya.

“Pokoknya produsen susu formula nomor satu di Klaten. Sebelum Perda ASI, mereka sedang jaya-jayanya,” katanya.

Ihwal tujuan kedatangan produsen susu formula tersebut hanya satu: menawari Mutmainah dan organisasi bidan di Klaten kembali menjadi agen penjualan produk mereka.

Tak heran, karena sebelum Perda ASI dibuat, semua bidan di Klaten merupakan ujung tombak penjualan susu formula tersebut. Kehadiran Perda ASI itu, menurut Mutmainah, benar-benar membuat produsen rungsing.

“Kami kebetulan sedang berencana merenovasi gedung IBI dengan estimasi anggarannya mencapai satu miliar rupiah. Mereka menawari itu. Tapi kami tolak, karena takut dengan Perda,” ujar Mutmainah.

Tak jera dengan penolakan Mutmainah, perwakilan perusahaan susu formula itu kembali datang dengan penawaran baru. Kali ini dengan iming-iming satu unit Fortuner. Mereka bahkan menawari pula kepada Kepala Dinas Kesehatan Klaten.

“Untuk kendaraan operasional,” tawar perwakilan perusahaan waktu itu kepada Mutmainah. Mutmainah bergeming.

Sebelum terbit Perda ASI di Klaten, Mutmainah mengisahkan sering mendapat sejumlah fasilitas dari para produsen susu formula sebagai upah menjadi agen bagi produk mereka.

“Saya dapat papan nama, lemari, pernak-pernik kecil sampai tur ke luar kota atau luar negeri,” kata Mutmainah. Beberapa rekan sesama bidan bahkan sering diberangkatkan umrah atau renovasi tempat praktik.

Mutmainah menjelaskan saat itu ia dan rekan-rekan bidan lain belum mengetahui solusi terbaik jika sang ibu belum juga mengeluarkan ASI usai melahirkan. Padahal, bayi yang baru lahir sebenarnya masih dapat bertahan tanpa asupan ASI selama 48 jam.

“Solusi termudah ya dengan memberikan susu formula. Tapi sekarang kami tahu. Itu tidak boleh,” ujar Mutmainah.

Infografik HL 1 Pelanggaran Kode Etik Susu Formula

Melanggar Peraturan Menteri Kesehatan

Kongkalikong antara produsen susu formula dan tenaga kesehatan tentu membuat perusahaan susu formula melanggar Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2013 (PDF), yang mengatur susu formula dan produk bayi lainnya. Pasal 21 huruf a menyatakan bahwa produsen atau distributor susu formula bayi dilarang memberikan contoh produk secara cuma-cuma.

Bagi tenaga kesehatan, praktik itu melanggar sejumlah pasal pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2014 (PDF), di antaranya mereka dilarang menerima atau mempromosikan susu formula bayi yang menghambat pemberian ASI eksklusif.

Dalam Laporan Pelanggaran Kode Etik Marketing Perusahaan Produk Pengganti ASI di Indonesia, yang dirilis Westat, sebuah lembaga riset yang berbasis di Maryland, Amerika Serikat, Danone dan Nestlé paling banyak melanggar kode etik pemasaran di Indonesia.

Riset ini melibatkan 856 responden perempuan, 127 tenaga kesehatan, 37 fasilitas kesehatan, dan 111 outlet sepanjang 2015. Sementara pemenuhan kode etik yang diteliti meliputi pengawasan promosi di media, promosi langsung kepada ibu hamil dan keluarganya, promosi langsung di outlet, promosi dalam bentuk apa pun di fasilitas kesehatan, dan pada label.

Temuan ini menunjukkan 47 responden pernah ditawari susu formula bayi saat berada di fasilitas kesehatan; 39 di antaranya menyebut produk secara spesifik. Nestlé merupakan perusahaan yang paling banyak disebut, yakni 18 kali, diikuti Danone yang disebut 14 kali.

Sementara melalui pengawasan pemasaran via media, Westat menemukan sedikitnya ada 39 iklan di media televisi yang menyiarkan materi iklan susu formula untuk bayi usia 0-2 tahun, yang dilakukan enam perusahaan susu formula. Danone menempati urutan pertama.

Total ada delapan perusahaan yang disebut dalam laporan tersebut. Selain Danone dan Nestlé, ada juga perusahaan susu formula Mead Johnson, Friesland Campina, Kalbe Morinaga, Abbott, Fonterra, dan Heinz, dengan jumlah pelanggaran sebanyak 1.120 kali.

Menanggapi laporan tersebut, dua perusahaan yang menempati posisi pucuk atas pelanggaran tersebut, yakni Danone dan Nestlé, angkat bicara. Wawancara dilakukan melalui surel lantaran kedua perusahaan ini tetap menolak wawancara langsung.

Melalui direktur komunikasinya, Arif Mujahidin, Danone Indonesia menampik telah melakukan pelanggaran kode etik pemasaran.

“Danone Indonesia mendukung ASI eksklusif untuk anak usia 0-6 bulan sesuai aturan WHO dan tidak pernah mengklaim bahwa produk kami lebih baik atau sama dengan ASI dengan cara apa pun. Kami juga tidak melakukan promosi atau mengiklankan produk susu formula untuk anak usia di bawah satu tahun sesuai peraturan yang berlaku,” tulis Arif melalui email kepada redaksi Tirto.

Sementara Direktur Legal dan Corporate Affairs PT Nestlé Indonesia, Debora Tjandrakusuma, menilai laporan Westat itu juga mengkaji produk-produk untuk usia hingga 24 bulan.

Hal ini, menurutnya, berbeda dari ruang lingkup yang ditentukan oleh Peraturan Pelaksana Kode Etik Internasional tentang Pemasaran Pengganti ASI di Indonesia dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Peraturan ini hanya mencakup pemasaran susu formula bayi dan susu formula lanjutan hingga usia 12 bulan.

Sementara terkait temuan pelanggaran etik berupa pemberian sampel gratis produk susu formula Nestlé di sejumlah fasilitas kesehatan, Debora memastikan pihaknya akan segera melakukan investigasi.

“Kami melihat praktik ketidakpatuhan dalam pemasaran susu formula sebagai hal yang serius, dan kami berkomitmen untuk melakukan investigasi terhadap segala bentuk keluhan dan melakukan langkah perbaikan sesegera mungkin,” tulis Debora, diplomatis.

Baca juga artikel terkait SUSU FORMULA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam