tirto.id - Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan, kerap menyebut soal bonus demografi Indonesia. Pada Januari 2016, Jokowi mengatakan negara ini diprediksi akan mendapat bonus demografi pada tahun 2020-2030.
Yakni penduduk dengan umur produktif sangat besar, sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Untuk menghadapi tantangan-tantangan itu pemerintah selalu mendorong program aksi yang bersifat lokal dengan melibatkan partisipasi warga.
Artinya penduduk dengan usia produktif akan mencapai kurang lebih 65-70 persen. Banyak anak muda sangat produktif akan hidup pada 2020 hingga 10 tahun selanjutnya. Pada 2017, presiden juga mengatakan bahwa usia produktif bisa menggerakkan ekonomi negara.
Ia mengingatkan, bahwa jumlah penduduk yang tergolong bonus demografi itu ibarat pedang bermata dua: bisa berkah atau mendatangkan masalah. Menjadi keberkahan jika negara ini bisa memanfaatkan sehingga sumber daya manusia yang ada pada kurun waktu itu menjadi sebuah kekuatan yang besar. Pun sebaliknya.
Terkait hal ini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diminta untuk menggunakan strategi baru dalam pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana. Sebab dalam bonus demografi, saat ini dan masa mendatang keluarga muda mendominasi.
Dalam wawancaranya bersama Tirto pada Rabu (4/10/2023) Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengungkapkan bagaimana bonus demografi pada akhirnya dapat menjadi keuntungan atau justru menjadi ancaman.
Bagaimana Indonesia menghadapi bonus demografi?
Bonus demografi itu intinya dependensi rasio rendah. Yang dimaksud dependensi rasio itu ketergantungan antara penduduk bekerja dibandingkan tidak bekerja. Sekarang ini tiap 100 orang yang bekerja bisa menanggung 46 orang. Sehingga kalau mau kaya, ya, sekarang ini. Misalnya dalam satu rumah ada enam orang (yaitu) empat pekerja, satu kakek, satu balita. Berarti keluarga itu mengalami bonus demografi karena yang bekerja lebih banyak daripada yang tidak bekerja.
Sehingga makna bonus demografi ini kalau mau kaya, mau sejahtera, waktunya saat bonus demografi itu. Kalau proporsi (orang) tua semakin bertambah, (dalam keluarga tersebut) yang tadinya bekerja lalu berikutnya pensiun, satu orang lainnya belum bekerja karena masih sekolah, maka 10 tahun lagi hilang kesempatan (bonus demografi).
Itulah yang dimaksud bahwa tahun 2035, kesempatan mendapatkan bonus demografi telah menutup. Istilah "jendela kesempatan" jadi ada celah untuk mendapatkan peluang mengalami akselerasi. Di Indonesia telah masuk "jendela kesempatan" atau celah bonus demografi, tahun 2035 celah itu menutup karena pada tahun itu Indonesia (dalam masa) ageing population, terjadi pelimpahan populasi orang tua. Sementara orang tua yang ada pada tahun 2035 pada umumnya berpendidikan rendah, rata-rata 8,3 tahun sesuai dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Orang-orang itu akan mengisi populasi tahun 2035.
Sehingga tahun 2035 itu ada ageing population. Ada populasi orang tua yang berpendidikan dan pendapatan per kapita rendah. Bisa dibayangkan orang tua itu, siapa yang menanggung? Keluarganya.
Keluarganya yang muda-muda harus sehat, cerdas, terampil, tidak stunting. Indonesia harus bersiap. Sikap Presiden Jokowi saat ini sangat tepat, saat ini menyiapkan generasi unggul (seperti) stunting rendah, sekolah vokasi supaya terampil sehingga bisa bekerja. Sebelum menyongsong 2045 Indonesia Emas.
Kemudian cita-cita kami adalah keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap). Negara menyiapkan (upaya tersebut) sejak sekarang.
Bonus demografi sekarang merupakan imbas angka kelahiran total yang menurun. Ini adalah hal baik atau buruk?
Sangat baik. Sejak dulu cita-cita (pemerintah) adalah angka kelahiran menurun. Jika tidak turun, bonus (demografi) kapan (dicapai). Jika angka kelahiran menurun, jumlah balita turun. Jika jumlah balita turun, maka tanggungannya kecil. Maka bonus demografi terjadi kalau pekerja banyak tapi tanggungan sedikit.
Kalau (jumlah) balita banyak, maka yang ditanggung juga banyak. Anak-anak di bawah 15 tahun pun tak bisa bekerja. Menurunnya angka kelahiran yang mengantarkan Indonesia kepada bonus demografi. Kenapa Indonesia masuk dalam bonus demografi hingga 2035? Karena kerja keras karyawan BKKBN juga sejak tahun 1970. Akhirnya sekarang panen. Kalau dahulu tidak bekerja keras, bonus demografi Indonesia masih nanti-nanti; keluar dari jebakan pendapatan menengah juga masih nanti.
Apa saja tantangan Indonesia memanfaatkan bonus demografi?
Tantangannya bahwa pendidikan dan kemampuan rata-rata masih rendah. Tantangannya bagaimana kami meningkatkan kualitas SDM. Seperti upaya bagus dari Kementerian Koperasi untuk memperbanyak entrepreneur (wiraswasta) muda. Karena target tiap 1.000 (orang) ada 4 (orang)) jadi pengusaha. Sekarang terus didorong untuk jadi pengusaha, artinya orang-orang mampu menciptakan lapangan kerja. Sekarang UMKM juga penyerap tenaga kerja paling besar.
Bonus demografi akan sia-sia jika stunting masih tinggi, fakta lapangannya bagaimana? Kenapa stunting jadi acuan bonus demografi?
Stunting bukan acuan, tapi itu variabel penentu bonus demografi. Kalau kualitas SDM, itu stunting itu pendek, tidak cerdas, nanti usia 40-50 sudah sakit-sakitan. Kenapa stunting itu menjadi penentu? Karena kalau penduduk secara demografi dependensi rasio rendah dari sisi kuantitas, tapi tidak berkualitas berarti hanya kelihatannya saja. Kelihatannya (dalam) satu rumah yang bekerja empat orang, cuma dua yang ditanggung, kelihatannya dari usia. Katakanlah yang usia produktif itu empat orang, yang balita dan nenek masing-masing satu orang, tapi ternyata yang umur 20-30 itu orangnya tidak cerdas, stunting, tidak lulus sekolah, tidak bisa melamar kerja.
Artinya bonus demografi itu belum menjadi bonus kesejahteraan kalau orang belum berkualitas. Bonus demografi hanya waktu ketika usia produktif lebih besar dibanding yang tidak kerja. Misal, Anda itu muda, gagah, sehat, itu bonus; tapi kalau Anda tak kerja maka bonus itu tidak bisa ditransformasikan menjadi kesejahteraan.
Apa yang terjadi kalau Indonesia gagal memanfaatkan bonus demografi?
Negara, saya tidak sebut Indonesia, tapi semua negara, kalau negara itu gagal memanfaatkan bonus demografi maka peluang keluar dari middle income trap itu berat. Bapak Jokowi sering menyampaikan bahwa ada negara di Afrika saat bonus demografi tapi tidak memanfaatkan itu untuk menaikkan pendapatan per kapita jadi tinggi, jadi selamanya dia jadi negara miskin.
Karena apa? Ke depan akan lebih berat lagi. Pekerjanya akan lebih sedikit. Anda bisa bayangkan Jepang itu sekarang lebih banyak yang tua-tua, pekerja sedikit sampai yang mau hamil sedikit. Kalau itu terjadi di Indonesia itu berat. Kalau itu terjadi di Jepang, penghasilan orang produktif di sana besar, kakek-nenek juga punya tabungan. Jadi bisa berinvestasi. Kakek-nenek di Jepang itu bisa berinvestasi, kalau di sini kakek-neneknya merepotkan anak. Jarang ada yang bisa berinvestasi.
Sekarang sudah tepat, stunting harus turun, kualitas SDM harus bagus. Kami optimis karena pertumbuhan ekonomi terjaga, angkatan kerja sudah banyak program kerja untuk mengurangi pengangguran. Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus, mengembangkan pariwisata nasional, itu jadi lapangan kerja, termasuk UMKM.
Presiden Jokowi berulang kali menyatakan bahwa bonus demografi ibarat pedang bermata dua bagi Indonesia. Presiden selalu menggarisbawahi pembangunan sumber daya manusia sebagai kunci dalam menghadapi lonjakan jumlah angkatan kerja produktif. Bagaimana menurut Anda terkait hal ini?
Pedang bermata dua itu satu musibah dan satu berkah. Kenapa bisa jadi musibah? Ya, penduduknya banyak, tidak bekerja lalu dia jadi tanggungan negara. Menjadi berkah kalau penduduknya banyak, semuanya bekerja, produktif, pendapatan per kapita naik, pajak naik, negara maju. Karena pendapatan negara naik, pajak meningkat. Mata (pedang) satu yang dimatikan itu jangan sampai negara menanggung beban penduduk banyak dan tidak bekerja. Kalau kami bisa mencegah mata (pedang) satunya itu, yang satunya bisa dominan, yang berkembang berkahnya saja.
Kebijakan apa yang tepat dalam perkara bonus demografi ini?
Saya kira membangun SDM itu dari jiwa dan raga. Stunting itu baru dari sisi kuantitas, dalam arti tubuhnya bertambah tinggi, sehat, cerdas, ini suatu yang dominan kepada kuantitas. Tetapi yang perlu diperhatikan itu mental. Jadi kalau bisa bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Sekarang ini seolah masih raga, jangan lupa membangun jiwa. Karena hari ini mental disorder itu lumayan banyak.
Remaja sekarang itu lebih tinggi mengalami mental emotional disorder dibanding remaja 10 tahun lalu. Kalau memperhatikan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, bandingkan dengan 2018, mental emotional disorder bagaimana? Itu gangguan juga, remaja stres, kekerasan, narkotika. Itu kalau Anda bandingkan angkanya cuma 6,1 persen, pada 2018 itu sampai 9,8 persen.
Itulah yang harus diantisipasi, agar jangan sampai orang tak stunting tapi eror. Menurut saya selain menghapus stunting, meningkatkan pengetahuan dan pendidikan, jangan lupa jiwanya.
Adakah tantangan dari Undang-Undang Cipta Kerja terkait bonus demografi? Bagaimana menyelesaikan tantangan itu?
Saya jujur kurang tahu soal undang-undang ini. Tugas saya membantu presiden untuk menyiapkan kualitas SDM yang baik. Bagi saya, apa pun regulasi yang ada, kalau SDM unggul itu nilainya jauh berlipat-lipat. Tugas kami di BKKBN itu supaya yang berkemampuan rendah menjadi berkemampuan tinggi. Kalau dahulu itu ke luar negeri menjadi pekerja rumah tangga. Kalau di awal punya pendidikan dan sertifikat, mungkin ke luar negeri bukan kemampuan rendah lagi. Tapi menjadi tenaga terdidik dan tenaga terlatih yang lain. Jadi apa pun regulasi yang ada, kalau kualitas bagus akan sangat berpengaruh, sebetulnya itu.
Karena sekarang orang berpikir untuk mencari kerja, sedikit yang berpikir menciptakan lapangan kerja. Kalau sudah berkualitas tinggi itu berbicara penciptaan lapangan kerja.
Perihal "growing old before growing rich", belum semua publik paham. Bagaimana menurut Anda?
Populasi itu penduduk bisa menua, tapi penduduk belum tumbuh menjadi kaya. Menua sebelum kaya. Hati-hati ketika penduduk bergeser, angka harapan hidup naik dan orang itu makin panjang umur, namun ingat kalau makin panjang umur tapi tidak berkualitas itu tidak bertumbuh kaya. Itu berat sekali.
Apakah BKKBN bekerja sama dengan negara lain dalam menghadapi bonus demografi?
Kami banyak dibantu United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) atau dari Lembaga Swadaya Masyarakat internasional, juga negara-negara kawasan selatan. juga Bagaimana (kami) menjaga pertumbuhan penduduk seimbang. Banyak negara seperti Filipina atau negara-negara Afrika sama-sama belajar dengan Indonesia untuk sukses mengajak tokoh agama guna mempengaruhi cara pikir keluarga untuk menyiapkan bonus demografi.
Jujur saja, ini harus (ada peran) dari tokoh agama atau tokoh masyarakat. Ini yang menarik kalau cara pikir penduduk banyak dipengaruhi oleh tokoh.
Bagaimana cara BKKBN mengejar pertumbuhan penduduk seimbang untuk optimalisasi bonus demografi?
Sebetulnya caranya sederhana, setiap perempuan harus melahirkan satu perempuan. Itu cara BKKBN. Sehingga kami menetapkan total fertility rate itu tidak 2 tapi 2,1. Jadi itu cara BKKBN untuk penduduk tumbuh seimbang. Kalau semua orang itu harus (miliki) dua anak, nantinya tidak seimbang. Jadi kalau perempuan itu melahirkan dua anak, dua anak itu belum tentu perempuan.
Maka kami lebihkan (angka) jadi 2,1. dengan itu harapannya satu perempuan pada generasi ini akan melahirkan perempuan pada generasi lain.
Sosialisasi terus dijalankan. (Misal) di NTT, Papua, angka (kelahiran) di sana masih tinggi dari 2,5 hingga 3. banyak wilayah yang anaknya banyak. Banyak juga yang sedikit seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, bahkan Jakarta lebih dari 1.
Kami jaga fertility rate, kami juga dampingi yang sulit hamil. Selanjutnya kami juga bantu mereka tidak hanya mengharapkan tidak hamil; (angka kelahiran) Yang tinggi dikurangi, yang sulit (hamil) dibantu. Kalau Indonesia zero growth, maka tidak akan jadi empat besar dunia. Karena kita tak punya penduduk.
Editor: Restu Diantina Putri