tirto.id - “Enggak cuma biaya nikah yang mahal, biaya lahiran, nanti belum kalau anaknya butuh diapers, butuh susu, kan baliknya juga butuh duit. Belum kalau udah sekolah, buat bayar sekolahnya, seragam, buku. Kalau uangnya pas-pasan kan ya kasihan anaknya, kasihan istri juga. Jadi mending nanti dulu lah nikahnya, kalau modalnya udah cukup.”
Muhammad Haidar, pria berumur 25 tahun memutuskan untuk tidak menikah dalam waktu dekat. Ia pun memilih mengumpulkan biaya pernikahan dan biaya hidup setelah menikah, ketimbang memilih buru-buru menikah hanya karena alasan cinta. Laki-laki yang bekerja sebagai staf akuntan di salah satu jaringan ritel di Semarang, Jawa Tengah itu menargetkan baru menikah di usia 30-35 tahun.
Tidak hanya itu, sebagai laki-laki, dia juga merasa harus memenuhi kebutuhan papan keluarganya. Namun, harga rumah yang kian tak terjangkau untuk dirinya yang hanya berpenghasilan tak lebih dari Rp4 juta sebulan, mimpi untuk memiliki hunian pribadi untuk keluarganya juga terasa makin jauh.
“Sekarang mikir, rumah mahal. Emang si ngontrak rumah paling realistis. Tapi masak seumur hidup mau ngontrak terus? Kan enggak mungkin. Aku juga pingin beli rumah buat keluargaku setelah nikah nanti,” cerita Haidar kepada Tirto, Jumat (1/10/2024).
Haidar tak dipungkiri masuk dalam angka masyarakat Indonesia yang menunda pernikahan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2023 hanya terjadi 1,58 juta pernikahan di Indonesia. Jumlah ini menjadi yang terendah sejak satu dekade terakhir, dengan jumlah pernikahan pada 2014 sebanyak 2,11 juta pernikahan atau turun sekitar 28,63 persen.
Dalam tiga tahun terakhir sejak 2021-2023, jumlah pernikahan di Tanah Air susut sekitar 2 juta pernikahan.
Fenomena penurunan jumlah pernikahan terekam pula dalam Statistik Pemuda Indonesia 2023, yang mana dari 64,16 juta jiwa pemuda, 68,29 persen di antaranya berstatus belum menikah.
Jumlah ini meningkat drastis dari 10 tahun sebelumnya yang masih sebanyak 54,31 persen. Sedangkan jumlah pemuda yang berstatus menikah ada sebanyak 30,61 persen pada 2023 dan 44,45 persen di 2014.
Selain itu, berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), rata-rata usia perkawinan pada 2023 ada di kisaran 22,3 tahun, lebih tinggi dari rata-rata usia perkawinan pada 2014 yang masih di kisaran 20 tahun.
Sebagai informasi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemerintah mendefinisikan pemuda sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) berusia 16-30 tahun.
Ekonomi Jadi Alasan Tak Buru-buru Menikah
Sosiolog Universitas Airlangga (UNAIR), Bagong Suyanto, menilai, penurunan angka pernikahan dan semakin tuanya rata-rata usia pernikahan di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran baru di kalangan anak muda, terutama perempuan.
Dalam hal ini, banyak perempuan muda yang berpikir untuk membangun rumah tangga yang ideal, tidak lagi harus dengan cara menikah cepat.
Fenomena ini sebenarnya juga telah dirangkum BPS pada 2023, yaitu jumlah perempuan berstatus kawin ada sebanyak 40,38 persen dari total pemuda Indonesia, sedangkan yang berstatus kawin ada 58,15 persen.
Jika dilihat dari rata-rata usia kawin pertama, sebanyak 36,91 persen menikah di usia 19-21 tahun dan 23,24 persen di usia 22-24 tahun. Dibanding sedekade lalu, distribusi umur oleh BPS ini mengalami perubahan. Pada 2014 lalu, jumlah perempuan di rentang usia 19-24 tahun yang berstatus menikah ada sebanyak 54,93 persen.
Sementara itu, pada 2023 jumlah pemuda laki-laki berstatus kawin ada sebanyak 21,08 persen dan yang belum kawin ada sebanyak 78,20 persen. Dari sisi usia kawin pertama, 36,01 persen menikah di rentang usia 22-24 tahun dan 27,31 persen menikah di usia 19-21 tahun.
“Jadi memang meningkatnya keberdayaan dan posisi tawar perempuan itu menjadi penyebab utama tidak terjadi pernikahan pada usia yang relatif muda,” terang Bagong.
Sebaliknya, menikah di usia muda, apalagi pernikahan dini, kini semakin dihindari oleh perempuan, terlihat dari usia kawin pertama di bawah 16 tahun yang menjadi sebanyak 3,33 persen dari di tahun 2014 yang masih sebanyak 5,39 persen.
Menurut Guru Besar dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR ini menilai, pernikahan dini seringkali membuat perempuan kehilangan masa kanak-kanaknya.
Pada saat yang sama, kondisi ekonomi yang tidak stabil usai menikah juga membuat perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh pasangannya.
“Jadi sekarang perempuan lebih memilih sekolah minimal sampai SMP, bahkan SMA. Lalu, mereka mengadu nasib di kota besar, baru kemudian menikah (...) Sekarang kan enggak, ketika perempuan makin banyak terserap di pendidikan, makin banyak (memutuskan) bekerja lebih dulu (daripada menikah),” terang Bagong.
Di sisi lain, perempuan mandiri yang sudah bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri akan lebih cenderung mencari pasangan hidup yang juga telah mapan. Namun, dengan kondisi ekonomi yang sulit dan semakin sempitnya lapangan pekerjaan, sulit untuk menemukan lelaki mapan.
“Ini lebih kesadaran kemandirian perempuan. Dalam arti kelas menengah, dari sisi perempuan yang berasal dari keluarga kelas menengah, dalam arti dari segi (peningkatan) pendidikannya. Itu yang membuat (angka pernikahan menurun). Karena kunci menikah kan kebanyakan dari keluarga perempuan, meminta segera dilamar, segera menikah,” jelas Bagong.
Sementara itu, menurut Kepala Ekonom BCA Group, David Sumual, penurunan angka pernikahan bisa terjadi karena kondisi ekonomi maupun sosial budaya yang berkembang di masyarakat. Secara budaya, jika sebelumnya rata-rata orang menikah di rentang usia 18-20 tahun, kini banyak yang baru mengikat janji suci di usia lebih dari 30 tahun. Dan itu dianggap hal wajar dan jamak.
Sedangkan dari sisi ekonomi, peningkatan biaya hidup yang terjadi di saat penghasilan stagnan, bahkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin tinggi imbas perlambatan sektor industri membuat banyak masyarakat Indonesia memutuskan untuk menunda pernikahan.
Sebab, ketika menikah dan dikaruniai buah hati, penghasilan yang didapatkan tidak lagi hanya untuk mencukupi kebutuhan pribadi saja, namun juga keluarga.
“Sambil mungkin mengumpulkan dana untuk biaya pernikahan ataupun nanti ketika sudah menikah juga kan banyak biaya yang perlu dikeluarkan. Kalau kita lihat akhir-akhir ini biaya hidup itu juga kecenderungan naik. Itu kelihatan dari kelas menengahnya yang jumlahnya menurun beberapa tahun terakhir,” jelas David kepada Tirto, Jumat (1/10/2024).
BPS mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia pada 2024 adalah 47,85 juta jiwa, turun dari tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. Namun pada saat yang sama, kelompok masyarakat menuju kelas menengah (aspiring middle class) mengalami kenaikan dari 128,85 juta jiwa di 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada 2024.
“Biasanya manusia itu kan rasional juga, ‘ngapain saya menikah sekarang?’. Sambil ngumpulin dana, misalnya untuk mencicil rumah. Padahal kan kalau kita lihat juga harganya juga meningkat, biaya hidupnya juga meningkat, mendapat lapangan pekerjaan juga kan semakin sulit sekarang,” terang David.
Bukan Cuma Soal Finansial
Lalu, apakah faktor ekonomi menjadi satu-satunya menunda pernikahan? Jawabannya, tentu saja tidak.
Mulia Rhamadani, perempuan berusia 27 tahun mengungkapkan keputusannya untuk menikah sampai usia yang belum ditentukan itu sebenarnya tak cuma soal ekonomi. Namun, mengingat sakralnya pernikahan, keputusan menikah harus disertai dengan kesiapan lahir, batin dan juga mental.
“Keputusan menikah itu sangat kompleks, bukan cuma soal spiritual atau tradisional lagi, tapi berhubungan juga pemenuhan dari segi ekonomi, psikologi dan batin. Tapi, kebutuhan ekonomi untuk membangun keluarga itu harus dipikirkan, mulai dari awal untuk melangsungkan pernikahan sampai nanti akhirnya memenuhi kebutuhan primer, sekunder, tersier anggota keluarga,” kata Mulia saat berbincang dengan Tirto, Jumat (1/11/2024).
Karena itu, memilih pasangan hidup yang tepat menjadi hal yang paling penting saat memutuskan untuk menikah. Namun, bagi Mulia, laki-laki yang mapan secara finansial saja tak cukup untuk dijadikan sebagai pasangan hidup.
Pernikahan adalah hal yang harus dijalani sekali untuk seumur hidup. Dalam hal ini, memilih pria yang dapat berbagi tugas rumah tangga juga menjadi keinginan.
Dengan budaya patriarki yang masih berkembang di Indonesia, laki-laki memang memiliki tugas sebagai pencari nafkah. Sedangkan perempuan, di rumah untuk mengurus anak dan mengerjakan berbagai tugas rumah tangga.
“Membangun rumah tangga itu kan dimulai dari dua individu, kalau dua individu itu tidak mapan secara psikis, rohani, ekonomi, itu akan berdampak pada kelangsungan rumah tangga mereka ke depannya. Kalau dia enggak mendapatkan (suami) yang mapan secara psikis, rohani dan ekonomi, tugasnya enggak terbagi secara merata,” terang Mulia.
“Kecuali kalau memang kedua belah pihak ada kesepakatan, misal yang ngurus anak laki-laki dan yang kerja perempuannya. Cuma, kalau laki-lakinya masih patriarki dan enggak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tugas istri malah jadi double,” imbuh pekerja media di salah satu perusahaan swasta itu.
Berimbas ke Turunnya Angka Kelahiran
Bagong Suyanto menilai semakin berkurangnya angka pernikahan di Indonesia jelas akan membuat angka kelahiran juga semakin turun.
Namun, dengan jumlah penduduk yang besar, yang berdasar data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebanyak 282.477.584 jiwa di semester I 2024, menurut Bagong hal ini tak akan berdampak besar kepada Indonesia.
“Yang penting kan sedikit tapi (penduduk) berkualitas. Daripada banyak, tapi tidak berkualitas,” kata Bagong.
Hal ini berbanding terbalik dengan pendapat David Sumual. Menurutnya, jika jumlah kelahiran di Indonesia kian berkurang karena penurunan angka pernikahan, akan membuat demographic dividend atau bonus demografi yang seharusnya dapat dirasakan Indonesia sampai 2035 dapat selesai lebih cepat.
Setelah itu, dengan berkurangnya jumlah kelahiran, yang terjadi adalah jumlah penduduk tua semakin banyak.
“Yang tadinya menikah harusnya sekarang punya anak, mereka menunda. Ini kan artinya mereka menunda punya anak. Kalau enggak punya anak, artinya juga dampak dari segi dampak multiplier yang datang dari kebutuhan hidup yang dikeluarkan orang berumah tangga itu akan berkurang,” kata David.
Kebutuhan yang harus dikeluarkan oleh orang yang sudah berumah tangga antara lain, kebutuhan hidup harian untuk pangan, sandang dan papan, kemudian ada juga kebutuhan untuk akses transportasi atau kendaraan.
Selain itu, ketika telah memiliki anak, artinya orang tua juga harus mengeluarkan biaya sekolah anak pula.
“Makanya, saya pikir harus dua sisi untuk mengatasi ini. Dari sisi kependudukannya dan juga dari sisi ekonominya harus dipikirkan. Kita kan inginnya manusianya juga berkualitas. Makanya, kalau kelas menengahnya kita harus dorong supaya meningkat jumlahnya,” saran David.
Terkait hal ini, pemerintah bisa menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat kelas menengah. Namun untuk ini, pemerintah harus mengerek realisasi investasi pada sektor-sektor padat karya, tak hanya sektor padat modal.
“Kita kan harus sediakan sekitar 3,9 juta lapangan kerja setiap tahun. Kebutuhan lapangan kerja kita sangat besar, sedangkan kalau kita lihat dari sisi investasinya belum cukup untuk menyerap tenaga kerja sebanyak itu, Jadi perlu investasi domestik maupun dari luar (negeri) supaya lebih kuat lagi pertumbuhan (industri padat karya),” terang David.
Respons Pemerintah
Sementara itu, sebelumnya Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana, Wihaji, telah datang menemui Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk membahas soal angka kelahiran dan pernikahan di Indonesia yang mulai menurun.
Menurutnya, untuk mengatasi ini, akan ada strategi khusus yang akan dirilis pemerintah.
“Ya didiskusikan nanti ada treatment dan bagian dari program kerja yang dilaporkan kepada presiden dan wakil presiden," tutur Wihaji, di Istana Wakil Presiden, Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2024).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Bayu Septianto