Menuju konten utama

Peliknya Masalah Persusuan di Indonesia

Konsumsi susu rendah hingga harga jual rendah di tingkat peternak menjadi pekerjaan rumah yang harus dibereskan guna mencapai kedaulatan susu di Indonesia.

Peliknya Masalah Persusuan di Indonesia
Peternak menuangkan susu sapi hasil perahan di kandang komunal Kelompok Tani Ternak Gondang Makmur, Sumogawe, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/6). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

tirto.id - Susu merupakan komoditas pangan penting karena merupakan sumber protein baik bagi pemenuhan kebutuhan gizi. Sayangnya, industri susu nasional kita belum stabil dalam menghadapi masalah pelik sehingga mempengaruhi siklus konsumsi susu nasional. Selain konsumsi susu masyarakat yang rendah, terdapat keengganan di tingkat Industri Pengolah Susu (IPS) untuk membeli Susu Segar Dalam Negeri (SSDN).

Saat ini, populasi sapi laktasi di Indonesia tercatat masih di kisaran 267 ribu ekor dari total sapi perah 533 ribu ekor. Dari jumlah itu, sebanyak 98, 96 persen berada di Pulau Jawa dengan tren pertumbuhan cenderung menurun. Bandingkan misalnya dengan Selandia Baru dengan populasi penduduknya 4,693 juta jiwa, memiliki sapi perah mencapai 6,5 juta.

Di lain sisi, tingkat konsumsi susu nasional juga masih rendah, sekitar 16,62 kg/kapita/tahun. Angka ini termasuk yang terendah di Asia Pasifik, masih jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Misal Malaysia 36,2 kg/kapita/tahun, Myanmar 26,7 kg/kapita/tahun, Thailand 22,2 kg/kapita/tahun, dan Philipina 17,8 kg/kapita/tahun. Konsumsi susu nasional sebesar 5 persen juga tidak sejalan dengan peningkatan produksi SSDN yang baru mencapai 2 persen.

Baca juga: Jika Tak Mau Susu Sapi, Ada Susu Lainnya

Untuk mencukupi kebutuhan susu nasional yang rendah pun, industri peternakan sapi perah belum mampu memenuhinya. Persoalannya sangat beragam mulai dari produktivitas susu sapi rendah, pemilihan sapi perah di bawah skala ekonomis, serta neraca susu nasional yang tidak berimbang. Kebutuhan susu nasional ada di angka 4,5 juta ton, tapi produksi lokal baru mencapai 864,6 ribu ton atau sekitar 19 persen dari kebutuhan nasional.

Akibatnya, kekurangan susu sebanyak 81 persen ditutup dari impor susu di kisaran 3,65 juta ton. Bentuknya berupa Skim Milk Powder (SMP) Whole Milk Powder (WMP), Anhydrous Milk Fat (AMF) Butter Milk Powder (BMP). Berbagai produk yang diperuntukkan untuk kebutuhan industri pangan dan kosmetik tersebut diimpor dari beragam negara. Antara lain Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, Thailand, dan Uni Eropa.

Pada tahun 2011 produksi susu nasional sempat mencapai mencapai 974 ribu ton tapi terus turun menjadi 852 ribu ton pada 2016. Produktivitas sapi perah juga masih rendah sekitar 8-12 liter/ekor/hari. Padahal, idealnya adalah 15 liter/ekor/hari.

Selain rendah produksi, kualitas susu dalam negeri juga masih rendah dan belum terjamin kebersihannya. Total solid (bahan padatan susu) masih di bawah 11,3 persen sedang total Plate Count (kandungan bakteri) masih lebih dari 10juta/cc dari standar kurang dari 1 juta/cc.

Baca juga: Saat Susu Formula Menggerogoti ASI

Infografik Indonesia sulit susu segar

Regulasi Persusuan Nasional

Sejatinya, pasokan SSDN yang belum mampu memenuhi kebutuhan nasional dapat diatasi. Caranya dengan mendorong kemitraan antara industri pengolahan susu dengan koperasi maupun kelompok peternak.

“Kementerian Perindustrian tengah merancang kebijakan untuk mencapai target rasio SSDN dengan Susu Impor menjadi 40:60 di tahun 2021,” kata Abdul Rochim, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Direktorat Jenderal Industri Agro dalam diskusi mengenai persusuan nasional di Jakarta, Kamis (16/11/2017).

Kebijakan tersebut tertuang dalam Permentan No. 26/2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu. Kebijakan persusuan yang berpihak pada kemaslahatan bersama merupakan instrumen strategis bagi ketahanan pangan nasional. Dengan strategi kemitraan setidaknya ada tiga aspek yang akan terpenuhi, yaitu peternak sejahtera, bahan baku industri pengolahan susu, dan konsumsi susu segar terpenuhi.

Saat ini, karena ketersediaan SSDN masih rendah, maka dari 60 lebih IPS hanya 14 perusahaan yang menyerap SSDN. Baik melalui integrasi pabrik dengan peternakan mandiri atau melakukan kemitraan dengan koperasi dan atau peternak. Menurut Agus Warsito, Ketua Asosiasi Peternakan Sapi Perah Indonesia, kemitraan dengan industri merupakan pintu masuk bagi peternak dalam negeri untuk menuju modernisasi cara beternak. Dengan begitu, kualitas produk akan terjamin, memenuhi syarat SNI, serta standar industri.

“Peternak jadi sejahtera karena harga susu dijual ke pabrikan bisa lebih tinggi,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Agus melanjutkan, selama ini masih banyak peternak sapi perah hanya beternak sambilan. Mereka tidak memikirkan skala bisnis dan rata-rata hanya memiliki 2-3 ekor sapi per peternak. Bahkan biaya produksi secara keseluruhan mulai dari tenaga, makan sapi, perawatan kandang dll tidak diperhitungkan secara tepat.

Harga jual SSDN yang murah juga mengakibatkan banyak sapi perah alih fungsi jadi sapi potong karena harga jualnya lebih mahal. Saat ini, harga jual susu masih sekitar antara Rp 5-6 ribu per kilogram di tingkat pabrikan. Sedang, di tingkat peternak susu sapi perah hanya mendapat sekitar Rp 4.500-5.000 per kilogram. Peternak harus menanggung potongan proses logistik, hingga pendinginan dari koperasi sapi perah. Koperasi merupakan jembatan para peternak sapi perah menuju pabrik IPS.

“Harga jual yang diterima peternak tidak menguntungkan, harga jual Rp 6.000-6.700 per kilogram saja hanya menutup biaya produksi,” kata Agus.

Baca juga: Berapa Banyak Gula dalam Susu Kental Manis

Selain mengatur tentang kemitraan, pemerintah juga akan mengkaji usulan pemberian tarif bea masuk tambahan (surcharge). Mekanisme ini akan diterapkan pada IPS yang melakukan impor susu tapi tidak bermitra dengan peternak lokal. Perolehan pendapatan negara tersebut akan digunakan untuk perbaikan pengembangan usaha sapi perah.

Disinsentif melalui instrumen tarif bea masuk bagi milk powder ini lazim dilakukan di sejumlah negara. Indonesia termasuk negara yang rendah dalam menerapkan bea masuk, hanya sekitar 5 persen. India misalnya, sudah mengenakan tarif bea masuk tambahan sebesar 60 persen. Thailand 18 persen, Pakistan 20 persen, Bangladesh 10 persen, dan Turki bahkan mencapai 180 persen.

IPS kerap mengimpor susu dari peternak luar negeri karena harganya lebih murah dibandingkan SSDN. Selisihnya bisa mencapai Rp2.300- Rp2.400 per liter. Harga lebih murah sebab peternak luar negeri sudah lebih efisien dalam melakukan produksi susu.

Dengan semua permasalahan tersebut, maka jalan Indonesia untuk mencapai kedaulatan susu sepertinya masih panjang dan berliku. Tanpa ada komitmen yang kuat dari para pemangku kepentingan, maka lambat laun Indonesia hanya akan menjadi pengimpor susu, di tengah limpahan sumber daya yang seharusnya bisa dioptimalkan.

Baca juga artikel terkait SUSU SAPI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti