tirto.id - Saya punya ibu dan suami yang enggan minum susu. “Susu kan enak, kok enggak suka susu?” Kalimat itu sering saya lontarkan kepada ibu sebelum saya memahami keengganan seseorang pada susu dan produk turunannya bisa jadi sebuah gejala dari alergi susu ataupun intoleransi laktosa.
Suami saya, Rezza Aji Pratama, selalu merasa mual yang kemudian diikuti dengan diare jika mengkonsumsi susu. Hal itu dialaminya sejak kecil. Pengalaman tak mengenakkan dari minum susu ini membuatnya trauma dan menjadi antisusu ketika dewasa.
Tetapi, Rezza tak pernah ada masalah dengan susu kedelai. Ini karena ia menderita intoleransi laktosa, dan susu kedelai, tak mengandung laktosa.
Intoleransi laktosa adalah kondisi ketika seseorang tak mampu mencerna laktosa—gula yang terdapat pada susu dan produk olahannya. Ketidakmampuan itu dikarenakan tubuh tak menghasilkan enzim laktase dengan cukup. Tanpa enzim laktase, laktosa tak mungkin bisa dicerna hingga berujung pada gangguan pencernaan.
Tingkat intoleransi laktosa masing-masing orang berbeda, ia bergantung pada banyaknya jumlah enzim laktase yang dapat diproduksi tubuh. Sebagian penderita intoleransi laktosa masih bisa mengkonsumsi makanan dengan kandungan sedikit laktosa, ada juga yang sama sekali tidak bisa.
Rezza termasuk yang tingkat intoleransinya tidak cukup tinggi. Ia masih bisa makan keju, dalam jumlah sedikit. Ia juga masih bisa makan pasta dengan saus krim, namun tidak bisa banyak. Tetapi untuk susu, dia sama sekali tak bisa.
Sebab sekali saja minum susu, pencernaannya akan langsung bereaksi. Diawali dengan kembung, mual, mulas, lalu diare.
Menurut Food and Drug Administrator (FDA) Amerika Serikat, penolakan sistem pencernaan pada susu dan produk turunannya bisa disebabkan dua hal, intoleransi laktosa dan alergi susu. Gejala keduanya tampak serupa, tetapi sebenarnya berbeda. Reaksi alergi susu melibatkan reaksi kekebalan tubuh akibat protein susu. Sedangkan intoleransi tak melibatkan kekebalan tubuh, melainkan karena produksi enzim pada usus.
Alergi susu biasanya menunjukkan gejala mual, sesak nafas, dan muntah. Setelah beberapa menit, gejala alergi bisa berkembang menjadi diare, gatal pada kulit, keram perut, hingga bengkak pada bibir. Pada kasus tertentu, alergi susu bisa berujung pada anaphylaxis, yakni reaksi alergi parah yang mengancam jiwa.
Penderita alergi susu harus menghindari semua makanan yang mengandung susu. Sebab konsumsi susu sedikit saja dapat memicu reaksi kekebalan tubuh yang berbahaya. Penderita intoleransi laktosa masih bisa mengkonsumsi produk turunan susu dengan kadar laktosa sedikit.
FDA mengatakan, gejala intoleransi laktosa biasanya baru terlihat ketika penderitanya mulai tumbuh dewasa. Kondisi ini tidak lazim ditemui pada anak berusia di bawah dua tahun. Seiring bertambah usia, produksi enzim laktase mereka semakin sedikit.
Ketika masih bayi, gejala intoleransi laktosa pada Rezza belum terlihat. Ia masih bisa mengkonsumsi ASI dan susu formula. Rasa mual dan diare dirasakannya saat ia beranjak remaja, hingga kini.
The Academy of Nutrition and Dietetics memberi beberapa solusi bagi para penderita intoleransi laktosa yang tetap ingin minum susu. Hal pertama yang bisa dicoba adalah tetap mengkonsumsi makanan mengandung laktosa, tetapi dalam jumlah minim. Jika tubuh tidak menolaknya, porsi makanan boleh dinaikkan bertahap.
Yogurt dan mentega susu juga wajib dicoba, dua jenis makanan ini mengandung mikroorganisme hidup yang dapat membantu pencernaan laktosa. Apabila sama sekali tidak ingin minum susu dan produk turunannya, para penderita intoleran laktosa harus mengkonsumsi makanan kaya kalsium lainnya.
Menurut data National Digestive Disease Information, ada sekitar 40 juta orang di Amerika yang menderita Intoleran Laktosa pada 2016. Sebagia besar adalah Asian-American dan African-American. Dalam skala lebih besar, disebutkan bahwa sebanyak 33 persen dari penduduk bumi adalah penderita intoleran laktosa.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti