tirto.id - “Hanya manusia, mamalia yang dipisah dari ibunya setelah dilahirkan.”
Sindiran itu disampaikan dokter Utami Roesli, pakar gizi dan dokter spesialis anak dalam penyuluhan inisiasi menyusu dini (IMD) di RS St. Carolus, Jakarta Pusat, 16 Maret 2018. Dokter senior ini mengritik sejumlah rumah sakit yang masih menjalankan prosedur pemisahan bayi baru lahir dengan ibu.
Padahal, menurutnya, berdasarkan anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO), yang kemudian dipertegas dengan Permenkes No. 39 Tahun 2013 (PDF), seorang bayi memiliki kecenderungan alamiah untuk langsung menyusu pada sang ibu.
Namun, pemisahan bayi dan sang ibu usai persalinan serta ada ruang khusus perawatan bayi, telah membuka celah pemberian susu formula kepada bayi baru lahir. Mengapa isu ini penting?
Dokter Roesli menjelaskan jika sejak awal bayi sudah diberi susu formula, si bayi akan ketagihan dan ogah minum ASI. Rasa susu formula yang gurih tentu lebih nikmat ketimbang rasa ASI yang cenderung hambar. Terlebih si bayi lebih dulu mengenal botol daripada puting ibu. Maka, menyusu langsung dari puting menjadi lebih sulit bagi bayi.
Ketergantungan pada susu formula inilah yang dimanfaatkan produsen susu formula untuk mendapatkan konsumen sejak dini.
Banyak ragam modus yang dilancarkan perusahaan susu formula demi menjual produknya, khususnya susu formula untuk bayi baru lahir. Selain penetrasi langsung kepada pihak rumah sakit atau tenaga medis, para produsen susu formula juga bersiasat melalui kemasan susu.
Sebelum ada PP 33/2012 tentang pemberian ASI eksklusif (PDF), produsen kerap menggunakan gambar bayi dalam kemasan produk susu untuk usia 0 hingga 6 bulan.
Guna mengakali peraturan tersebut, perusahaan susu formula akhirnya menyamakan semua kemasan, baik untuk bayi baru lahir hingga balita. Perbedaannya hanya terletak pada desain atau font keterangan umur, yang justru biasanya dibuat hampir tak kelihatan. Pola pengemasan ini demi membingungkan konsumen.
“Hasil dari berbagai studi menunjukkan komposisi teks, gambar desain grafis yang serupa menyebabkan ibu bahkan beberapa tenaga kesehatan mengira iklan susu formula dengan kemasan tersebut diperuntukkan bagi susu formula bayi baru lahir hingga usia 6 bulan,” ujar Irma Hidayana, kandidat doktor Ilmu Kesehatan dan Perilaku di Columbia University, AS, serta peneliti kontra pemasaran produk susu formula.
Siasat lain adalah membangun jaringan komunitas di media sosial. Anggotanya adalah para ibu muda yang diiming-imingi poin-poin yang dapat ditukar dengan hadiah. Misalnya dilakukan PT Nestlé Indonesia dengan membuat akun fanpage Facebook Dancow Parenting Center atau PT Sarihusada dengan akun Fanpage Aku Anak SGM.
Lantaran promosi di media konvensional juga mulai dibatasi, perusahaan susu formula melirik pasar digital, salah satunya via situs jual beli online, demikian Irma, yang juga menulis kolom untuk Tirto pada November tahun lalu mengenai klaim produk susu formula belum terbukti bikin anak sehat.
Permenkes 39/2013, yang mengatur susu formula bayi dan produk bayi lainnya, secara jelas melarang untuk menjual atau menawarkan produk susu formula dengan melebih-lebihkan produk. Karena dijegal oleh peraturan seperti ini, perusahaan susu formula membebankan tugas promosi itu kepada pihak ketiga, dalam hal ini situs jual beli sebagai distributor. (Anda sangat mudah melacaknya dengan mengetik sejumlah merek susu formula pada mesin pencarian di semua pasar daring.)
Menguji Klaim Produsen Sufor
Salah satu materi promo andalan yang dipakai produsen susu formula adalah fabrikasi saintifik mengenai kandungan produk, yang tujuannya menyodorkan klaim bahwa susu formula dapat membantu tumbuh kembang anak. Pseudo-ilmiah ini, yang seolah-olah teruji secara sains, dilakukan agar produsen susu formula dapat bersaing dengan ASI dalam soal nutrisi.
Pertanyaannya: Benarkah klaim-klaim yang diusung produk susu formula? Sejumlah jurnal mengenai kandungan susu formula justru menyatakan sebaliknya.
Produsen susu formula kerap kali sesumbar soal zat probiotik pada produknya. Klaimnya, probiotik dapat membantu mengurangi kolik dan rewel pada bayi.
Faktanya, dalam "Probiotics for The Treatment of Infantile Colic: A Systematic Review" (Journal of Pharmacy Practice, Juni 2017, hlm. 366-374), tidak ada bukti kuat bahwa zat probiotik buatan dalam susu formula mampu mengurangi kolik pada bayi, sebagaimana pemaparan Irma Hidayana dalam makalah "Perlunya Membantah Marketing Susu Formula."
Makalah dalam jurnal itu juga membantah klaim bahwa zat probiotik, prebiotik, dan sinbiotik dapat membantu tumbuh kembang anak, mengurangi alergi, dan meningkatkan imunitas.
Bantahan itu dipertegas dalam makalah kesehatan "Supplementation of Prebiotics in Infant formula" (Januari 2014, hlm. 69-74). Penulisnya, Ana Močić Pavić dan Iva Hojsak—keduanya dari rumah sakit anak Zagreb—menyatakan bahwa tak ada bukti sahih prebiotik buatan dapat bermanfaat positif bagi bayi.
Klaim lain yang kerap disuguhkan adalah susu formula tak menyebabkan obesitas karena tidak mengandung gula pasir. Faktanya, susu formula mengandung lebih banyak protein yang dapat menyebabkan obesitas. Bayi yang tidak diberi ASI akan mengalami dua dampak: kelebihan berat badan atau justru kekurangan berat badan ideal.
Dalam "Does Breastfeeding Protect Against Pediatric Overweight?" (American Academy of Pediatrics, Februari 2014), ditulis Grummer-Strawn dan Zuguo Mei, menunjukkan hingga lebih dari 13 persen bayi yang tidak diberi ASI mengalami obesitas dan 5 persennya mengalami kekurangan berat badan.
Makalah itu menyatakan angka-angka itu adalah jumlah tertinggi jika dibandingkan bayi yang diberi ASI dalam periode tertentu. Semakin panjang periode pemberian ASI, semakin menurun pula potensi obesitas atau kekurangan berat badan pada bayi.
Jika Anda memperhatikan beberapa pariwara susu formula di televisi, klaim satu ini juga mungkin tak asing: DHA (docosahexaenoic acid) dan AA (arachidonic acid) menjadi komoditas paling menjual lantaran menjanjikan buah hati dapat tumbuh pintar dan hebat jika mengonsumsi susu formula. Sayangnya, lagi-lagi, tak ada bukti saintifik bahwa DHA dan AA buatan dalam susu formula dapat mencerdaskan anak.
Klaim-klaim kesehatan inilah yang didorong untuk memengaruhi keputusan para ibu membeli susu formula untuk bayi mereka.
“Semua nutrisi yang dibutuhkan bayi sudah ada dalam ASI,” terang Irma.
Dokter Utami Roesli mengafirmasi pendapat senada. Pada dasarnya, ujar Roesli, nutrisi pada ASI sudah didesain sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan bayi pada saat itu juga. Misal, jika sang bayi sakit, secara otomatis tubuh ibu akan memproduksi antibodi dalam ASI. Berdasar fakta tersebut, kebutuhan susu formula pada bayi sebetulnya menjadi tidak relevan.
Indonesia adalah Pasar Gemuk Susu Formula
Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara konsumen susu formula di dunia setelah Tiongkok dan Vietnam. Menurut Euromonitor, badan riset independen strategi pemasaran berbasis di London, penjualan susu formula di Indonesia pada 2012 mencapai 222 ton, dengan 27 ton di antaranya adalah penjualan susu formula untuk bayi usia 0 sampai 6 bulan. Jika dikonversi menjadi rupiah, pencapaiannya menembus angka Rp21,5 triliun.
Sementara dua perusahaan multinasional yang menempati pucuk penjualan tertinggi adalah Nestlé dengan produk Dancow dan Sarihusada lewat SGM.
Tingginya angka penjualan ini merupakan ekses dari permintaan yang cukup tinggi, ujar Abdul Rochim, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian.
Kendati pemerintah tengah menggalakkan kampanye ASI, di sisi lain, pemerintah juga tidak memberlakukan moratorium investasi terhadap produsen susu formula yang hampir semuanya perusahaan multinasional.
“Karena bukan negative invest, maka tidak ada itu moratorium. Paling kami hanya mengatur terkait labelling dan pemasaran. Itu tertuang pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan. Isinya apa saja? Silakan tanya BPOM karena itu inisiatif mereka. Kami hanya memberi masukan,” ujar Abdul Rochim di kantor Kementerian Perindustrian, medio Maret lalu.
Rancangan Peraturan Pemerintah yang dimaksud Abdul Rochim sebenarnya sudah dibahas sejak 2016 dan drafnya sudah sampai di meja Kementerian Hukum dan HAM. “Kemungkinan disahkan tahun ini,” lanjut Abdul Rochim.
Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya: Jika sudah diteken, cukupkah menindak para produsen nakal hanya dengan bermodal Peraturan Pemerintah?
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam